Informasi Terfavorit

Rabu, 12 Desember 2012

Pendidikan Agama Islam pada Semster 1 STIKes Medistra


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A.   PENDAHULUAN
Di dalam pembahasan pendahuluan materi kuliah Pendidikan Agama Islam, kami akan menguraikan terlebih dahulu beberapa hal, sebelum memasuki panduan garis besar mata ajaran. Hal tersebut adalah : Urgensinya Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan, pengertian agama dan tujuan beragama, klasifikasi agama dan agama-agama yang diakui di Indonesia.
1.    Urgensinya Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan
Sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pasal 37 ayat 2, berbunyi : Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat :
  1. Pendidikan agama
  2. Pendidikan kewarganegaraan
  3. Bahasa
Mata kuliah Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk mewujudkan lulusan Akademi / Perguruan Tinggi agar menjadi sarjana yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan keluaran (output) perguruan tinggi. Oleh karena itu mata kuliah ini mengarahkan / mengantarkan mahasiswa untuk :
  1. Menguasai akan ajaran agama Islam dan mampu menjadikannya sebagai sumber nilai dan pedoman serta landasan berfikir dan berperilaku dalam menerapakn ilmu dan profesi yang dikuasainya.
  2. Menjadi intelektual capital yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, berakhlaq mulia serta berkepribadian Islami.
Jika ditarik ajaran Islam itu sendiri, sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Qur’an, surah Adz-Dzaariyat ayat 56 :
Artinya :  “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku“.
Dan firman Nya lagi dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah ayat 21 :
Artinya :  “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa“.
Sesuai dengan firman Allah di atas, jelaslah kewajiban manusia adalah untuk menyembah atau beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Akan tetapi untuk melaksanakan beribadah secara benar dan sempurna diperlukan ilmu pengetahuan agama melalui pendidikan agama Islam.
Oleh karena itu menuntut ilmu, lebih lagi ilmu agama hukumnya wajib. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam : “Tholabul ilmi fariidhotun ‘ala kulli muslim”.
Artinya :  “Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Abdil Bar).
Jadi jelaslah materi pendidikan agama (Pendidikan Agama Islam) wajib dipelajari baik ditinjau dari segi agama dan perundang-undang yang berlaku di Indonesia.
2.    Pengertian Agama
Pengertian agama secara etimologis :
  1. Agama berasal dari bahasa Sansekerta, “a” berarti tidak dan “gama” berarti kocar-kacir atau tidak kacau balau. Adalagi yang mengatakan “a” berarti tidak, “gam” berarti pergi. Jadi agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, langgeng, abadi.
  2. Agama dalam bahasa Arab disebut Dien dan Millah. “Diena” berasal dari kata dana (memiliki beberapa arti) antara lain patuh, pembalasan, perhitungan, nasehat dan agama.
  3. Kolonel Irawan dari Pusroh Islam AD mengatakan agama itu berasal dari kata bahasa Arab, diambil dari kata “qoma” yang berarti berdiri dalam hubungan kalimat “Iqaamushsholata”, sebuah kalimat perintah yang berarti dirikan sholat. Kalimat ini sebagai sumber asal dari mana kata agama itu diambil, di dalamnya jelas telah tercakup pengertian kepercayaan dan peribadatan.
  4. Orang Barat mengidentifikasikan agama dengan religi. Religi berasal dari bahasa Latin yang tersusun dari dua, yaitu : “re” berarti kembali dan “ligere” berarti terkait atau terikat. Maksudnya manusia hidup tidak bebas menurut kemauannya sendiri, tetapi harus menurut ketentuan hukum yang mengikatnya.
Pengertian secara terminologis :
  1. Menurut Emile Durkheim, mengartikan agama adalah sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap ia sesuatu yang sakral, kemudian kepercayaan dan pengalaman itu menyatu ke dalam suatu komunitas moral.
  2. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution : Agama adalah sebagai ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui para Rasul-Nya.
  3. Kamus Besar Bahasa Indonesia, memuat istilah agama dengan ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya.
  4. Para ulama Islam mendefinisikan agama adalah sebagai undang-undang kebutuhan manusia dari Tuhannya yang mendorong mereka agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan pengertian secara etimologis dan terminologis suatu kepercayaan bisa dikatakan agama, mempunyai ciri sebagai yang dikatakan oleh Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, bahwa agama itu, punya ciri, sebagai berikut :
-            Mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa
-            Mempunyai Kitab Suci
-            Mempunyai Rasul
-            Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan para pengikutnya, berupa perintah, larangan dan petunjuk
Adapun masalah motivasi dalam beragama, mengapa manusia wajib beragama ? Jawabnya disini dapat disimpulkan, sebagai berikut :
  1. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani dapat dicukupi dengan makan, minum, tetapi kebutuhan rohani hanya bisa puas dengan keyakinan atau kepercayaan atau agama.
  2. Manusia diberi instink ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah timbul penyelidikan / penelitian di berbagai bidang, baik flora, fauna, ruang angkasa dan alam sekitar lainnya. Hasil penelitian tidak mungkin alam ini jadi dengan sendirinya. Pasti ada penciptanya. Sehingga ke depannya ingin menganut agama sebagai manifestasi rasa syukur dan beribadah kepada Tuhan yang menjadikan alam. Ibadah ini diatur melalui agama.
  3. Manusia hidup sebagai makhluk yang mulia. Dijadikan dengan sebaik-baik bentuk, yakni dilengkapi akal dan nafsu. Untuk mengendalikan akal dan nafsu ini diperlukan agama.
Dalam beberapa poin jawaban, mengapa manusia wajib beragama ? Telah jelas, bahwa fungsi dan tujuan hidup adalah dijelaskan oleh agama, bukan oleh penemuan akal. Agama justru datang karena ternyata bekal-bekal yang dilimpahkan kepada manusia tidak cukup mampu menemukan apa perlunya ia lahir ke dunia ini. Agama diturunkan untuk mengatur hidup manusia, meluruskan dan mengendalikan akal yang bersifat bebas. Kebebasan akal tanpa kendali, bukan saja menyebabkan manusia lupa diri, melainkan juga membawa manusia ke jurang kesesatan.
Oleh karena itu, sesungguhnya kapanpun manusia hidup dan dimana pun ia berada, agama tetap merupakan kebutuhan asasi. Di abad modern inipun agama tetap diperlukan. Bahkan lebih jauh manusia mencapai kemajuan, lebih tegas perlunya agama. Dengan tanpa agama, segala kemajuan bukannya akan memberikan kebahagiaan kepada manusia, tetapi malah akan membinasakan manusia itu sendiri.
3.    Klasifikasi Agama
Dilihat dari sumber, sifat dan tempatnya, agama dapat diklasifikasikan atas tiga kategori, yaitu :
  1. Agama wahyu dan bukan wahyu
  2. Agama missionaris dan bukan missionaris
  3. Agama ras geografis dan agama universal
Agama wahyu (samawi) adalah agama yang diwahyukan Allah melalui malaikat-Nya kepada utusan-Nya untuk disampaikan kepada ummat manusia. Sedangkan agama bukan wahyu (Ardhi) atau kebudayaan adalah agama yang bukan berasal dari Allah, tetapi keberadaannya disebabkan oleh proses antropologis yang terbentuk dari adat istiadat kemudian melembaga dalam bentuk agama.
Karakteristik dari kedua bentuk agama tersebut, yaitu antara lain :
  1. Agama wahyu (samawi) berpokok pada konsep ke-Esaan Tuhan, sedangkan agama bukan wahyu (ardhi) tidak demikian.
  2. Agama wahyu (samawi) diberikan kepada para Nabi dan Rasul, sedangkan agama bukan wahyu (ardhi) tidak.
  3. Bagi agama wahyu (samawi) yang dijadikan tuntunan menentukan baik dan buruk adalah Kitab Suci yang diwahyukan, sedangkan pada agama bukan wahyu (ardhi) berbentuk tradisi atau adat istiadat.
  4. Sesuai dengan ajaran dan tradisi historisnya, agama wahyu (samawi) merupakan agama missionaris, sedangkan agama bukan wahyu (ardhi) sebaliknya.
4.    Agama-agama yang Ada di Indonesia
Sesuai dengan UUD 1945, sebagai berikut :
  1. Pasal 29 ayat 1, UUD 1945: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  2. Pasal 29 ayat 2, UUD 1945 : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Agama yang ada di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Keenam agama di atas pemeluknya yang terbanyak adalah agama Islam. Masalah agama adalah masalah hak asasi manusia dan sensitif. Agar selalu terjaga kerukunan, maka diprogramkanlah tri kerukunan, yaitu :
  1. Kerukunan intern ummat beragama
  2. Kerukunan antar ummat beragama
  3. Kerukunan antar ummat beragama dengan pemerintah
Jadi jelaslah bahwa bangsa Indonesia, bangsa yang menganut paham agama dan tidak memperkenankan adanya paham yang meniadakan agama atau Tuhan yang lazim disebut paham komunis / Atheis. Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan melarang adanya penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran Komunisme / Marxisme – Lenisme di Indonesia. Hal ini tertuang dalam TAP MPRS Republik Indonesia Nomor : XXV/MPRS/1996 tanggal 5 Juli 1966.
B.   TUHAN, MANUSIA DAN ALAM SEMESTA
1.    Masalah Ketuhanan
Pembahasan tentang Ketuhanan ini adalah bertitik tolak pada konsep Ketuhanan dalam Islam. Siapakah Tuhan itu ? Siapakah Tuhan kita ? Apa Tuhan itu ? Mudah-mudahan dalam mengulas masalah ini, kita tidak melanggar rambu-rambu dari apa yang diingatkan oleh Rasulullah Shallallahualaihi wassalam, janganlah kita memikirkan tentang zat Tuhan atau zat Allah, tapi fikirkanlah tentang apa yang diciptakan-Nya.
Kata Tuhan dalam bahasa Arab adalah Al-Ilaah atau Ar-Rabb. Dalam Kamus Al-Munjid, dikatakan bahwa Tuhan sesuatu yang disembah. Dengan perkataan lain, sesuatu yang disembah adalah Tuhan. Tak peduli apakah ia dapat dilihat, diraba atau tidak, apakah ia hidup atau mati, apakah ia dapat membuat manusia atau dibuat oleh manusia. Pokoknya sesiap yang disembah adalah Tuhan.
Dahulu di negeri kita, ada yang namanya Dinamisme, yaitu kepercayaan mengkeramatkan benda, seperti pepohonan besar, batu besar dan sebagainya sebagai Tuhan mereka dan sebagainya, sebagai Tuhan mereka. Bahkan ada lagi kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan orang-orang terdahulu tentang roh nenek moyang dan para leluhurnya sebagai Tuhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita kembali kepada kata Ilah (mufrat) yang jama’ahnya adalah salihatun. Secara konsep umum Tuhan itu banyak, ada Tuhan bagi penganut animisme, ada Tuhan bagi penganut dinamisme dan ada juga Tuhan bagi penganut politheisme. Oleh karena itu bagi penganut agama Islam hendaklah jika berkata tentang Tuhan haruslah digandeng dengan sifat Tuhan, seperti perkataan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini berarti yang kita maksud adalah Tuhan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sekarang siapa Tuhan kita, sebagai penganut agama Islam, tentu jawabnya adalah Allah, dzat wajibul wujud, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan dan mustahil bersifat kekurangan. Dia Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Dia yang menjadikan langit dan bumi. Dia bersalahan dari segalanya yang baharu (Laisa kamislihi syai’un).
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “La ilaaha illa Allah“. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan, kemudian baru diikuti dengan penegasan, melainkan Allah“. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala  macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada  satu Tuhan, yaitu Allah.
Iman kepada kalimat Laa ilaaha illa Allah dapat mengangkat derajat manusia dan menumbuhkan sifat-sifat terpuji. Menjadikan manusia terikat dengan aturan-aturan Allah dan juga merupakan rukun asasi terpenting dari ajaran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Kalimat tauhid merupakan pondasi dan kekuatan Islam. Ketentuan dan kewajiban Islam lainnya berdiri tegak di atas kalimat ini.
Kesimpulannya sudah jelas, bahwa Tuhan kita, Tuhan orang Islam bahkan Tuhan seluruh penghuni alam ini adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Tuhan kita hanya satu, yaitu Allah. Allah melarang kita menyekutukan-Nya. Itu adalah syirik, berakibat dosa besar yang tak berampun.
2.    Pengertian Manusia dan Kejadian Manusia
Dalam memberikan uraian atau telaah terhadap persoalan apakah manusia itu ? Dapat ditempuh dengan cara memberi jawaban dari eksistensi manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang unik dalam arti ia adalah subyek dan obyek. Dirinya berfikir untuk mempersoalkan dirinya. Pandangan ini didasarkan atas filsafat yang menelaah manusia. Immanuel Kant menempatkan pertanyaan filsafat pada dirinya, seperti : Apakah yang dapat saya ketahui ? Apakah yang harus saya perbuat ? Apakah yang boleh saya harapkan ? Apakah manusia itu ? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan metafisika, yang kedua pertanyaan etika, yang ketika pertanyaan religius dan pertanyaan yang keempat adalah pertanyaan antropologi       (Drs. Dwi Nugroho Hidayanto, 1988 : 15).
Drs. Alexis Carrel salah seorang sarjana terbesar dari Amerika Serikat dalam bukunya berjudul “The Mankind Unknown” telah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern sangat bodoh terhadap hakikat manusia (Drs. Syahminan Zaini, tt, 1).
Masalah ta’rif dan hakikat manusia nampaknya agak sulit dirumuskan, jika hanya berpegang kepada pengetahuan umum semesta. Akan tetapi Prof. Abbas Mahmud El-Aqqad dalam bukunya “Haqaiqul Islam Wa Abathilu Khusumihi” telah merumuskan pandangan Al Qur’an tentang manusia dengan amat baik sekali.
Al Qur’an dan As Sunnah, kata beliau mendefinisikan manusia sebagai berikut : Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat Ketuhanan. Definisi mengandung tiga unsur pokok, yaitu :
  1. Manusia sebagai ciptaan Allah.
  2. Manusia bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya yang menurut Al Qur’an akan dipertanggungjawabkan nanti di hadapan Tuhan di akhirat.
  3. Manusia diciptakan dengan sifat-sifat ketuhanan.
Mengenai kejadian manusia, sebagai berikut :
  1. Nabi Adam Alaihissalam adalah sebagai manusia pertama yang dijadikan dari tanah. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Shaad ayat 71 :
Artinya :  “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah“.
  1. Keturunan selanjutnya Allah jadikan manusia itu dari pertemuan sperma dan ovum. Secara fisik materi dan non fisik materi, proses kejadian manusia ada (enam) tahap, yaitu nuthfah, alaqah dan mudhghah, idzam dan lahm, tahap ke-6 (enam) adalah non fisik materi yaitu roh.
  2. Tubuh jasmaniah dijadikan Allah lebih dahulu dari tubuh rohaniah. Ruh ditiupkan setelah fisik materi berumur 120 hari.
  3. Setelah Malaikat meniupkan ruh, terjadilah makhluk yang lain dari sebelumnya, artinya telah menjadi manusia sempurna.
3.    Manusia Menurut Agama Islam
Manusia adalah makhluk yang sangat menarik, sehingga menjadi sasaran untuk dikaji, dahulu, kini dan kemudian hari. Di dalam Al Qur’an manusia disebut antara lain bani Adam (QS. Al-Isra, 17, 70), Basyar (QS. Al-Kahfi, 18, 110), Al-Insan (QS. Al-Insan, 76, 1), An-Naas (QS. An-Naas, 114, 1).
Berbagai rumusan tentang manusia telah diberikan salah satunya berdasarkan studi Al Qur’an dan Al Hadits, berbunyi (setelah disunting) sebagai berikut : Al-Insan (manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlaq (N. A. Rasyid, 1983 : 19).
Bertitik tolak dari rumusan singkat itu, menurut ajaran Islam, manusia dibanding dengan makhluk yang lain, mempunyai berbagai ciri, antara lain :
  1. Makhluk yang paling sempurna, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an (QS. At-Thiin ayat 4) :
Artinya :  “Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya“.
  1. Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah. Sebab sebelum ruh (ciptaan) Allah dipertemukan dengan jasad di rahim ibunya, ruh yang berada di alam gaib itu ditanyai Allah. “Alastu bi rabbikum ?” : Apakah kalian mengakui Aku sebagai Tuhan kalian ? Serentak dan semuanya mengaku Allah sebagai Tuhan mereka. (“Balaa syahidnaa : Ya, kami akui (kami saksikan) Engkau adalah Tuhan kami“).
  2. Manusia diciptakan Allah adalah untuk mengabdi kepada-Nya sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Adz-Dzaariyat ayat 56, “Wamaa kholaqtul jinna illa liya’buduun“. Terjemahannya lebih kurang, sebagai berikut : Tidak Ku jadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.
  3. Manusia dijadikan Tuhan untuk menjadi Khalifah Allah di permukaan bumi ini. Perkataan menjadi khalifah di sini adalah wakil Tuhan dalam mengelola alam atau memakmurkan bumi ini. Untuk dapat melaksanakan tugasnya maka manusia diberikan akal dan kalbu, yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain. Dengan akal pemikirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan mampu mengemban amanah.
  4. Manusia disamping diberikan akal juga diberikan dengan perasaan dan kemauan atau kehendak. Dengan akal dan kehendaknya, manusia akan patuh dan tunduk kepada Allah atau menjadi muslim, tetapi dengan akal dan kehendaknya juga bisa mengingkari.
  5. Secara individual manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Ini termaktub dalam Al Qur’an, surah At-Thuur ayat 21, “Kullum riim bimaa kasaba rahiin“. Artinya kurang lebih sebagai berikut, “… setiap orang (manusia) terikat (dalam arti bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukannya“.
  6. Berakhlak. Berakhlak ini merupakan ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan oleh Allah untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam ajaran Islam akhlak punya kedudukan yang penting, menjadi komponen ketiga agama Islam. Hal ini dapat kita mengerti bahwa Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Perilaku yang dicontohkan oleh Rasul selama hidup adalah teladan yang harus diikuti oleh umat.
Dari uraian beberapa ciri manusia di atas manusia menurut Islam dapat ditarik kesimpulan tentang fungsi ganda manusia, yaitu fungsinya sebagai abdullah (abdun), hamba yang wajib beribadah kepada Allah dan sebagai khalifatullah untuk memakmurkan bumi ini.
Fungsi ganda manusia di atas dapat dilaksanakan dengan baik dengan harapan kita akan mendapat predikat insan kamil atau manusia sempurna menurut Islam. Adapun ciri-ciri manusia sempurna itu adalah :
  1. Jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan
  2. Cerdas dan pandai
  3. Rohani yang berkualitas tinggi
4.    Alam Semesta
Alam semesta terdiri dari dua kata, yaitu alam, diantara pengertiannya segala yang ada di langit dan di bumi. Semesta artinya semuanya. Jadi alam semesta adalah semua yang ada di alam ini (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Sesungguhnya dilihat dari sudut pandang manusia, yang ada, adalah Allah dan Alam (semesta). Allah pencupta, sedangkan alam diciptakan. Alam adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh Panca Indera, perasaan dan fikiran, kendatipun samar-samar. Mulai dari partikel atau zarrah yaitu bagian benda yang sangat kecil dan berdimensi sampai kepada jasad (tubuh) yang besar-besar, dari yang inorganik sampai kepada yang organik, dari yang paling sederhana susunan tubuhnya sampai kepada yang sangat kompleks (rumit, saling berhubungan) seperti tubuh manusia. Ruang dan waktu (space and time) adalah alam. Juga manusia termasuk alam atau bagian alam semesta (Osman Ralliby, tt : 3-4).
Secara i’tikad alam semesta itu adalah selain dari Allah. Allah adalah selain dari alam. Wujud Allah tidak sama dengan wujud alam. Karena alam diciptakan oleh Allah sedangkan Allah adalah zat wajibul wujud, yang berdiri sendiri, tidak bepermulaan, kekal dan tidak serupa dengan sesuatu.
Sebagai tersebut di atas, bahwa yang ada ini hanya dua, yaitu Allah dan alam. Allah pencipta dan alam dicipta. Dalam Al Qur’an, Allah bergelar Rabbul alamin, artinya Tuhan alam semesta, selain kata alamien di dalam Al Qur’an juga disebut dengan “assamaawati wal ardh”, artinya semua langit dan bumi : atau Qur’an menyebut dengan kalimat segala apa yang ada di langit dan bumi.
Alam semesta itu telah diciptakan Allah menurut hukum yang pasti, objektif dan tetap. Artinya alam semesta adalah suatu kosmos yang dalam bahasa ilmu dalam suatu laws of nature, dalam Islam disebut Sunnatullah (KH. Drs. Nazaruddin Razak, 1973 : 80).
Hukum Allah pada makhluknya ada dua macam, tertulis dan tidak tertulis. Tertulis adalah wahtu Allah kepada para Nabi dan Rasul yang terhimpun dalam kitab suci, terakhir adalah Al Qur’an.
Ciri daripada hukum yang tertulis ini adalah reaksi waktunya lebih panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia. Misalnya orang beriman dan bertaqwa dinjanjikan kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan bahagia, sedangkan orang kafir dan munafik diancam dengan hukuman kehinaan dan sengsara.
Adapun hukum yang tidak tertulis, ciri khasnya adalah reaksi waktunya sangat pendek, mungkin ia lebih pendek dari umur manusia. Umpamanya air mendidih 100 derajat Celcius. Jika satu liter air dimasak di atas kompor 10 sumbu, kira-kira membutuhkan waktu 10 menit. Waktu sepuluh menit itulah reaksi waktu yang dikatakan lebih pendek dari usia manusia.
Sunnatullah sifat ada 3 (tiga), pertama pasti (eksak), kedua objektif, ketiga tetap tidak berubah. Alam semesta yang mengandung dan patuh sepenuhnya kepada hukum, ketetapan dan ketentuan yang disebut sunnatullah itu. Misalnya bulan mengelilingi bumi dalam 29/30 hari. Bulan sambil mengelilingi bumi juga matahari dalam waktu 365/366 hari dan lain sebagainya.
Kepatuhan alam semesta terhadap sunnatullah, termasuk manusia adalah untuk kesejahteraannnya. Umpama alam dan manusia ini tidak lagi diatur oleh hukum gravitasi, tentu alam ini akan kacau. Untuk kesejahteraan jasmani tentunya manusia harus tunduk dengan aturan-aturan kesehatan.
Sebagai manusia dan hubungannya dengan alam semesta, kejadian alam semesta ini hendaklah menjadi bahan pemikiran. Misalnya Allah menjadikan langit dan bumi ini dalam tempo 6 (enam) hari (Al Qur’an), padahal Allah mampu menjadikannya dalam waktu, sekejap. Hal ini menurut ahli tafsir, memberikan orientasi tarbiyah / pendidikan agar manusia harus hidup dengan sabar, jangan tergesa-gesa, membuat sesuatu penuh pertimbangan dan perencanaan, bekerja bertahap.
C.   GARIS-GARIS BESAR AJARAN ISLAM
Sebelum pembahasan sampai kepada sub pokok, dianggap perlu dijelaskan tentang pengertian Islam, metodologi mempelajari Islam, mengapa dinamai dengan Islam. Untuk jelasnya, sebagai berikut :
1.    Pengertian Islam dan Metodologi Mempelajari Islam
Islam berasal dari bahasa Arab dari asal kata Aslama yang artinya menyerah, tunduk dan patuh. Dari kata “aslama” ini berkembang menjadi beberapa arti, “salam” artinya keselamatan, “taslim” artinya penyerahan, “salama” artinya memelihara, “sullami” artinya titian dan “silm” artinya perdamaian.
Para ulama berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, memberikan definisi tentang Islam, diantaranya :
  1. Islam berarti tunduk dan menyerah diri kepada Allah serta mentaati-Nya yang lahir dari kesadaran dengan tidak dipaksa karena ketundukan seperti itu tanpa perhitungan pahala dan dosa.
  2. Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di dalamnya terkandung peraturan-peraturan tentang akidah, akhlak, muamalat dan segala berita yang disebut dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah diperintah agar disampaikan kepada manusia.
Memahami Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Tujuannya adalah agar menjadi pemeluk Islam yang mantap dan untuk menumbuhkan rasa hormat bagi pemeluk agama lain. Di samping itu untuk menghindari kesalahpahaman dan sifat negatif terhadap Islam, maka untuk memahami Islam secara benar adalah dengan cara sebagai berikut :
  1. Islam harus dipelajari dari sumber aslinya (Al Qur’an dan Al Hadits).
  2. Islam dipelajari secara integral, artinya ia dipelajari secara menyeluruh.
  3. Islam dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para Ulama Besar Islam dan sarjana-sarjana Islam. Pada umumnya beliau memahami Islam secara baik.
2.    Mengapa Dinamai Islam ?
Tiap-tiap agama pada lazimnya diberi nama setelah masa berlalu orang yang mengembangkannya. Di Persi ada agama Zoroaster diambil dari nama pendirinya. Agama Budha diambil dari nama Shidarta Gautama Budha. Agama Yahudi diambil dari nama negara Yuda. Agama Kristen diambil dari pengajarnya atau orang yang dipujanya Yesus Kristus dan pengikutnya disebut Kristen. Di dalam Al Qur’an disebut Nasrani disandarkan atas kelahiran Yesus di Nazaret.
Adapun Islam mempunyai perbedaan yang luar biasa dengan agama lain. Kata Islam tidak punya hubungan dengan nama orang atau golongan atau negeri. Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Allah sendiri, tersebut dalam Al Qur’an, antara lain :
a.    Surah Ali Imran ayat 19
Artinya : “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam“.
b.    Surah Al Ma’idah ayat 3
Artinya :  “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat Ku dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agamamu“.
Agama Islam adalah agama yang diemban oleh Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia sepanjang masa dan zaman. Oleh karena itu Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal disamping itu Islam juga punya karakteristik seperti sesuai dengan fitrah manusia, sempurna, mengajarkan keseimbangan, fleksibel dan ringan serta sebagai rahmat bagi alam.
Seorang muslim, iman mengajarkan bahwa Islam adalah rahmat dan ni’mat bagi manusia. Oleh karena ajarannya harus digali untuk menjadi cahaya hidup dan kehidupan manusia. Dalam membicarakan ajaran Islam selanjutnya, pada dasarnya / garis besarnya ada 3 (tiga) pokok pembidangan ajaran, yaitu : Akidah/Tauhid, Fiqih/Syari’ah/Ibadah dan Akhlak/Tasawuf. Ketiga pokok pembidangan ajaran di atas sangat berhubungan satu sama lain, merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Namun ketiganya dapat dibedakan.
Akidah (Tauhid) adalah sebagai konsep keyakinan yang bermuatan elemen-elemen pokok keimanan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syari’ah sebagai konsep hukum, berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistem etika nilai yang menggambarkan arah tujuan yang akan dicapai agama sedangkan tasawuf ialah membersihkan jiwa daripada pengaruh benda atau alam, supaya ia mudah menuju Tuhan Allah (Hamka). Oleh karena itu ketiga kerangka pokok / dasar dimaksud harus terintegrasi dalam diri seorang muslim. Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat pohon akarnya adalah akidah / tauhid, sementara batang, dahan dan daunnya syari’ah dan buahnya adalah akhlaq.
Muslim yang baik adalah orang yang memiliki akidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk menjalankan syari’at yang hanya di tujuan kepada Allah semata, sehingga tergambar akhlak yang mulia pada dirinya. Atas dasar hubungan ini pula, maka seseorang melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh akidah dan iman, maka ia termasuk kategori kafir. Seseorang yang mengaku beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syari’at, maka ia disebut fasik. Sedangkan orang yang mengaku beriman dan melaksanakan syari’at, tetapi tidak dilandasi iman / akidah yang lurus disebut orang yang munafik.
Selanjutnya kita akan menguraikan ketiga pokok pembidangan ajaran Islam dimaksud, sebagai berikut :
a.    Akidah / Tauhid
Secara bahasa, akidah berasal dari kata ‘akada yang mengandung arti ikatan atau keterkaitan, atau dua utas tali dalam satu buhul yang tersambung. Dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau keyakinan. Akidah Islam (Akidah Islamiyah) karena itu dikaitkan dengan rukun iman yang menjadi asas seluruh ajaran Islam. Iman artinya percaya, tetapi yang dimaksud iman disini adalah Tasdiq (membenarkan di dalam hati), mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Iman ini melahirkan penyerahan diri kepada Allah dinamakan Islam. Ini dimaksud bahwa seseorang yang menyerahkan diri kepada Allah dan menerima segala hukum-hukumnya. Sesungguhnya penyerahan dan penerimaan itu berlaku dengan dua perkara, yaitu : dengan kepercayaan dan pegangan hati yang dinamakan iman atau aqidah dan juga dengan sifat-sifat lahiriyah yaitu melalui perkataan dan amalan yang dinamakan Islam. Jadi jelas tempat iman itu di hati. Firman Allah Subhanawu Wata’ala dalam surah Al Baqarah ayat 285 :
Artinya :  “Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab Nya dan Rasul-rasul Nya (mereka mengatakan) “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul Nya, dan mereka mengatakan : “Kami dengar dan kami Tho’at (mereka berdo’a). Ampunilah ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali“.
Sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam : “Al-iimaanu antu’mina billahi wamalaikatihi wakutubihi warusulihi, walyaumil akhiri, waqodrihi khoirihi wasyarrihi minallahi ta’ala“.
Artinya : “Iman itu bahwa kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat dan Qodar baik dan buruk” (HR. Muslim).
Disamping sebagai tersebut di atas keterkaitan antara akidah atau keyakinan seseorang terhadap Islam terletak pada konsekuensinya, sebagai berikut :
1)        Meyakini bahwa Islam adalah agama yang terakhir diturunkan dengan syari’at-syari’atnya menyempurnakan syari’at yang Allah turunkan sebelumnya.
2)        Meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Islam datang dengan membawa kebenaran yang absolut, guna menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia selaras dengan fitrahnya. Firman Allah dalam Al Qur’an surah Ali Imran ayat 19 :
Artinya :   “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam“.
3)        Meyakini bahwa Islam sebagai agama yang universal, berlaku untuk seluruh ummat manusia, kapan dan dimana saja ia berada. Firman Allah dalam Al Qur’an surah Saba ayat 28 :
Artinya :   “Dan tiadalah Kami utus kamu (Muhammad) melainkan untuk semua ummat manusia sebagai berita gembira dan peringatakn tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya“.
4)        Meyakini bahwa Islam memiliki keseimbangan, dua orientasi hidup yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Qashash ayat 77 :
Artinya :   “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di akhirat dan jangan kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi“.
Keyakinan tersebut harus dipegang dengan teguh, mantap tak tergoyahkan, karena di abad millenium mungkin ada pengaburan arti dan makna.
Jadi jelaslah pembicaraan masalah aqidah/tauhid, pada intinya adalah membicarakan tentang rukun iman. Setiap orang yang ingin mendapatkan keselamatan, kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka ia wajib percaya kepada 6 (enam) perkara yang disebut dengan rukun iman sebagai tersebut terdahulu. Orang yang beriman disebut mukmin. Selanjutnya rukun iman sebanyak 6 (enam) perkara ini, kami coba untuk menguraikannya, satu persatu, sebagai berikut :
1)    Beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala
Dalam Islam, iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala menempati posisi yang sangat sentral. Iman kepada Allah, berarti mengimani Allah dalam rububiyah, uluhiyah, asma dan sifat. Rububiyah artinya mengimani Allah adalah Rabb sebagai pencipta, pengatur, penguasa segala yang ada di alam ini. Uluhiyah artinya adalah Allah ialah satu-satunya zat yang wajib disembah. Iman kepada Asma dan Sifat-Nya, berarti bahwa Allah memiliki nama-nama yang maha indah (seperti dalam Asma’ul Husna) dan sifat-sifat yang luhur. Menurut faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Allah memiliki sifat-sifat yang wajib, mustahil dan harus, tergambar dalam sifat 20, yaitu ; 20 yang wajib, 20 yang mustahil dan 1 (satu) yang harus.
Pengakuan beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sebenarnya dapat memberikan kesan pada kehidupan seseorang, sebagai tersebut di bawah ini.
a)         Seseorang yang beriman kepada Allah akan memiliki wawasan yang luas, karena ia percaya kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi. Dia tidak akan menemui sesuatu yang ganjil dalam alam ini, karena segala sesuatu yang ada di dalamnya milik Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak ada sesuatupun juga dalam alam ini yang dapat menghalang dan membatas rasa cinta dan kecenderungannya.
b)        Orang yang beriman kepada Allah yakin tidak ada jalan untuk mencapai keselamatan dan keberuntungan kecuali dengan jiwa yang bersih dan beramal saleh. Kesadaran itu timbul karena ia beriman kepada Allah Yang Maha Kaya dan Maha Adil, bergantung harap segala sesuatu kepada-Nya.
c)         Orang yang beriman tidak mudah dihinggapi rasa putus asa, pesimis dan hilang harapan dalam keadaan apapun, karena ia adalah orang yang beriman.
d)        Iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala mendidik manusia dengan kekuatan yang besar, bulat, tekad, berani, sabar, tabah dan tawakkal ketika menghadapi peristiwa / perkara besar di dunia ini demi mengharap keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala.
e)         Perkara paling penting dalam hubungan ini ialah iman kepada Allah menjadikan manusia terikat dan patuh kepada undang-undang / peraturan Allah.
Untuk memperlengkap pembahasan, disini akan diuraikan tentang tanda-tanda orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, sebagai berikut :
a)         Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat Al Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (Al-Anfal : 2). Dia akan memahami ayat yang tidak ia pahami.
b)        Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi dengan do’a, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah dan Sunnah Rasul (Ali Imran : 120, Al-Maidah : 12, Al-Anfal : 2, At-Taubah : 52, Ibrahim : 11, Mujadalah : 10, dan At-Taghabun : 13).
c)         Tertib dalam melaksanakan sholat dan selalu menjaga pelaksanaannya (Al-Anfal : 3, dan Al-Mu’minun : 2, 7). Bagaimana sibuknya, jika sudah masuk waktu sholat, dia segera sholat untuk membina kualitas imannya.
d)        Menafkahkan rezki yang diterimanya (Al-Anfal : 3, dan Al-Mu’minun : 4). Hal ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin.
e)         Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (Al-Mu’minun : 3, 5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu Al Qur’an menurut sunnah Rasulullah.
f)         Memelihara amanah dan menepati janji (Al-Mu’minun : 6). Seorang mukmin tidak akan berkhianat dan ia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
g)        Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (Al-Anfal : 74), berjihad di jalan Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki, maupun dengan nyawa.
h)        Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (An-Nur : 62). Sikap seperti itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul.
Menurut Abul A’la Maududi, ulama besar dari Pakistan, menyebutkan tanda orang beriman, sebagai berikut :
a)         Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
b)        Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
c)         Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat.
d)        Senantiasa jujur dan adil.
e)         Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi segala persoalan dan situasi.
f)         Mempunyai pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
g)        Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi risiko, bahkan tidak takut kepada maut.
h)        Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
i)          Patuh, taat dan disiplin dalam menjalankan peraturan Ilahi.
Dalam rangka menambah / mempertebal iman kita kepada Allah, manusia diperintahkan mempelajari alam semesta, ia adalah laksana kitab penuh khazanah dan hikmah penuh terbuka di hadapan kita, menjadi “Aayatun bayyinah” bukti-bukti yang terang benderang tentang ke-Esaan dan Kekuasaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Manusia dilarang memikirkan hakikat zat Allah. Demikian penegasan agama, tetapi logika juga memahaminya. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam : “Tafakkaruu fii kholqillahi walaa tafakkaruu fii dzaatihi fatahlikuu“.
Artinya :   “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan kamu berfikir tentang zat-Nya, niscaya kamu celaka“.
2)    Beriman kepada Malaikat-Malaikat
Iman kepada Malaikat adalah masalah akidah yang kedua sesudah iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Para Malaikat itu adalah hamba Allah yang dimuliakan. Mereka adalah makhluk yang tak pernah membantah atau meninggalkan segala yang diperintah Allah. Malaikat ini tidak membutuhkan makan, minum, tidak laki-laki dan tidak perempuan. Jumlahnya banyak sekali, tetapi yang wajib diketahui sebanyak 10 orang. Para Malaikat dimaksud   adalah :
a)         Jibril, tugasnya membawa wahyu, semenjak Nabi Adam Alaihissalam sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, Malaikat Jibril adalah sebagai kepala seluruh Malaikat. Malaikat Jibril disebut juga Namus, Ruhul Amin, Ruhul Kudus.
b)        Mikail, tugasnya mengatur peredaran benda-benda angkasa, termasuk pula menurunkan hujan.
c)         Isrofil, tugasnya meniup terompet.
d)        Izrail, tugasnya mencabut nyawa dan juga sering disebut dengan Malaimat Maut.
e)         Mungkar dan Nakir, tugasnya menanyai mayit di dalam kubur.
f)         Raqib, tugasnya mencatat kebaikan hamba Allah.
g)        Atid, tugasnya mencatat keburukan hamba Allah.
h)        Malik, tugasnya menjaga neraka.
i)          Ridwan, tugasnya menjaga surga.
Masih banyak lagi tugas-tugas Malaikat yang telah ditentukan Allah kepadanya, yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan urusan materi dan perihal hidup dan kehidupan insan di dunia. Malaikat dinyatakan sebagai makhluk Allah yang kuat, memiliki sayap-sayap yang banyak, sehingga dengan demikian memungkinkan mereka untuk melakukan gerakan yang paling cepat. Dalam Al Qur’an ada sebuah simbol kecepatan yang digambarkan tentang daya gerak Malaikat, yaitu kecepatan sehari bari Malaikat sama dengan 50.000 tahun lamanya di dunia ini.
Iman kepada para Malaikat sangat besar nilainya dalam hidup dan kehidupan sebagai manusia yang selalu penuh dengan berbagai persoalan, maka seorang muslim haruslah selalu optimis, tidak boleh ragu dan gentar dalam menghadapi masalah apa saja, baik di kala seorang diri sebatang kara, maupun di waktu bersama-sama, karena ada iman bahwa Allah mempunyai petugas-petugas bernama Malaikat yang selalu siap untuk memberikan pertolongan dan bantuannya.
3)    Beriman kepada Kitab Suci
Beriman kepada kitab suci atau kitab-kitab Allah, artinya membenarkan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada Nabi dan Rasul-Nya. Kitab itu merupakan wahyu dari Allah serta mengandung semua hukum-Nya dan segala berita dari-Nya. Rasul-rasul yang menerima wahyu-wahyu itu adalah manusia-manusia pilihan Allah diantara kelompok-kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri khas dan karakteristik dalam segi-segi rohaniah dan jasmaniah. Wahyu-wahyu yang diterima oleh para Rasul itulah yang dinamai Shuhuf atau Kitab. Setiap Rasul yang diutus Allah kepada manusia dipersenjatai dengan Kitab. Kitab itulah yang menjadi pedoman pemimpin baginya, dan Kitab itulah menjadi kamus atau Undang-Undang buat manusia yang dipimpinnya.
Adapun kitab yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala itu, adalah :
a)         10 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Adam Alaihissalam.
b)        60 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Syist Alaihissalam.
c)         30 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Idris Alaihissalam.
d)        30 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam.
e)         10 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam.
Untuk para Nabi / Rasul penerima kitab adalah :
a)         Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam.
b)        Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud Alaihissalam.
c)         Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa Alaihissalam.
d)        Kitab Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Para Rasul mendakwahkan wahyu itu kepada ummatnya, mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, menyembah kepada Allah dan menjauhkan dari perbuatan syirik.
Kitab Taurat ditulis dalam bahasa Ibrani untuk syari’at dan hukum. Isi kitab Taurat, isi pokok adalah 10 firman Allah bagi bangsa Israil. Di dalam kitab Taurat terdapat beberapa syari’at dan hukum agama yang sesuai dengan tempat dan kondisi masa itu. Taurat menerangkan akidah-akidah yang benar, janji-janji Allah dan ancaman-ancaman-Nya. Dalam Taurat juga ada keterangan yang tegas tentang akan datangnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai kunci para Nabi dan Rasul, untuk menggantikan ajaran-ajaran sebelumnya.
Kitab Zabur isinya mengandung beberapa do’a, zikir, pengajaran dan hikmat. Hukum agama dan syari’at tidak ada di dalamnya, karena Nabi Daud Alaihissalam dalam sejarah kenabian, mengikut dan menurut hukum Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam.
Kitab Injil bertujuan menerangkan beberapa hukum dan mengajak manusia kembali kepada Aqidah Tauhid (Monotheisme) dan Injil bertugas mengadakan perbaikan agama Bani Israil yang telah kacau dan nyeleweng. Injil pun menerangkan tentang hal kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kelak. Kitab ini mengikuti Taurat Nabi Musa Alaihissalam.
Kitab suci Al Qur’an adalah kitab yang oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sebagai “Ma’dubatullah” (hidangan Ilahi). Hidangan ini membantu manusia untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi ummat Islam dalam menghadapi persoalan hidup.
Al Qur’an sebagai mu’jizat, berisi petunjuk yang menjadi sentral wacana ideologi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena itu Al Qur’an juga disebut seperti Al Kitab (pedoman), Adz Dzikir (peringatan), At-Tibyan (penjelas), Al-Furqan (pembeda), Asy-Syifa (penyembuh) dan lain-lain mengisyaratkan bahwa ia bukan sekedar kitab ilmu pengetahuan, namun sebagai petunjuk, pengarah dan pembimbing keseimbangan potensi rasional dan emosional yang sarat dengan nuansa Islami.
Dalam Al Qur’an ada firman Ilahi yang menegaskan kebenaran bahwa Al Qur’an itu benar-benar diwahyukan Tuhan Allah Subhanahu Wata’ala dan Allah Subhanahu Wata’ala juga yang memeliharanya. Pada surah Al-Isra / Bani Israil (ayat 105) firman Allah yang terjemahannya, kira-kira : “Dengan kebenaran (Kami) (Allah) telah menurunkan (Al Qur’an) dan dengan (membawa) kebenaran ia telah turun (!)“. sementara ahli tafsir menterjemahkan kalimat kedua daripada rentetan ayat tersebut : “Dan pada tempat yang benar ia (Al Qur’an) telah turun (!)“. Dalam surah Al-Hijr ayat 29 didapati pula firman Ilahi (terjemahannya) : “Sesungguhnya Kami (Allah) yang telah menurunkan peringatan (Al Qur’an) itu, dan sesungguhnya Kamilah penjaganya (!)“.
Tidak perlu kiranya seorang manusia harus menjadi seorang filusuf terlebih dahulu untuk dapat memahami ketegasan makna firman Ilahi tersebut di atas. Akan tetapi dengan fikiran sederhana saja dapatlah kita mengetahui dan meyakini 4 (empat) faktor utama yang terkandung dalam ayat-ayat qur’aniyah dimaksud :
a)         Kitab suci Al Qur’an adalah benar-benar wahyu Ilahi yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
b)        Kitab suci Al Qur’an itu berisi kebenaran mutlaq daripada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.
c)         Turunnya Al Qur’an kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah benar dan tepat, selaku penerima pertama dan pemegang amanat Allah yang akan menyampaikannya kepada manusia.
d)        Kitab suci Al Qur’an itu senantiasa dipelihara keasliannya dan keutuhannya dari tangan-tangan yang hendak merusak keaslian dan keutuhannya, serta kekekalannya sepanjang kurun zaman sampai datang waktunya Iradat Ilahiyyah akan mengangkaynya kelak di akhir zaman, menjelang pergantian kehidupan duniawi yang fana dengan hari akhirat yang kekal abadi.
4)    Beriman kepada Rasul-Rasul
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah ialah percaya bahwa Allah telah pilih Rasul-Rasul buat menyampaikan petunjuk, perintah dan larangan-Nya untuk kebaikan dunia akhirat. Kita wajib beriman / percaya kepada Rasul-Rasul itu dan sebagai Rasul terakhir adalah Rasul Allah Muhammad Shalallahu alaihi wassalam.
Mengenai jumlah Rasul / Nabi tidaklah diketahui secara pasti. Sebagian ulama berkata Rasul itu berjumlah 313 orang dan Nabi berjumlah 124.000 orang. Adapun Nabi dan Rasul yang nama-namanya tersebut dalam Al Qur’an sebanyak 25 orang. Seluruh para Rasul dan nabi maka Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai penghulu dari segala Nabi dan Rasul. Ada yang mencatat keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dari segala Rasul terdahulu, adalah :
a)         Beliau adalah Rasul terakhir dan risalah yang sempurna.
b)        Beliau Rasul internasional, risalah universal, berlaku untuk seluruh manusia dan sepanjang zaman.
c)         Beliau adalah semulia-mulia Nabi dan Rasul, bahkan sebagai penghulu segala Nabi dan Rasil (Sayyidul anbiya wal mursalin).
Ada juga catatan perbedaan antara Rasul dan Nabi, sebagai berikut :
a)    Nabi         :  “Insaanun dzakarunhurrun uuhiya ilaihi bissyar’in lil amali khoshshoh“.
Artinya    :  Nabi manusia laki-laki merdeka yang diwahyukan kepadanya dengan hukum syara untuk diamalkannya sendiri.
b)   Rasul        :  “Insaanun dzakarun hurrun uuhiya ilaihi bisyar’in lil amali wattabligh“.
Artinya    :  Manusia laki-laki merdeka yang diwahyukan kepadanya dengan hukum syara untuk diamalkannya sendiri serta disampaikan kepada orang lain.
Semua Rasul yang pernah diutus Allah sepanjang sejarah manusia, sesungguhnya mereka adalah manusia biasa (tetapi pilihan). Selaku manusia, memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang umum, seperti makan, minum, tidur, berumah tangga, hidup bergaul dengan masyarakat. Jadi Rasul itu tidak pernah dari jenis Malaikat, bangsa Jin bahkan Rasul itu tidak ada dari golongan manusia perempuan.
5)    Beriman kepada Hari Kemudian / Hari Akhir
Sebagai rangkaian dari rukun iman, iman kepada Hari Kemudian / Hari Akhir selalu dirangkai erat dengan ayat. Ayat dan hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam banyak menyebut nama Allah dan hari akhir.
Iman kepada hari akhir ialah mengi’tikadkan dengan kesungguhan, bahwa hari akhir itu benar-benar ada dan bakal tiba atau pasti terjadi. Hari akhir merupakan mata rantai lokasi waktu yang pasti diinjak dan dialami oleh setiap orang.
Suatu fakta yang tak bisa dibantah, bahwa dengan mata kepala kita saksikan, manusia ini sudah ada 3 (tiga) alam yang dilaluinya. Tiada seorangpun mampu mengelak dari qodrat itu, sekalipun ia orang yang berkuasa (kaisar / raja) ataupun konglomerat kelas tinggi. Tiga alam yang telah kita saksikan dengan kepala dan mata hati itu ialah :
a)         Alam rahim / alam kandungan selama 9 bulan 9 hari.
b)        Alam syahadah (alam dunia) selama hidup yang relatif sama dengan lokasi yang disandangnya yaitu antara 1 – 100 tahun.
c)         Alam qubur selama hayat habis sampai qiamat.
Fase pertama sungguh singkat, disusul fase kedua agak sementara dan alam ketiga agak lama. Kemudian disusul dengan hari akhir / hari kemudian.
Beriman kepada hari akhir / hari kemudian berarti juga mengimani akan adanya hidup kedua sesudah hidup di dunia ini. Adapun hikmah beriman kepada hari akhir itu antara lain :
a)         Dapat menseimbangkan usaha akhirat dengan duniawi.
b)        Merupakan motivasi (dorongan) bagi muttaqin. Beriman kepada hari akhir, menumbuhkan harapan positif bagi orang yang bertaqwa.
c)         Dapat mengarahkan tujuan hidup (ultimate gole) yang benar. Dengan meyakini kehidupan akhirat, seseorang dapat menentukan tujuan hidup ini ? Apakah hanya untuk berfoya-foya yang sifatnya sementara. Dengan pimpinan ajaran agama Islam, kita dapat menentukan tujuan hidup yang benar.
d)        Menumbuhkan harapan (optimisme). Orang yang tidak beriman kepada hari akhir pada hakikatnya sudah kehilangan harapan. Tidak mengherankan hidup di dunia ini mereka harus melakukan apa saja yang dianggapnya menyenangkan. Sebaliknya orang beriman / yakin adanya hari akhirat, mereka mengatur hidupnya dengan seimbang. Kesehatannya, kepandaiannya, hartanya dan jiwanya bila perlu dipertaruhkan pada ridha Allah, sebab ada harapan lebih bagus.
Secara ilmu pengetahuan (sains modern) dunia inipun pasti hancur. Karena apa sumber kehidupan adalah berpangkal pada sinar matahari. Dengan cahaya yang dipancarkannya ke bumi, maka ia menjadi penyebab berlangsungnya kehidupan seluruh makhluk hidup di bumi ini. Cahaya panas matahari itulah yang menyebabkan peredaran angin, pergantian musim dan turunnya hujan. Oleh para ahli telah diperkirakan, bahwa garis tengah matahari 1.400.000 kilometer, sedangkan temperatur atau panas di permukaannya 6.000 derajat Celcius dan panas di dalam matahari 5.000.000 derajat celcius dan panas intinya 20.000.000 derajat celcius.
Panas besar itu dihasilkan oleh reaksi nuklir yang terus menerus berlangsung disertai dengan kehilangan zat-zat sebesar 4.000.000 ton per detik. Matahari sebagai arang terbakar pijar yang setiap detiknya, materinya habis terbakar, tentu akhirnya arang itu habis menjadi debu, padamlah ia. Jadi jelaslah lambat laun matahari pasti padam. Karena itu bumi kita ini akan menjadi malam terus menerus. Matahari adalah sumber energi dan tenaga, karena ia padam, maka energipun tidak ada lagi. Akhirnya semua jadi beku. Tidak ada lagi angin yang bertiup, tidak ada hujan yang turun, tidak ada penguapan, semua berhenti dan mati dan tamatlah semua kehidupan di bumi ini.
Hukum fisika pun mendukung, bahwa daya rotasi dan revolusi benda-benda langit tidaklah abadi, suatu waktu akan berakhir, disamping itu gaya gravitasi yang mendatangkan keseimbangan terhadpa benda-benda langit, juga ada waktunya gaya itu hilang. Jika sudah terjadi demikian, maka benda-benda langit seluruhnya akan bertabrakan saling hancur menghancurkan satu sama lain.
Untuk memperlengkap uraian tentang hari akhir / qiamat perlu juga diketahui tentang tanda-tanda qiamat. Sudah menjadi sunnatullah bahwa kejadian apa saja baik kecil atau besar apalagi kejadian besar seperti qiamat didahului dengan tanda-tanda. Tanda-tanda akan terjadinya qiamat itu, antara lain :
a)         Munculnya Dajjal.
b)        Turunnya Nabi Isa Alaihissalam dan Imam Mahdi.
c)         Timbulnya fitnah bergelombang-gelombang, seperti gelombang laut.
d)        Matahari timbul di Barat.
e)         Setiap orang yang lalu melewati kuburan, berdo’a agar lekas mati, lalu masuk kubur.
f)         Terlalu banyak wanita dan terlalu sedikit laki-laki dengan perbandingan 1 : 50.
g)        Pengaruh tidak tahu untuk apa ia membunuh, si terbunuh tidak mengetahui apa sebab ia dibunuh.
h)        Lenyap ilmu pengetahuan, timbul kebodohan (yang dimaksud di sini ilmu pengetahuan tentang ke-Islaman).
i)          Menghebat perzinahan dan minuman keras yang memabukkan.
j)          Timbul perang antara kaum muslimin dan Yahudi dan peperangan ini dimenangkan oleh kaum muslimin.
k)        Di bumi ini tidak ada lagi yang menyebut nama Allah.
Selanjutnya dalam membicarakan tentang beriman kepada hari akhir, perlu juga pembahasan dengan hal yang berkaitan seperti alam barzah, makhsyar, hisab, syorga, dan neraka.
Alam barzah pengertian secara istilah adalah suatu alam yang menjadi batas antara alam dunia dan alam akhirat, dengan kata lain disebut juga dengan alam kubur. Sedangkan makhsyar adalah suatu tempat berkumpulnya seluruh manusia sejak Nabi Adam Alaihissalam (zamannya) hingga akhir (qiamat) setelah manusia bangkit dari kubur guna mendapat putusan hakim.
Hisab dari segi bahasa, artinya perhitungan. Sedangkan menurut pengertian hisab yaitu penelitian amal, yaitu ditetapkan banyak sedikitnya yang baik atau yang buruk. Sedangkan syurga dan neraka adalah tempat bagi orang yang beroleh nikmat (syurga) dan tempat orang yang beroleh siksa (neraka).
Sebagai orang yang beriman, percaya akan adanya hari kemudian / hari akhirat itu adalah suatu kewajiban yang keterangan akan terjadinya sudah jelas baik secara dalil Aqli dan dalil Naqli.
6)    Beriman kepada Qodho dan Qodar
Beriman kepada qodho dan qodar berarti percaya akan segala sesuatu yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi adalah telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala pada zaman azali. Apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak akan berubah dan tetap demikian jadinya. Umur dan rizki manusia semuanya telah ditentukan oleh Allah. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar menjalankan apa-apa yang ditakdirkan dan manusia tidak tahu apa yang telah ditakdirkan kepadanya, karena itu Islam melarang keras kepada ummatnya pasrah kepada takdir. Kepada ummat Islam diwajibkan untuk berusaha dan bekerja keras dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Setelah berusaha dengan sungguh-sungguh barulah manusia berhak untuk bertawakkal dan berserah diri kepada takdir.
Qodho berarti keputusan Allah dan Qodar adalah ukuran atas ketentuan Allah. Umat Islam mengimani kemuthlakan Allah dalam menentukan qodho dan qodar. Maka sikap yang seharusnya dilakukan sebagai wujud keimanan kepada qodho dan qodar, antara lain : istiqomah, yaitu taat asas dalam menempuh jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Sabar dengan jalan bertahan terhadap berbagai cobaan dalam berjuang di jalan Allah. Tawakkal berarti berserah diri pada keputusan Allah Subhanahu Wata’ala atas usaha yang telah dilaksanakan.
Di dalam buku Tauhid dalam Pendekatan Fisika Modern, pengarang buku tersebut Drs. Abdullah Afif, BSc, telah memberikan contoh tentang takdir, sebagai berikut :
a)         Takdir yang bersifat muthlaq dan manusia tinggal menerima tanpa syarat, misalnya :
-       Manusia dilahirkan menjadi anak tukang becak.
-       Manusia dilahirkan menjadi anak Presiden.
-       Manusia dilahirkan dengan indera yang lengkap.
-       Manusia dilahirkan dengan indera yang cacat.
b)        Takdir yang timbul, karena adanya hukum sebab akibat, misalnya :
-       Tidak lulus ujian karena malas belajar.
-       Kecelakaan di jalan raya, karena lengah mengendarai sepeda motor.
-       Menderita sakit sebab tidak memperhatikan kesehatan.
-       Mendapat musibah karena kurang hati-hati.
c)         Takdir yang akan dialami, namun sebabnya telah diketahui, misalnya :
-       Mendapat bahagia di syurga sebab menta’ati ajaran agama.
-       Mendapat siksa di neraka sebab banyak berbuat maksiat dan mungkar.
d)        Takdir akan terjadi sesuatu, namun tidak berlaku secara umum, misalnya :
-       Rumah di tepi jalan, tiba-tiba ditabrak motor.
-       Rumah yang tiba-tiba hancur sebab kejatuhan meteor.
-       Hutan yang tiba-tiba terbakar di musim kemarau.
-       Seseorang yang tiba-tiba mendapat musibah sebab malam itu kedatangan tamu tak diundang (pencuri).
e)         Takdir yang terjadi pada seseorang namun sebabnya seakan berlawanan dengan kenyataan, misalnya :
-       Meskipun belajar dengan giat, namun ujian tetap tidak lulus.
-       Meskipun usaha maksimal, namun tetap tidak berhasil.
-       Tampaknya usaha begitu saja, namun tiba-tiba usahanya berhasil memuaskan.
Menutup uraian tentang qodho dan qodar ini, disini perlu dinukilkan kembali ceritera khalifah Umar Ibnul Khattab dengan rombongan yang ingin masuk kampung, tetapi beliau menerima laporan, bahwa di kampung itu sedang berjangkit penyakit menular yang sangat membahayakan. Setelah mendengar kabar itu Khalifah Umar Ibn Khattab lalu mengajak rombongannya kembali. Tapi salah seorang berkata kepada beliau : “Takutkah engkau (Tuan) dari takdir Allah”. Khalifah Umar Ibn Khattab akhirnya menjawab, “Kita lari dari takdir Allah menuju ke takdir Allah”.
Pernah juga terjadi di zaman Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam ada seseorang sahabat beliau yang enggan mengikatkan tali untanya dan berkata bahwa ia berbuat demikian, karena sudah benar-benar bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Akhirnya Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, bersabda : “I’qilha watawakkal“. Artinya, ikatlah ia dan setelah itu bertawakkal.
Jadi jelaslah dalam hal memahami masalah takdir ini, kita jangan dahulu pasrah saja dengan takdir sebelum berusaha dan setelah berusaha barulah bertawakkal. Tidak salahnya kita berusaha segiat-giatnya dalam bekerja, supaya jangan menjadi miskin, tetapi dapat hidup berkecukupan. Giat belajar agar jangan sampai bodoh, tetapi berilmu banyak dan bermanfaat, senatiasa menjaga kesehatan, supaya jangan menjadi sakit, tetapi senantiasa sehat dan sebagainya. Orang yang enggan berikhtiar itu pada akhirnya akan sengsara sendiri, karena Allah tidak akan mengubah nasib seseorang atau golongan, jika manusia / golongan itu tidak suka berusaha untuk mengubah nasibnya.
Orang yang punya keyakinan terhadap qodho dan qodar ini punya daya bimbing positif. Secara garis besar hikmah beriman kepada qodho dan qodar adalah :
a)         Sebagai motivasi ikhtiar.
b)        Tidak mudah putus asa, bila usaha belum berhasil. Orang beriman dalam berusaha tidak harus kenal istilah gagal, begitu juga dalam menghadapi kesulitan hidup.
c)         Menumbuhkan jiwa tawakkal.
d)        Menjauhkan diri dari watak hypokrol (nifaq). Orang yang punya landasan iman pada qodho dan qodar selalu mohon pada Allah dengan tawadhu’ baik dalam keadaan senang atau dalam keadaan bencana.
e)         Dapat menahan diri dari sifat tergesa-gesa.
f)         Menerima sesuatu kesudahan dengan hati rela.
Demikian uraian singkat tentang aqidah / tauhid dan pembahasannya tentang rukun iman dan dipersilahkan untuk memperdalam kepada para ahlinya.
Selanjutnya perlu juga diuraikan tentang yang membicarakan masalah aqidah atau ilmu kalam atau persoalan-persoalan teologi, seperti : apakah orang muslim yang melakukan dosa besar masih disebut mukmin ? Apakah iman itu cukup dengan hati dan ucapan, atau harus dinyatakan dengan perbuatan-perbuatan ? Masalah takdir dan kebebasan, Aliran-aliran itu ialah : aliran Khawarij, Murji’ah, Jabariah, Qodariyah, Syi’ah, Mu’tazilah dan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Semua aliran dimaksud telah disinyalir oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, bahwa golongan ummat Islam akan terbagi menjadi 72 golongan dan yang benar atau selamat hanya satu, yaitu yang berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul Allah, berpegang kepada Sunnah nabi dan para Sahabat Nabi. Golongan dimaksud terkenal dengan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
b.    Fiqih / Syari’ah (Ibadah)
Fiqih secara bahasa artinya tahu dan faham. Orang yang mengetahui atau ahli dalam bidang fiqih dinamakan Faqih, jamaknya Fuqaha. Menurut fuqaha, fikih itu adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara atas perbuatan orang mukallaf yang diperoleh dalil-dalilnya yang tafsili. Objek fikih itu adalah wajib, haram, sunnah, makruh, mubah, sah dan batal.
Syari’ah pada asalnya bermakna jalan yang lempang. Para fuqaha memakai kata syari’at sebagaimana bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hambanya dengan perantaraan Rasul. Supaya para hamba melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliyah alhiriyah, maupun mengenai akhlak dan i’tikad.
Secara simpel syari’at itu adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam hal kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Antara fikih, syari’ah dan ibadah berhubungan erat. Karena ibadah kepada Allah, Allah sebagai hubungan vertikal dan hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya (horizontal) telah diatur secara hukum syari’ah.
Sebelum diuraikan masalah iabdah-ibadah khusus dan ibadah umum (ibadah sosial) yang kaifiat dan dasar hukumnya dibahas dalam fikih atau syari’at Islam, maka patut sekali diuraikan lebih dahulu tentang pengertian ibadah, macam-macam ibadah, dasar hukum, hubungan niat dengan pengamalan ibadah, sebagai berikut :
1)    Pengertian ibadah secara etimologis (lughawi) dan pengertian ibadah secara terminologi (istilah).
-       Secara etimologis, ibadah berarti mematuhi, tunduk, berdo’a (Ensiklopedi Islam yang diterbitkan Depag RI, 1993 : 2, 385).
-       Secara terminologis, ibadah berarti kepatuhan / ketundukan kepada dzat yang memiliki puncak keagungan Tuhan yang Maha Esa. Ibadah mencakup segala bentuk kegiatan (perbuatan dan perkataan) yang dilakukan oleh setiap mukmin muslim dengan tujuan mencari keridhaan Allah.
2)    Dasar Hukum
Hukum ibadah didasarkan pada firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 21 :
Artinya :   “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah mencipta kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (Al Baqarah ayat 21).
Di dalam Al Qur’an malah terdapat penjelasan bahwa penciptaan manusia oleh Allah tidak mengandung maksud lain, kecuali supaya mereka menyembah Allah / beribadah kepada-Nya. Hal ini disebutkan dalam Al Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 56 :
Artinya :   “Dan Aku tidak menjadikan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (beribadah kepada-Ku)” (Adz-Dzariyat ayat 56).
3)    Macam-macam Ibadah
Ibadah dapat dibagi kepada empat macam berdasarkan : (1) khusus – umum, (2) pelaksanaan, (3) kepentingan pribadi dan masyarakat, dan (4) bentuk dan sifatnya.
Dari segi khusus dan umumnya, ibadah terbagi kepada :
a)         Ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh Nash Al Qur’an atau Al-Hadits, seperti sholat, puasa, haji. Ibadah yang terkategori ibadah khusus tidak menerima penambahan dan pengurangan.
b)        Ibadah umum, yaitu semua perbuatan baik / terpuji yang dilakukan oleh manusia muslim-muslim dengan niat ibadah dan diamalkan semata-mata karena Allah.
Ibadah umum, dengan demikian amatlah banyak. Diantara contohnya adalah makan minum dengan niat agar badan menjadi sehat, sehingga kuat beribadah. Demikian juga mendidik anak dengan niat agar ia menjadi anak yang saleh; membeli kain sarung, mukena, sajadah dengan niat agar nyaman beribadah; berusaha memperoleh uang banyak dengan niat agar dapat melaksanakan ibadah haji; bergaul dengan isteri dengan niat agar terhindar dari perbuatan menyimpang. Pendeknya semua perbuatan mukmin – muslim (tentu saja baik dan halal) yang dilakukan dengan niat ibadah terhitung ibadah umum.
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, ibadah terbagi kepada :
a)         Ibadah jasmaniyah dan ruhaniyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan jasmani dan ruhani, seperti sholat dan puasa.
b)        Ibadah ruhaniyah dan maaliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan jasmani, ruhani dan harta sekaligus seperti zakat.
c)         Ibadah jasmaniyah, ruhaniyah dan maaliyah, yaitu ibadah dilaksanakan dengan menggunakan jasmani, ruhani dan harta sekaligus, seperti haji.
Ditinjau dari segi pribadi dan masyarakat, ibadah terbagi kepada :
a)         Ibadah fardi, yaitu ibadah yang dapat dilaksanakan secara perorangan, seperti sholat dan puasa.
b)        Ibadah ijtima’i, yaitu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan sosial kemasyarakatan, seperti zakat dan haji.
Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah terbagi  kepada :
a)         Ibadah yang terdiri dari atas perkataan atau ucapan lidah seperti berdzikir, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bershalawat dan lain sebagainya.
b)        Ibadah yang sudah terinci perkataan dan perbuatannya, seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
c)         Ibadah yang tidak ditentukan teknik pelaksanaannya, seperti menolong orang lain, berjihad, membela diri, mendirikan madrasah, masjid, rumah sakit dan sebagainya.
d)        Ibadah yang pelaksanaannya dalam bentuk menahan diri, seperti puasa, ihram, i’tikaf.
e)         Ibadah yang sifatnya menggugurkan haq, seperti membebaskan seseorang dari kewajiban membayar hutangnya kepada kita, memaafkan kesalahan orang lain kepada kita dan sebagainya.
4)    Hubungan Niat dengan Pengamalan Ibadah
Niat secara umum, berarti qashad (maksud, kesengajaan, kesadaran) hati untuk melaksanakan suatu perbuatan baik. Sedang niat secara khusus, berarti qashad hati untuk melaksanakan amal (ibadah atau perbuatan baik lainnya) yang bergandengan dengan amal itu. Jadi niat sholat adalah qashad hati yang bergandengan dengan awal sholat.
Niat puasa adalah qashad hati yang bergandengan dengan awal puasa. Akan tetapi, berbeda dengan niat untuk ibadah lainnya. Niat puasa dapat diqashadkan pada malam hari _____ kapan saja _____ sejak dari saat magrib sampai waktu menjelang fajar subuh.
Adapun yang dimaksud dengan bergandengan dalam niat puasa ialah bahwa niat puasa tersebut harus bergandengan dengan puasa besoknya. Jadi niat puasa tidak sah – demikian puasanya juga – jika digandengkan dengan dua (apalagi tiga) hari setelah malam berniat puasa.
Niat amat berperan dalam memberi makna dan hukum bagi pelaksanaan suatu amal atau perbuatan. Ia adalah faktor penentu bagi menetapkan suatu perbuatan baik. Apakah ia termasuk ibadah atau tidak. Niat itulah yang membedakan antara adat dan ibadat. Bahkan ibadah mahdhah pun seperti sholat, puasa, zakat dan haji, jika dilakukan tanpa berniat, maka hukumnya terhitung tidak sah.
Suatu perbuatan baik yang dilakukan misalnya dalam bentuk memberi uang, pakaian dan sebagainya, dengan niat beribadah. Sedangkan perbuatan jahat, seperti mencuri, membunuh, berjudi dan minum yang memabukkan dan sebagainya, meskipun dilakukan dengan niat ibadah, tidak akan berubah menjadi ibadah.
Sebaliknya suatu perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan niat beribadha, maka betapapun baiknya perbuatan itu tidaklah terhitung sebagai ibadah. Bahkan mungkin sekali perbuatan baik itu terkategori maksiat yang berdosa. Misal dari perbuatan semacam itu cukup banyak. Seorang cukong, misalnya menolong seorang gadis cantik dengan cara memberinya uang, pakaian dan perhiasan dan berbagai hadiah menarik lainnya dengan niat setelah jinak akan dijadikan simpanan atau menjualnya kepada bandot kaya yang hidung belang, maka perbuatan baik semacam itu terhitung maksiat dan mendapat dosa besar.
Ringkasnya untuk semua ibadah, mahdhah dan ammah, niat itu sangat menentukan. Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, bersabda mengenai itu, sebagai berikut :
“Innamal a’maalu binniiati wainnama likulim riim maa nawa”.
Artinya :   “Segala perbuatan (akan sah) menurut niatnya. Dan bagi setiap orang (akan mendapat) apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari Muslim dari Umar).
5)    Pokok-pokok Ibadah
Ibadah yang dimaksud disini adalah ibadah yang telah dirumuskan dalam rukun Islam (Arkanul Islam). Sedangkan arkanul Islam sendiri boleh dikatakan akidah dan ibadah telah tercakup semuanya yang unsur yang pertama adalah Syahadatain, baru kemudian disusul dengan ibadah-ibadah pokok lainnya. Pokok-pokok ibadah yang diwajibkan adalah sholat lima waktu, zakat, puasa, dan naik haji serta iabdah yang merupakan muthlaq lainnya sebagai penyerta adalah ibadah bersuci (Thaharah).
Sebagai awal pembahasan dari pokok-pokok ibadah ini terlebih dahulu diuraikan tentang :
a)    Thaharah yang meliputi pengertian, macamnya, dasar hukum dan alat thaharah.
(1)   Pengertian Thaharah
Thaharah (suci) merupakan miftah (alat pembuka) pintu memasuki ibadah sholat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka. Artinya tanpa thaharah, ibadah sholat baik fardhu ataupun sunnat tidak sah.
Karena fungsinya sebagai alat pembuka (pintu) sholat, maka setiap muslim yang bermaksud akan mendirikan sholat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga thaharah itu sendiri terhitung sah menurut ibadah syar’iyyah.
Thaharah secara lughawi (semantik) adalah suci. Menurut istilah (terminologi) ahli fikih, thaharah adalah : menghilangkan sesuatu yang menjadi kendala bagi sahnya ibadah tertentu. Kendala-kendala tersebut ada yang sifat dan bendanya nyata sehingga dapat diketahuiu melalui indra, seperti najis (benda-benda najis). Tetapi ada juga yang sifatnya abstrak (tidak nyata), seperti hadast-hadast.
Benda-benda najis adalah kotoran-kotoran yang wajib disucikan (dibersihkan) oleh setiap muslim, jika benda itu mengenai badan, pakaian dan tempat. Jika tidak, bukan saja badannya, pakaiannya, lingkungannya tidak cusi (kotor) melainkan juga sholat yang didirikan tidak sah.
Diantara benda-benda najis itu adalah : nanah, air kencing, air besar, air madzi, air liut anjing, khamar, darah haid, darah nifas, darah istihadah dan darah yang keluar dari badan (manusia dan hewan), bangkai binatang darat yang berdarah, kecuali bangkai manusia, anjing dan babi. Benda-benda najis tersebut jika terkena badan, pakaian dan tempat, wajib disucikan (dibersihkan).
Adapun hadast adalah keadaan tidak suci. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak suci dikatakan berhadast yang menyebabkannya tidak boleh sholat, tawaf dan yang semacamnya. Seorang muslim yang batal wudhunya sudah berada dalam kondisi berhadast. Jika ia segera berwudhu maka ia suci kembali dan oleh karenanya ia boleh sholat, tawaf dan amal lainnya yang bersyaratkan wudhu.
Hadast terbagi dua : (1) hadast kecil dan (2) hadast besar. Hadast kecil terjadi karena kita batal wudhu, sedang hadast besar muncul karena terjadi sesuatu yang menyebabkannya, misal berhubungan dengan isteri dan sebab lainnya yang menyebabkan mandi.
(2)   Macam-macam Thaharah
(a)      Thaharah (bersuci) dari najis
(b)     Thaharah (bersuci dari hadats)
Bersuci dari hadast dengan cara berwudhu, tayamum dan mandi.
(3)   Dasar Hukum Thaharah dan Alat Thaharah
Dasar hukum thaharah adalah :
(a)      Firman Allah yang berbunyi : “Wa inkuntum junuban faththahharu“. Artinya : … jika kamu (dalam keadaan junub) maka mandilah.
(b)     Hadist Rasul Shallallahu alaihi wasallam “Miftahushsholat aththuhuut“. Artinya : Alat pembuka (pintu) sholat adalah bersuci.
Para ulama menjelaskan bahwa ayat di atas dan hadist memberikan penegasan bahwa thaharah itu hukumnya wajib, tidak saja bagi seorang muslim untuk mendirikan sholat melainkan juga wajib dalam semua keadaan, terutama bersuci dari najis dan hadast besar.
Masalah alat thaharah itu, adalah : air dan tanah.
(4)   Cara membersihkan Najis
Membersihkan najis sebagai berikut :
(a)      Najis Mukhaffah (enteng) seperti kencing kanak-kanak laki-laki yang belum makan makanan selain dari susu. Kaifiat membersihkannya memadai memercikkan air atas benda itu meskipun tidak mengalir. Adapun kencing kanak-kanak perempuan yang belum makan selain susu, maka kaifiat mencucinya hendaknya dibasuh sampai mengalir air di atas benda yang kena najis itu dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, seperti membersihkan kencing orang dewasa.
(b)     Najis Mutawashshithah (pertengahan), yaitu najis yang terbagi kepada dua bagian :
-       Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya tetapi tidak ada zatnya, baunya, rasanya dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang, cara mencucinya cukup mengalirkan air di atas benda yang kena najis itu.
-       Najis ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa atau baunya; terkecuali warna atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.
(c)      Najis mughallazhah (tebal) yaitu anjing. Cara membersihkannya, hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali daripadanya hendaklah airnya dicampur dengan tanah.
(5)   Istinja
Apabila keluar kotoran daripada salah satu dua pintu, wajib istinja dengan air atau dengan tiga buah batu; yang lebih baik mula-mula dengan batu atau sebagainya, kemudian diikuti dengan air. Batu disini ialah tiap-tiap yang keras, suci dan kasat, seperti kayu, tembikar dan sebagainya (Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasyid). Adapun benda yang licin seperti kaca, tidak syah buat istinja, karena tidak dapat menghilangkan najis.
Syarat istinja dengan batu dan yang seumpamanya, hendaklah sebelum kotoran kering; dan kotoran itu tidak mengenai tempat lain selain tempat keluarnya. Jika kotoran itu sudah kering atau mengenai tempat lain selain tempat keluarnya, maka tidak syah lagi istinja dengan batu, tetapi wajib dengan air.
Masalah istinja ini harus benar-benar diperhatikan karena ia dalam rangka menghilangkan najis. Pernah diriwayatkan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, melewati dua kubur, ketika itu beliau berkata : “Kedua orang yang ada dalam kubur ini disiksa. Yang seorang disiksa karena mengadu-adu orang dan yang seorang lagi disiksa karena tidak mengistinja kencingnya”.
Untuk melengkapi masalah istinja ini, disini dinukilkan tentang adab buang air, sebagai berikut :
(a)      Sunnat mendahulukan kaki kiri ketika masuk kakus (WC) dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar. Karena sesuatu yang mulia hendaklah dimulai dengan yang kanan, sebaliknya tiap-tiap yang hina dimulai dengan yang kiri.
(b)     Janganlah berkata-kata selama dalam kakus, atau membawa barang yang ada tulisan yang sifatnya dzikrullah, karena apabila Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam akan masuk kakus, beliau mencabut cincin beliay yang berukir Muhammad Rasul Allah.
(c)      Hendaklah memakai sepatu atau terompah atau seumpamanya, karena Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam apabila masuk kakus beliau memakai sepatu.
(d)     Hendaklah jauh dari orang sehingga bau kotoran tidak sampai kepadanya, supaya jangan mengganggu orang itu.
(e)      Jangan buang air di air yang tenang, kecuali air tenang itu besar seperti tebat.
(f)      Jangan buang air di lubang-lubang tanah, karena kemungkinan ada binatang yang akan mendapat kesakitan dalam lubang itu.
(g)     Jangan buang air di tempat perhentian, karena mengganggu orang yang berhenti di sana.
Di atas telah diuraikan sebagai mukaddimah dari pelaksanaan ibadah pokok yaitu Thaharah (bersuci), sampailah uraian selanjutnya masalah ibadah pokok / ibadah mahdhah : sholat, puasa, zakat, dan gaji, sebagai berikut :
a)    Sholat
Sholat secara etimologis, berarti do’a. Adapun sholat secara terminologis, adalah perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat tertentu, dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam. Sebagai rukun Islam yang kedua sholat juga sebagai tiang agama (siapa yang mendirikan sholat berarti ia mendirikan agama / menegakkan agama dan siapa yang meninggalkan sholat ia meruntuhkan agama). Sholat adalah sebagai amal yang pertama-tama dihisab pada hari pembalasan. Sholat sebagai ibadah yang langsung diterima Rasulullah sewaktu peristiwa Isro dan Mi’raj.
Sholat itu sebenarnya modal hidup bagi setiap muslim / mukmin di dunia ini. Masalah sekarang bagaimana memfungsikan shalat itu agar benar-benar dapat berperan sebagai modal hidup ? Bagaimana, agar dengan modal sholat itu, kita dapat hidup lebih sejahtera, makmur dan bahagia ? Jawabnya terletak pada :
(1)     Sholat itu harus didirikan (dilaksanakan) secara tetap dan baik. Dimaksud tetap dan baik adalah tidak akan meninggalkannya dalam kondisi, situasi serumit apapun dan dikerjakan sesempurna-sempurnanya sesuai dengan contoh dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
(2)     Shalat harus diamalkan dengan penu kekhusyuan dan keikhlasan.
(3)     Sholat itu harus diamalkan dengan memenuhi segala persyaratannya, seperti wudhu yang sempurna, serta badan, pakaian dan tempat yang bersih.
(4)     Pada waktu mendirikan sholat secara berjama’ah, maka tata tertib sholat berjama’ah dan tata cara do’a di dalam sholat berjama’ah harus dilakukan setertib-tertibnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
b)    Puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut Shiam atau Shaumu yang artinya menahan diri dari sesuatu. Kedalam pengertian ini termasuk menahan diri dari berbicara dengan orang lain. Kuda yang diam dalam bahasa Arab disebut Sha’im (menahan). Demikian juga angin yang dalam keadaan tenang dan matahari yang sedang berada di titik kulminasinya disebut shaum (menahan).
Pengertian puasa menurut terminologi syar’i adalah menahan hawa nafsu makan, minum dan hubungan seksual sejak dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Berdasarkan pengertian secara terminologi syar’i itu dapat diketahui bahwa puasa adalah ibadah yang mempuynyai syarat dan rukun tertentu, diamalkan siang hari sejak dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan cara menahan diri dari makan, minum, hubungan sebadan serta perilaku meninggalkan perbuatan tidak terpuji yang bisa mengurangi makna / nilai / pahalanya. Puasa yang diamalkan dengan memenuhi semua persyaratan tersebut besar sekali makna dan pahalanya.
Secara hukum puasa itu ada yang wajib dan yang sunnat, makruh dan haram. Puasa wajib adalah puasa Ramadhan, puasa nazar, puasa mengkodho dan puasa kifarat. Puasa sunnat banyak macamnya : puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa Senin Kamis, puasa Arafah dan lainnya. Puasa makruh ialah puasa setiap hari Jum’at saja, atau pada hari Sabtu saja. Sedang puasa yang haram adalah puasa pada dua Hari Raya dan pada Hari Tasyrik yakni pada 11, 12, 13 Dzulhijjah.
c)    Zakat
Secara bahasa zakat dapat berarti nama’ (tumbuh, subur, tambah besar), Thaharah (suci), barakah (berkat) dan tazkiyah (pembersihan, penyucian). Secara istilah (terminologi syar’i) zakat berarti memberikan sesuatu yang wajib diberikan dari sekumpulan harta tertentu kepada golongan-golongan tertentu yang berhak menerimanya.
Di dalam Al Qur’an terdapat istilah-istilah lain yang mengandung pengertian zakat, diantara istilah itu adalah :
(1)     Shadaqah, seperti terlihat dalam QS. 9 At-Taubah : 103.
(2)     Nafaqah, seperti terlihat dalam QS. 9 At-Taubah : 34.
(3)     Haq, seperti terlihat dalam QS. Al-An’am : 161.
(4)     Afwu, seperti terlihat dalam QS. 7 Al-A’raf : 199.
Akan tetapi di dalam masyarakat berkembang pengertian yang sesungguhnya tidak salah, bahwa zakat itu sedekah wajib. Sedangkan sedekah tanpa kaitan dengan wajib adalah perbuatan menolong yang hukumnya sunnat baikpun dengan harta, tenaga dan lainnya.
Sebagai ibadah wajib, zakat mempunyai manfaat ganda yang dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauan, misalnya :
(1)     Dari segi hubungan manusia dengan Tuhannya.
(2)     Dari segi hubungan manusia dengan dirinya.
(3)     Dari segi hubungan manusia dengan masyarakatnya.
(4)     Dari segi hubungan manusia dengan hartanya.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima. Oleh karena itu, setiap muslim yang memiliki harta yang nisabnya sudah cukup dan haulnya telah sampai wajib menunaikan zakat hartanya itu. Dasar hukum wajibnya tersebut, terdapat juga dalam forman Allah dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat   43 :
Artinya :  “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama-sama orang ruku“.
Sebagai salah satu ibadah yang tergolong Maliyah, maka tujuan zakat tidak berbeda dari tujuan ibadah pada umumnya. Setiap muslim yang menunaikan zakat harus mempunyai satu tujuan, yaitu beribadah, mendekatkan diri dengan keikhlasan yang penuh kepada-Nya. Jika pun ada maksud lain dalam berzakat itu maksud tersebut tidak boleh kecuali mencari keridhaan Allah.
Di dalam ibadah zakat, karena akan diberikan kepada manusia, terkandung jua tujuan duniawi yang tidak salah, yaitu mendapat keridhaan manusia. Memang di dalam ajaran agama Islam dan pengamalan Islami tidak pernah dapat terpisahkan secara muthlaq antara tujuan-tujuan duniawi dan ukhrawi.
Akan tetapi, tujuan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah serta mendambakan keridhaan-Nya adalah tujuan yang tertinggi yang dengannya tercapai tujuan duniawi. Oleh karena itu setiap muslim, ketika menunaikan zakatnya, tidak perlu terselip di dalam hatinya tujuan-tujuan lain. Ia harus membulatkan tekad dan meluruskan hati, bahwa menunaikan zakat ini semata-mata dalam rangka beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap ridho-Nya.
Berpijak kepada hal manfaat dan tujuan zakat, maka zakat sebagai kewajiban agama yang bersifat kemasyarakatan harus benar-benar dipahami. Artinya zakat tidak asal ditunaikan, melainkan harus menggunakan ilmu pengetahuan tentang lingkungan sekitarnya. Zakat harus mampu memberantas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Zakat juga mampu menjembatani hubungan persaudaraan si kaya dan si miskin.
Zakat harus mampu merubah kehidupan ummat yang tadinya penerima zakat menjadi pemberi zakat (Muzakki). Dengan begitu cara pelaksanaan zakat yang sifatnya tradisional perlu diadakan perubahan. Sistem tradisional, pelaksanaan langsung, diam-diam kurang dapat mencapai tujuan. Zakat hendaknya dikumpulkan dan didayagunakan dengan memperhatikan kondisi si penerima zakat, agar tidak berkepanjangan hidup dalam kemiskinan.
Setelah merenungkan dan memahami makna, hikmah dan tujuan zakat, disamping memang suatu kewajiban bagi muzakki untuk menunaikannya. Tetapi yang tak kalah pentingnya adalah semangat, kegairahan berzakat dalam rangka mensucikan harta, diri dan sekaligus rasa senang untuk menolong orang lain sangat perlu dilestarikan dan dikembangkan di masyarakat.
Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) ada 8 (delapan) golongan, yaitu :
(1)     Faqir, dalam persoalan zakat ialah orang yang tidak mempunyai barang yang berharga dan tidak mempunyai kekayaan dan usaha, sehingga dia sangat perlu ditolong keperluannya.
(2)     Miskin, dalam persoalan zakat ialah orang yang mempunyai barang yang berharga atau pekerjaan yang dapat menutup sebagian hajatnya akan tetapi tidak mencukupinya, seperti orang memerlukan sepuluh dirham tapi hanya memiliki tujuh dirham saja.
(jadi dengan kaidah di atas, bahwa faqir itu lebih parah dari pada miskin)
(3)     Amil, ialah orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat, menyimpannya, membaginya kepada yang berhak dan mengerjakan pembukuannya.
(4)     Muallaf, ini terbagi kepada 4 (empat), yaitu :
(a)      Muallaf muslim ialah orang yang sudah masuk Islam tapi niatnya atau imannya masih lemah, maka diperkuat dengan diberi zakat.
(b)     Orang yang telah masuk Islam dan niatnya cukup kuat dan ia terkemuka di kalangan kaumnya. Ia diberi zakat dengan harapan kawan-kawannya akan tertarik masuk Islam.
(c)      Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang kafir yang disampingnya.
(d)     Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang yang membangkang membayar zakat.
Muallaf ketiga dan keempat, diberi zakat sekiranya diperlukan, misalnya karena mereka kita beri zakat, maka tidak usah menyediakan angkatan bersenjata guna menghadapi kaum kafir atau pembangkang zakat yang biayapun akan lebih besar. Adapun golongan pertama dan kedua kita beri zakat tanpa syarat.
(5)     Riqab, artinya mukatab ialah budak belian yang diberi kebebasan usaha mengumpulkan kekayaan agar ia dapat menebus dirinya untuk merdeka.
(6)     Gharim, masalah gharim ini ada tiga macam, yaitu :
(a)      Orang yang meminjam guna keperluan menghindarkan fitnah atau mendamaikan pertikaian / permusuhan.
(b)     Orang yang meminjam guna keperluan diri sendiri atau keluarganya untuk hajat yang mubah.
(c)      Orang yang meminjam karena tanggungan, misalnya para pengurus masjid, madrasah atau pesantren menanggung pinjaman guna keperluan masjid, madrasah atau pesantren itu.
(7)     Sabilillah, ialah jalan yang dapat menyampaikan sesuatu karena ridha Allah baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur ulama mengartikan Sabilillah disini dengan perang. Bagian dari zakat untuk Sabilillah itu diberikan kepada Angkatan Bersenjata yang lillahi ta’ala, artinya tidak mendapat gaji dari pemerintah. Pada zaman ini yang paling penting bagian Sabilillah itu ialah guna membiayai para muballig Islam dan mengirim mereka ke negara-negara non Islam guna penyiaran agama Islam oleh lembaga-lembaga Islam yang cukup teratur dan terorgaisasi. Termasuk Sabilillah ialah nafkah para guru-guru sekolah yang mengajarkan ilmu syari’at dan ilmu-ilmu lainnya yang diperlukan oleh masyarakat.
(8)     Ibnu Sabil, ialah mereka kehabisan biaya dalam perjalanan baik karena tidak mencukupi, karena kehilangan atau diramoas.
Selanjutnya sampailah kepada uraian tentang macam-macam zakat. Dalam garis besarnya zakat itu hanya terbagi dua, yaitu :
(1)     Zakat al-mal, misalnya emas, perak, hewan ternak, hasil tumbuh-tumbuhan (termasuk biji-bijian) harta perniagaan.
(2)     Zakat an-nafs (zakat diri) dalam masyarakat Indonesia populer dengan istilah zakat fitrah, yaitu zakat diri yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim di bulan Ramadhan.
Untuk lebih terperinci masalah macamnya zakat, haul, nisab, kadar zakat bisa dilihat dalam lampiran (Tabel Zakat).
d)    Haji
Secara bahasa Al-Hajju berarti menyengaja atau menuju atau mengunjungi. Secara istilah Al-Hajju berarti mengunjung Ka’bah untuk beribadah kepada Allah dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta beberapa kewajiban tertentu dan melaksanakannya dalam waktu tertentu.
Haji adalah rukun Islam yang kelima, oleh karenanya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Orang yang mengingkari hukum wajibnya adalah kufur dan murtad dari agama Islam.
Sedangkan umroh artinya berziarah, secara istilah berziarah mengunjungi Ka’bah untuk beribadah kepada Allah dengan syarat dan rukun tertentu dan wajib-wajibnya. Tetapi berbeda dengan ibadah haji, karena umrah boleh dilaksanakan sepanjang tahun, baik di musim haji atau di luar musim haji.
Kembali kepada persoalan haji, bahwa haji itu dilaksanakan bagi orang Islam yang mampu / kuasa (Istitho’ah), sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Al-Haj 27 :
Artinya :  “Siarkanlah (khabar) diantara manusia tentang (wajib) Haji” (QS. Al-Haj : 27).
Firman Allah lagi dalam Al Qur’an pada surah Ali Imran 97 :
Artinya :  “Karena Allah, wajib atas manusia mengerjakan haji ke Baitullah (yaitu) siapa yang mampu pergi ke sana” (QS. Ali Imran : 97).
Berdasarkan dua ayat Al Qur’an tersebut nyatalah, bahwa haji itu diwajibkan oleh Allah atas kita, dan wajibnya adalah atas orang yang mampu pergi kesana itu tentulah orang cukup belanja dan sehat badan.
Istilah mampu (istitho’ah) disini para ulama menafsirkannya dengan membagi pada 4 (empat) kategori, sebagai berikut :
(1)     Sehat badannya. Jika ia tidak sanggup menunaikan haji disebabkan tua, cacat, atau karena sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, hendaklah diwakilkan kepada orang lain, jika ia mempunyai harta. Jika tidak mempunyai harta, tetapi mempunyai anak yang patuh dan mampu melakukan haji untuknya, ia wajib memerintah anak itu untuk melakukannya.
(2)     Tersedianya bekal untuk perjalanan pergi dan kembali serta selama berada di tanah suci.
(3)     Tersedianya kendaraan, baik dengan memiliki ataupun menyewa dengan harga dan sewa yang pantas.
(4)     Aman di perjalanan, artinya tidak ada ancaman yang berarti terhadap jiwa, kehormatan dan harta. Khusus untuk perempuan, diperlukan orang yang mendampinginya : suami, mahram, atau beberapa perempuan lainnya. Namun bila perjalanan betul-betul aman, perempuan pun dibenarkan berhaji tanpa teman.
(5)     Memungkinkan melakukan perjalanan : artinya setelah seorang mendapatkan biaya, masih tersedia cukup waktu untuk melakukan perjalanan haji.
Adapun wajib haji itu sekali saja, dengan dalil dari Sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam :
Alhajju marrotan, faman zaada fahuwa tathawwu’un“.
Artinya :  “Haji itu (wajib) sekali saja; dan barang siapa tambah, maka yaitu jadi sunat” (H.S.R. Ahmad).
Mengingat wajib haji itu hanya sekali seumur hidup bagi orang mampu dan sunnat saja beribadah haji dalam beberapa kali. Maka kiranya, seyogialah bagi kita yang mampu / kaya mencukupkan naik haji itu sekali saja, kecuali dengan dalih ingin membawa isteri, anak perempuan dan orang tua yang masih belum haji. Karena apa masih banyak kewajiban-kewajiban kita dalam hal urusna ummat, seperti mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan dan lain-lainnya.
Pelaksanaan ibadah haji dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga cara, ialah :
(1)     Ifrad ialah mengerjakan haji lebih dahulu, baru mengerjakan umrah. Cara ini tidak wajib membayar dam.
(2)     Tamattu, ialah mengerjakan umrah lebih dahulu, baru mengerjakan haji. Cara ini wajib membayar dam nusuk (ibadah). Bagi jamaah haji Indonesia kebanyakan menggunakan cara ini.
(3)     Qiran, ialah mengerjakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam nusuk (ibadah).
Bagi jama’ah yang memgambil Haji Ifrad dan Haji Qiran disunnatkan mengerjakan tawaf Qudum. Tawaf Qudum bukan tawaf umrah dan bukan tawaf haji. Tawaf qudum ini boleh disambung dengan sa’i dan boleh tidak. Tetapi apabila disambung dengan sa’i, maka sa’inya sudah termasuk sa’i haji. Oleh sebab itu, waktu tawaf ifadah dia tidak perlu lagi melakukan sa’i.
Mengenai syarat, rukun dan wajib haji dan umrah (terlampir tabel ibadah haji dan umrah). Dalam melaksanakan ibadah haji, haruslah betul-betul Lillahi Ta’ala. Artinya bukan karena yang lain, seperti ingin menambah nama di depannya dengan sebutan haji atau hajjah atau ingin merobah songkok hitam menjadi putih dan bisa pakai surban atau ingin berdagang / pelesiran. Tetapi harus benar-benar karena Allah.
Sebelum menutup tentang uraian singkat pokok-pokok ibadah, patut juga dikemukakan para fuqaha besar atau imam mazhab, sebagai berikut :
a)         Imam Abu Hanifah, lengkapnya Abu Hanifah Nu’man Bin Tsabit at-Taimi lahir di Kufah (80 – 150 H = 699 – 767 M)
b)        Imam Malik bin Anas (95 – 179 H = 713 – 789 M) berdiam dan hidup di Madinah.
c)         Imam Asy-Syafi’i (150 – 204 H = 757 – 820 M). Lahir di Gaza.
d)        Imam Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H = 780 – 855 M) lahir di Bagdad.
Sebagaimana kita ketahui dalam syari’at Islam 2 (dua) bentuk hubungan, yaitu ibadah dan muamalah yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun muamalah yang dimaksud adalah hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Inilah yang disebut dengan kemasyarakatan.
Sehubungan dengan muamalah itu, Islam telah mempunyai konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan, perekonomian, sosial politik dan lain sebagainya yang erat hubungannya dengan pergaulan dan hubungan antar manusia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ajaran Islam itu lengkap, tinggi, sempurna, integral dan universal dan mampu memecahkan segala persoalan hidup sehingga Islam sebagai way of life (pandangan hidup).
Oleh karena itu barang siapa yang memilih agama selain dari agama Islam, sungguh dia rugi dunia dan akhirat. Dan rugi di negeri akhirat adalah rugi yang paling besar atau rugi yang sebenar rugi, karena tempat kediaman adalah api neraka.
c.    Akhlak
Dalam pembahasan masalah akhlak ini, kita mencoba menguraikan mulai dari pengertian akhlak, tujuan akhlak, dasar-dasar akhlak dan akhlak mahmudah serta akhlak madzmuumah, sebagai  berikut :
1)    Pengertian Akhlak
Akhlak, jama’ dari pada khuluq artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan. Secara definisi ada berbagai pendapat.
a)    Ibnu Maskawaih
Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong (mengajak) untuk melakukan perbuatan-perbuatan, tanpa dipikir dan dipertimbangkan lebih dahulu.
b)    Imam Al-Gazali
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa daripadanya lahirlah perbuatan-perbuatan yang mudah dan gampang tanpa perlu dipikirkan dan dipertimbangkan lagi. Selanjutnya Imam Gazali mengatakan : Apabila sifat itu sekiranya melahirkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syara’ itu dinamakan akhlak yang baik. Dan apabila menimbulkan perbuatan-perbuatan tercela, sifat yang menjadi sumbernya dinamakan akhlak yang buruk. Disini ada 4 faktor yang harus diketahui :
-       Perbuatan baik dan buruk
-       Kriterianya
-       Mengetahuinya
-       Sifat yang cenderung kepada satu dari dua hal yang berbeda dan menyukai salah satu diantara keduanya, adakalanya itu kebaikan atau keburukan.
c)    Drs. H. Abu Ahmadi
Akhlak ialah kualitas tingkah laku, ucapan, dan sikap seseorang yang punya nilai utama dan hina atau nilai tinggi dan rendah.
(Dalam kata lain halus kasarnya perasaan yang tercermin pada tutur kata dan sikap seseorang).
Ilmu akhlak berbeda dengan akhlak, ilmu akhlak sifatnya teoritis sedangkan akhlak sifatnya praktis. Akhlak ini mempunyai jangkauan yang lebih luas, meliputi hubungan manusia dengan Kholiqnya dalam wujud ibadah. Hubungan manusia dengan manusia, bahkan hubungan manusia dengan semesta, dalam bentuk hubungan kerja sama, gotong royong, bantu membantu dan sebagainya dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing.
Pantulan akhlak mahmudah, baik bersifat vertikal maupun horizontal adalah berupa ihsan. Orang Islam diharapkan dapat menjadi saksi kebaikan daripada Islam. Sebab jika tidak, akan menutup nilai Islam itu sendiri.
Apabila seorang mukmin kurang memperhatikan perilakunya, terutama dalam bergaul dengan kelompok masyarakat lain akan berakibat kesan negatif terhadap Islamnya.
Iman dan akhlak sangat erat hubungannya. Ukuran iman dan ibadah itu yang hanya dapat menyaksikan hanyalah intern umat Islam sendiri, sedangkan akhlak oleh siapa saja.
2)    Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah agar manusia dapat menjadi baik dan terbiasa dengan pada yang baik itu. Baik akhlaknya dapat mempermudah membiasakan kebaikan-kebaikan yang lain. Secara terperinci tujuan akhlak sebagai berikut :
a)         Untuk dapat menghormat Allah dengan semestinya. Hal ini terangkum pada pengertian Ihsan, Sabda Rasul Allah :
Al-ihsaanu anta’budallaha kaanaka taraahu, faillam takun taroohu fainnahu yarooka“.
Artinya :  “Ihsan itu bahwa engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Dia, maka bilamana tidak, Dia melihatmu” (HR. Muslim)
b)        Meniru perilaku Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam. Sebab Rasul Allah adalah suri teladan utama.
Kaana Rasulullah Shallallahu alaihi wassallama ahsanannaasi khuluqun“.
Artinya :  “Adalah Rasul Allah Shallallahu alaihi wassallam itu sebaik-baik manusia budi pekertinya” (HR. Bukhari Muslim).
c)         Memperbaiki akhlak sangat menentukan beratnya timbangan amal baik. Lantaran akhlak baik / bagus dapat menentukan bobot amal baik (mizan). Sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam :
Maamin syaiin filmiizaani atsqolu min khusnul khuluqi
Artinya :  “Tak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya daripada kebaikan budi pekerti” (HR. Abu Daud).
d)        Sebagai konsekuensi kelengkapan potensi fisik dan moral. Hal ini sesuai dengan isi do’a yang selalu dibaca oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang artinya sebagai berikut :
Ya Allah Tuhan kami, sebagaimana Engkau telah baguskan kejadian kami, maka baguskanlah perangai kami“.
e)         Mengurangi, meniadakan perangai buruk. Karena perangai / akhlak yang buruk sangat merugikan baik diri sendiri, keluarga atau masyarakat.
3)    Dasar-dasar Akhlak
Mendidik akhlak hampir setiap orang dapat melakukan. Apalagi jika diidentikkan dengan istilah morality. Melatih membiasakan dan mendidik akhlak sama halnya dengan mendidik (mengajarkan) ilmu yang lain.
Hanya saja menemukan dasar-dasar moral (akhlak) tidaklah mudah. Ahli pendidikan dari Barat mengatakan : mengajar moral itu mudah, tetapi menemukan dasar-dasar moral adalah sangat sulit (to teach a morality is easy, but to find foundation of morality is hard). Bagi orang Islam tidaklah sulit sebab pedoman hidup orang Islam adalah Al Qur’an dan di dalam Al Qur’an segala-gala ada. Bahkan akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah Al Qur’an.
Jadi akhlak Nabi Shallallahu alaihi wassallam adalah manifestasi dari keseluruhan isi Al Qur’an, karena fondasinya Al Qur’an. Karena akhlak Nabi Shallallahu alaihi wasallam adalah manifestasi dari kandungan Al Qur’an, maka derajat akhlak Nabi dapat mencapai tingkatan tertinggi.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala :
Wa innaka la’alaa khuluqin a’dhiimin“.
Artinya :   “Sesungguhnya kami benar-benar berbudi pekerti yang agung“.
Dengan 2 (dua) alasan di atas maka dasar akhlak bagi kita ummat Islam, berupa :
a)         Al Qur’an Karim
b)        Perbuatan, pernyataan dan ucapan Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Adapun produk-produk yang mendasari akhlak sebagai berikut :
a)         Firman Allah
Artinya :  “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari qiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab : 21).
b)        Dalam ucapan tutur kata (keteladanan) Rasul diterangkan juga dalam Al Qur’an ayat 6 surah Al-Mumtahanah :
Artinya :  “Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan si penerima, Allah Maha Kaya lagi Penyantun” (Al-Baqarah : 263).
c)         Tiap kepala keluarga (orang harus mendidik akhlak anak-anaknya), sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam :
Akrimuu aulaadakum waahsinuu aadaabahum
Artinya :  “Muliakan anak-anakmu semua dengan menjadikan baik adab (sopan santun) mereka” (R. Anas).
d)        Dasar bersikap
Firman Allah :
Artinya : “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia, (karena sombong) dan janganlah kamu kerjakan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan dirinya” (QS. Luqman : 18).
e)         Dasar sifat amanah
Firman Allah :
Artinya :  “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. Annisa : 58).
d.    Al-Akhlaqul Mahmudah dan Al-Akhlaqul Madzmuumah
Dalam menguraikan tentang Akhlaqul Mahmudah dan Akhlaqul Madzmuumah ini, dimulai dengan pembicaraan :
1)    Akhlaqul Mahmudah, diantaranya adalah :
a)    Ash-Shidqatu (Ash-Shiddiq) artinya jujur dan benar
Jujur atau benar adalah alat untuk mencapai keselamatan dan keberuntungan serta kebahagiaan. Dengan jujur dan benar orang akan memperoleh popularitas, selalu dipercaya, dijadikan teladan bagi orang lain, banyak teman dan sahabat, perintahnya selalu diturut dan segala perkataannya tidak sia-sia. Semua orang akan senang dan puas berhadapan dan bergaul dengan orang jujur, sebab mereka tidak khawatir akan dikhianati, dizhalimi dan terpedaya.
Dengan jujur orang akan menempuh kehidupan dengan selamat, sahabat yang baik adalah kejujuran, sebab ia berdaya membawa kita kepada kebahagiaan.
Karena itu wajiblah berikhtiar agar memiliki sifat jujur, jangan mencoba untuk berdusta, sebab jujur suatu jalan menuju syurga, sedangkan dusta adalah suatu sebab menjerumuskan kepada neraka.
b)    Ash-Shabru (Shobar) artinya sabar
Keadaan yang terjadi di dunia ini terbagi dua, yaitu : yang menyenangkan sesuai keinginan kita dan yang kedua yang menyakitkan yaitu yang tidak sesuai dengan kehendak kita. Dan yang kedua inilah tempatnya bersabar diri.
Secara negatif disebut tahan menderita, secara positif disebut berhati-hati atau selektif dalam bertindak, sebelum bertindak segala akibatnya difikirkan lebih dahulu.
Kebahagiaan, keuntungan, keselamatan, hanya dapat dicapai dengan usaha secara tekun, terus menerus dengan penuh kesabaran, keteguhan hati, sebab sabar adalah asas untuk melakukan segala usaha, tiang untuk mencapai segala cita.
Sabar bukan berarti menyerah tanpa syarat, tetapi sabar adalah terus berusaha dengan hati yang tetap, berikhtiar, sampai cita-cita dapat berhasil dan di kala menerima cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala, wajiblah ridha dan hati yang ikhlas.
Sabar dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, melalui tiga tahapan, yaitu :
-       Tahap pertama, sabar sebelum beribadat, dengan niat yang benar, ikhlas, tidak ingin dipuji orang.
-       Tahap kedua, sabar ketika beramal, tidak lupa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sempurna adab dan caranya dari awal sampai akhir.
-       Tahap ketiga, sabar sesudah selesai beramal, tidak riya, tidak ingin dipuji, menjauhi segala sesuatu yang akan menghapuskan nilai amal.
c)    Al-Ihsaan (berbuat baik)
Ihsaan adalah berbuat baik dalam ketaatan terhadap Allah, baik dari jumlah perbuatan, seperti mengerjakan yang sunnat. Di dalam hadist, Ihsan itu, sembahlah akan Allah seakan-akan melihat Dia, jika anda tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihat anda. Beribadah hendaklah dengan pendirina yang teguh, tanpa ada perubahan baik dilihat orang, maupun dalam keadaan sendirian. Kita wajib yakin, bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
d)    Al-Amaanatu (Amanah) = dapat dipercaya
Seorang mukmin hendaklah selalu berlaku amanah, jujur dengan anugerah Allah Subhanahu Wata’ala kepada dirinya, menjaga anggota jasmaniah dan rohaniah (lahir dan batin) dari maksiat serta mengerjakan perintah Allah dengan sempurna, dimana pada gilirannya nanti baik kawan atau lawan akan menghormati dan menghargai, menaruh respect dan simpati yang baik.
Sesuatu yang dipercayakan orang, baik harta atau ilmu pengetahuan, maupun rahasia pribadi lainnya yang wajib dipelihara / disampaikan kepada yang berhak menerimanya.
Hartawan hendaklah menyampaikan / memberikan hak kepada orang lain dari harta yang kita miliki, pemimpin hendaklah berbuat dan bertindak sesuai dengan tugas kewajiban yang diamanahkan.
e)    Al-Khairu (Khair) = kebaikan (baik)
Dalam hidup  ini kita tidak saja disuruh berbuat baik sesama manusia, tetapi juga terhadap makhluk lain ciptaan Allah seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, lingkungan sekeliling. Sebab setiap kebaikan, walaupun kecil, Allah akan membalas dengan seadil-adilnya.
Sudah barang tentu tidak layak kita hanya pandai menyuruh orang berbuat kebaikan, sedangkan kita tidak mengerjakannya. Oleh karena itu mulailah dengan diri kita lebih dahulu.
f)     Al-Khusyuu’u artinya pemusatan tujuan dengan tekun
Khusyu dalam perkataan, jika ibadat yang berpola perkataan, hendaklah dibaca dengan baik dan benar dan tertuju kepada Allah semata, tekun sambil menunjukkan diri dan pemusatan tujuan yang terbit dari hati.
Mengerjakan ibadah dengan merendahkan diri, menunjukkan perasaan hati, tekun dan tetap senantiasa bertasbih, bertahmid, bertakbir dan bertahlil memuji-muji Allah, hati tertuju kepada-Nya. Lebih khusus lahi dalam sholat.
g)    Al-Aliefah artinya disenangi
Hidup dalam masyarakat yang beraneka ragam, memang tidak mudah, sebab anggota-anggota masyarakat itu, bermacam-macam sifat, watak, kebiasaan dan kesenangan yang berbeda satu sama lain.
Orang yang bijaksana tentu dalam menyelami aspirasi / kehendak yang hidup di tengah masyarakat. Peka dan menaruh perhatian kepada segenap situasi dan senantiasa mengikuti setiap fakta dan keadaan yang selalu berubah.
Pandai mendudukkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya, bijaksana dalam sikap dan tindak, perkataan dan perbuatan. Pribadi yang demikian akan disenangi oleh anggota masyarakat.
h)    Al-Afwu artinya pema’af
Manusia ini tidak sunyi dari kekhilafan dan kesalahan. Oleh karena itu jika ada orang yang berbuat kekhilafan dengan kita. Hendaklah kita lemah lembut menyikapinya dan terus memberikan maaf atas kekhilafannya. Janganlah kita mendendam dan mintakanlah petunjuk dari Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga ia sadar mengakui kesalahannya dan selanjutnya kembali ke jalan yang benar.
i)     Annisatun (Aniesah) artinya manis muka
Bermanis muka adalah tuntunan agama. Bersikap bijaksana dalam menghadapi isu miring / negatif, menerima berita fitnah yang menjelekkan nama baik, hendkalah disambut dengan senyum dan bermuka manis. Banyak orang pandai mempunyai sikap bermanis muka, sehingga selalu memperoleh sukses dan mencapai kemenangan dalam diplomasi. Dengan muka manis lawan kita akan mengaku kekeliruan mereka dan menyetujui kebenaran di pihak kita dan mereka terkesan terhadap sikap kita.
j)     Adh-Dhiyaafah artinya menghormati tamu
Tamu adalah orang yang datang ke rumah kita, baik datang dari dekat maupun dari jauh. Dengan bertamu bertambah rapatlah rasa persaudaraan dan menyambung silaturahmi. Menghormati tamu adalah ciri orang yang benar-benar beriman kepada Allah. Termasuk dalam arti menghormati tamu adalah menyediakan makan minum dan tempat tidur selama tiga malam jika ia bermalam (maksudnya tiga hari tiga malam).
k)    Al-Hayaa’u artinya perasaan malu
Perasaan malu  jika melakukan perbuatan pelanggaran agama, khususnya malu kepada Allah. Perasaan malu ini pembimbing menuju kehidupan yang selamat, perintis mencapai kebahagiaan dan sebagai alat menghalangi perbuatan tercela. Orang yang mempunyai sifat ini terhindar dari perbuatan yang hina. Karena setiap ingin berbuat yang menyimpang, ia ingat Allah dan malu kepada Allah.
l)     Al-Hukmu bil Adli artinya menghukum dengan adil
Adil dalam setiap sikap, artinya memberi hak kepada yang mempunyai. Adil terhadap sesama manusia dalam perkataan dan perbutan, adil dalam hal memutuskan hukum. Menegakkan keadilan harus tegas, berani, teguh pendirian dan konsekuen menjalankan kebenaran karena Allah semata-mata.
Adil adalah sikap tegak lurus, tanpa memihak ke kanan dan ke kiri. Tanpa memandang hubungan famili dan teman karib.
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, pernah bersabda : “Jika sekiranya anakku Fathimah puteriku mencuri, maka akan saya potong tangannya”.
m)   Al-Ikhoo’u artinya persaudaraan
Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah persaudaraan. Maka perbaikilah hubungan sesama mukmin dengan sebaik-baiknya. Persaudaraan Islam tidak terbatas pada kebangsaan, kesukuan, tetapi sifatnya universal (menyeluruh). Apabila mengaku beriman kepada Allah dan melaksanakan ajaran Islam, maka kedudukan adalah sama. Apakah kaya atau miskin, berpangkat, rakyat biasa, kulit hitam atau kulit putih adalah sama pada sisi Allah. Tidak kelebihan satu sama lain, kecuali taqwanya.
Demikian hendaknya di setiap dada seorang mukmin terpatri rasa persaudaraan, solidaritas terhadap yang lain. Senang sama tertawa, susah sama menangis. Persaudaraan yang hakiki adalah yang terbit dari perasaan, satu Tuhan, satu Rasul, satu kiblat dan satu Kitab Suci.
n)    Al-Muruu-ah artinya berbudi tinggi
Sifat muruu-ah adalah mempunyai budi pekerti yang tinggi, kesatria, selalu membela kebenaran, ulet berjuang untuk mencapai cita-cita mulia. Merasa tidak puas dan malu kalau sesuatu rencana yang baik belum berhasil. Perasaan selalu ingin berbuat baik, ingin menanamkan jasa kepada masyarakat. Dirinya merasa kurang sempurna, kalau ada beban amanah dari masyarakat yang belum terselesaikan.
Sifat ini sangat luhur bagi pribadi yang ingin berjiwa bersih dari kotoran sifat keakuan (individualisme). Orang yang mempunyai sifat muruu-ah, akan membawa harum nama pribadinya, keluarganya, masyarakat dan bangsanya. Dia akan selalu bahagia dan tenteram dalam situasi serta keadaan yang bagaimanapun juga.
o)    An-Nadzhofah artinya bersih
Membersihkan badan, pakaian, tempat tinggal adalah suruhan agama. Maka seyogianyalah manusia membersihkan badannya dengan mandi, menggunting rambut dan memotong kuku, membersihkan mulut, hidung, telinga dan anggota badan lainnya.
Pakaian dan juga tempat tinggal juga harus bersih, karena semua ini adalah pangkal kesehatan, pokok kegembiraan dan apabila badan sehat, akalpun akan sehat pula, peribahasa Arab mengatakan : “Al aqlus salim fi jismis salim“.
Artinya : Aqal yang sehat terdapat pada jasmani yang sehat.
Selain itu juga berarti mempergunakan nikmat yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala. Jadi anggota badan lahir hendaklah dibersihkan dan dipelihara dari kotoran, juga hendaklah digunakan dengan sewajarnya, artinya tiada melanggar batas-batas agama.
p)    Ar-Rahmah artinya belas kasih
Hendaklah setiap manusia mempunyai belas kasih terhadap yang lemah, yang kecil, yang faqir, miskin. Orang yang kuat harus dapat memberikan belas kasihnya kepada yang lemah, yang kaya menyayangi yang miskin, yang muda menghormati yang tua, demikian seterusnya sebagaimana kata pepatah : yang tua dihormati dan yang muda disayangi. Sehingga terjalin rasa kasih sayang dan saling bantu membantu. Tercipta kerukunan dan kebahagiaan hidup antara yang satu dengan yang lainnya.
Ketahuilah belas kasih yang kita terima sebenarnya lebih banyak daripada belas kasih yang kita berikan kepada orang lain. Apalagi kalau kita renungkan belas kasih Allah kepada kita sebagai hamba-Nya, sungguh tidak dapat kita menghitungnya.
q)    As-Sakhoo-u artinya pemurah
Pemurah adalah memberikan harta sebagai tambahan dari yang wajib. Dan ini adalah sifat yang sangat baik dan perangai terpuji. Memberikan sesuatu kepada orang lain yang memerlukan tanpa mengharapkan balasan kembali.
Sebenarnya yang disebut rizki bagi seseorang tidak lebih dari apa yang ia makan dan apa yang ia pakai. Sedangkan selebihnya adalah pada hakikatnya rezeki orang lain yang masih disimpan pada dirinya.
Sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang memerlukan, adalah merupakan tabungan baginya yang akan diterima kelak di negeri akhirat.
Orang yang pemurah selalu disenangi, dikagumi dan mendapat simpati. Kewibawaan diri yang diperoleh seseorang dari sifat pemurah, membawa dampak positif bagi masyarakat.
r)     Ash-Sholihatu artinya beramal kebajikan
Amal sholih adalah setiap perbuatan kebajikan. Apapun, bagaimanapun dan dimanapun kebajikan itu dilaksanakan. Berbuat amal sholih adalah merupakan realisasi dari mensyukuri nikmat Allah yang diterima.
Orang yang beramal sholih adalah orang yang memahami bahwa sangu atau bekal yang dibawa sesudah mati, teman yang paling setia di dalam kubur, adalah perbuatan kebajikan.
s)     Asy-Syaja’ah artinya berani
Berani disini adalah keteguhan hati dalam membela dan mempertahankan kebenaran. Tidak putus asa dan tidak mundur oleh karena dicerca. Tidak patah semangat. Dan gila hormat dan pujian.
Jika ia terkhilaf atau salah, maka tidak segan untuk mengakui kesalahan dan berani meminta maaf dengan penuh kejujuran.
Dia berani dan tegas dalam memberantas yang bathil. Karena dia berpedoman berani karena benar dan takut karena salah. Berani mempunyai arti mampu menanggulangi penderitaan, kesulitan dan segala macam bahaya yang ditimpakan kepadanya sebagai akibat dari perjuangan harkat kebenaran.
t)     At-Ta’aawun artinya bertolong-tolongan
Bertolong-tolongan dalam kebajikan dan taqwa adalah suatu kewajiban agama. Bertolong-tolongan adalah ciri kehalusan budi, kesucian jiwa, ketinggian akhlak dan membuahkan kasih sayang antara teman, penuh solidaritas dan mempererat silaturrahmi serta memperkokoh persahabatan dan persaudaraan.
Orang yang menerima pertolongan dan menyebabkan ia terlepas dari penderitaan, kesengsaraan, sudah tentu sangat berterima kasih dan selalu ingat terhadap pertolongan tersebut.
Orang yang senang memberikan pertolongan, segala rencana yang akan dilaksanakan pada umumnya mendapatkan kemudahan. Pintu bahagia seakan terbuka lebar dan orang lain merasa turut bersyukur atas kebahagiaan yang diterima oleh si penolong. Memberikan pertolongan janganlah karena sesuatu pengharapan, tetapi berikan dengan ikhlas sebagai penunaian dari kewajiban dan tugas kemanusiaan guna mendapat ridha Allah Subhanahu Wata’ala.
u)    At-Tadharru’u artinya merendahkan diri kepada Allah
Sikap merendahkan diri kepada Allah, hendaknya menjadi pakaian yang tidak lepas dari pribadi seorang mukmin. Lebih lagi kepada beribadah, berdo’a dan memohon kepada Allah. Ibadah dan do’a dilaksanakan hendaknya dengan cara dan sikap yang sebaik-baiknya. Do’a diucapkan sepenuh hati, dengan keyakinan bahwa Allah yang Maha Pemurah, Maha Kuasa akan mengabulkan permohonan hamba-Nya. Satu diantara seorang mukmin yang bersifat Tadhaarru’, ialah apabila dibacakan ayat suci Al Qur’an bergetarlah hatinya, imannya tambah mantap, selalu tawakkal dalam usaha dan kerja.
Kesadaran terhadap Allah Maha Kuasa mengakibatkan dia tidak sombong, perkataannya perlahan dan sederhana, tidak menyatakan sesuatu yang akan diperbuatnya kecuali dengan kalimat Insya Allah.
v)    At-Tawaadhu artinya merendahkan diri sesama manusia
Merendahkan diri sesama manusia disebut tawadhu, punya arti bahwa memelihara pergaulan dan hubungan dengan sesama manusia tanpa perasaan bahwa diri pribadi lebih dari orang lain, serta tidak merendahkan orang lain. Menghormati kepada orang yang patut untuk dihormati, menyayangi kepada yang patut disayangi dan mengasihi kepada yang patut dikasihi. Orang tua dihormati, yang kecil disayang dan yang lemah dikasihi.
Tawadhu adalah kebalikan dari sifat takabbur (sombong), siapa yang takabur sebenarnya ia itu kecil, sebab kalau ia merasa kuat, bukankah gajah lebih kuat, kalau ia merasa berani, bukankah singa lebih berani, kalau ia merasa pandai, bukankah kancil lebih pandai. Ketahuilah bahwa setiap manusia masing-masing punya kelebihan, karena itu janganlah menghina orang lain. Maka barang siapa tawadhu dengan sesama manusia, niscaya akan disenangi, disegani dan dihormati dalam pergaulan.
w)   Qona-ah artinya merasa cukup dengan apa adanya
Orang yang disebut kaya menurut hakikat agama adalah orang yang jiwanya kaya (kaya jiwa). Bukanlah kekayaan itu terletak pada banyaknya harta benda, tetapi dia tetap merasa selalu kurang dan ingin menumpuk kekayaan.
Demikian orang yang disebut qona’ah adalah qona’ah hati. Ketenangan hati dalam menerima rizki dan pemberian Allah. Tetapi bukan qana’ah dalam bidang usaha dan ikhtiar, dalam segi perjuangan dalam segi perjuangan mencapai sukses; dalam bekerja haruslah giat, gigih. Karena hidup adalah bekerja / perjuangan dan jangan sekali-kali ragu dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini.
Qona’ah modal hidup utama. Oleh karena itu, giat berusaha, tekun bekerja, rajin berikhtiar dalam segenap aspek hidup dan kehidupan, ditambah dengan percata kepada takdir Ilahi sebagai hasil akhir dan merasa cukup dengan apa yang ada itulah … Qona’ah.
Jika disistimasikan maka qona’ah itu adalah punya enam unsur :
-       Usaha ikhtiar sekuat kemampuan yang ada
-       Memohon tambahan yang layak kepada Allah
-       Ridho menerima apa yang ada
-       Sabar menerima ketentuan Allah
-       Tawakkal kepada Allah
-       Tidak terpengaruh pada rayuan dunia yang menodai iman
x)    Izzatun Nafsi artinya berjiwa kuat
Jiwa kuat sering disebut dengan ketahanan mental. Orang yang berjiwa kuat membuahkan kebajikan, sabar, tekun dan ulet, tidak mengenal putus asa, tidak bersikap apatis, mampu menghormati orang yang memberikan teguran / koreksi, sehingga ia dihormati oleh manusia dan dianugerahi Allah dengan kebaikan. Segala rintangan dan halangan, disambutnya / dihadapinya dengan tenang. Dia tidak lari dari kesukaran dan kesulitan sebagai konsekuensi dari perjuangan. Diatasinya segala bentuk kesulitan dengan penuh ketabahan hati.
Kesungguhan hati adalah modal dalam kerja seseorang yang berjiwa kuat. Dia mengerti kemampuan dirinya. Orang yang mengenal kapasitas dirinya, selalu mendapat limpahan rahmat Allah. Dengan jiwa yang kuat seseorang akan memperoleh kehormatan dan kemuliaan di dunia dan di akhirat.
Demikianlah beberapa diantara sifat-sifat mahmudha atau sifat-sifat terpuji yang hendaknya dipunyai atau menjadi amalan setiap orang muslim / mukmin. Sifat-sifat terpuji ini termasuk sebagai modal utama / alat kita untuk melakukan hubungan secara vertikal dengan Maha Pencipta dan hubungan secara horizontal terhadap sesama manusia, hewan dan alam sekitar.
2)    Al-Akhlaqul Madzmuumah (tercela)
Al Akhlaqul Madzmuumah sebagai akhlak yang tercela, diantaranya adalah sebagai berikut :
a)    Al-Anaaniiah artinya egositis atau keakuan
Manusia hidup tidaklah menyendiri dan tidak sendirian di alam ini, tetapi berada di tengah-tengah masyarakat. Manusia harus yakin, bahwa jika perbuatan baik maka akan menghasilkan sesuatu yang baik dan masyarakat akan turut merasakan hasil kebaikan tersebut. Demikian juga sebaliknya.
Adalah tidak layak, kalau seseorang hanya berbuat semata untuk diri pribadinya saja, tanpa memperhatikan tuntutan masyarakatnya. Sebab keperluan-keperluan masyarakat salaing mengisi. Tidak mungkin seseorang dapat memenuhi keperluannya sendiri secara keseluruhan tanpa bantuan orang lain.
Oleh karena itu, jika ada seseorang ingin mempertahankan sifat egoistis di tengah-tengah masyarakat, maka sebenarnya ia mempersempit dunianya sendiri. Orang lain tidak memperdulikannya. Sahabat tidak banyak yang membantu dan menolongnya jika ia tertimpa musibah.
b)     Al-Bukhlu artinya kikir, bahil, apik
Sifat kikir, bakhil, apik, apalagi sangat bakhil (tak titik air digenggam bahasa Banjarnya engken barajut) adalah mempersempit pergaulan. Orang yang kikir / sangat kikir, sedekah, infaq, hadiah adalah merupakan halilintar bagi telinganya, musuhnya yang nomor wajid. Istilah-istilah itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.
Kikir adalah suatu sifat buruk, tertutup tangannya dari memberi padahal harta yang dimilikinya itu tiada kekal dan apabila ia meninggal dunia, tak satupun yang dibawanya serta, hanyalah pembungkus kain kafan, maka tinggallah semua milik, semua kekayaan tak ada yang dibawa ke kubur. Biasanya pintu rezeki bagi orang yang kikir akan sering tertutup dan ia juga tiada banyak mempunyai sahabat.
c)    Al-Buhtan artinya berbohong
Mengada-ada sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dengan maksud menjelekkan orang lain disebut dengan Al-Buhtan. Kadang-kadang ia sendiri yang mengerjakan dosa, tetapi karena sangat lincah dan olah-polahnya dikatakan orang lain yang menjadi pelakunya, juga ada kalanya secara positif lagi ia bertindak, yaitu mengadakan tuhmah kejelekkan terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Orang semacam ini setiap perkataannya tidak dapat dipercaya. Menghadapi orang semacam ini, apabila ia membawa berita hendaklah hati-hati, jangan mudah diperdayakannya. Sebab ia suka membuat fitnah, bohong, serta mengada-ada.
d)    Al-Khianah artinya khianat
Khianat suatu sifat yang sangat tercela, ia adalah sebagai batu ujian bagi kehidupan. Karena sekali saja kita berkhianat atas kepercayaan orang, akhirnya seumur hidup orang tidak akan percaya.
Kalau sudah orang tidak percaya lagi, maka akan sempitlah pergaulan kita dan juga akan membawa kepada rezeki yang sempit pula. Jadi khianat adalah menyalahgunakan kepercayaan orang lain atau setiap perbuatan selalu berlaku curang.
e)    Al-Khamru artinya peminum khamar
Khamar dalam agama Islam dilarang meminumnya, sebab mengakibatkan mabuk. Orang di kala mabuk hilang pertimbangan akalnya. Karena hilang akalnya ia lupa dengan Allah, lupa sama ajaran agama, setelah itu hilang malunya dan pada gilirannya iapun melakukan hal-hal yang negatif yang meresahkan masyarakat.
Oleh karena itu, jauhilah sifat peminum khamar dan sejenisnya seperti narkoba. Karena ia sangat membahayakan bagi kesehatan, lingkungan keluarga dan masyarakat. Disamping itu dosa bagi pelakunya.
f)     Az-Zhulmu artinya aniaya
Aniaya adalah meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, atau mengurangi hak seseorang yang seharusnya diberikan. Sifat aniaya ini merugikan orang lain, merugikan masyarakat. Sehingga tidak ada ketenangan, kedamaian, akibat terjadinya penganiayaan.
Penganiayaan bukan saja terhadap benda, atau orang seorang, tetapi lebih dari itu, baik bersifat penganiayaan fisik atau mental, dan juga terjadi penganiayaan terhadap hak dan kewajiban diri pribadi sendiri.
Penganiayaan dan kedzaliman menimbulkan rasa permusuhan, hilangnya nilai persaudaraan. Hendaklah kita bersama berusaha agar tidak menganiaya, tetapi juga harus menghindarkan diri dari penganiayaan orang lain.
g)    Al-Jubnu (Al-Jubun) artinya pengecut
Pangkal dari segala kegagalan adalah karena pengecut. Seorang yang pengecut, dia sudah kalah sebelum berjuang. Tidak berani menghadapi kenyataan. Takut mencoba dan ragu-ragu dalam berusaha. Sifat ini sangat terhina.
Janganlah kita selalu punya pengharapan terhadap seorang pengecut, karena sulit diberi amanat, dia sebenarnya mati sebelum mati atau disebut bangkai berjalan.
Dua sifat buruk yang hampir menjadi satu ialah kikir dan pengecut. Kikir yang keterlaluan dan pengecut yang terlampau penakut. Sifat pengecut menyebabkan kebinasaan, mempersulit diri sendiri, menghambar kerja, menghilangkan semangat, menghapuskan tujuan dan cita.
h)    Al-Fawaahisyu artinya dosa besar
Seorang yang beriman haruslah berusaha untuk tidak melakukan dosa besar. Karena pelanggaran terhadap dosa besar adalah membahayakan diri pribadi dan menodai iman yang ada di dalam hati. Hikmat dilarangnya berbuat dosa besar adalah kebaikan, ketentraman pribadi. Jiwa akan tenang. Terlepas dari perasaan gelisah untuk menerima siksa.
Ada beberapa dosa besar yang harus bersih dari diri seorang mukmin, seperti : syirik, sihir, membunuh orang di luar ajaran agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita mukminah berbuat keji dan lainnya.
i)     Al-Ghasysyu artinya menipu timbangan / takaran
Menipu dimaksud disini adalah orang yang apabila menerima timbangan dari orang lain minta cukup, tetapi apabila ia menimbang untuk orang lain ia kurangi. Atau jika menjual barang tidak terus terang menyatakan cacatnya kepada si pembeli. Pekerjaan ini tercela dan haram hukumnya.
j)     Al-Ghodob artinya pemarah
Agama memberikan tuntunan, jika seorang sedang / akan marah. Kalau kita marah sedang keadaan berdiri, maka segeralah duduk. Jika belum juga reda bawalah berbaring. Dan jika belum juga maka ambillah air wudhu, karena marah dari syaithon, syaithon dari api dan api dapat dipadamkan dengan air. Perbuatan marah mendatangkan kemudhorotan bagi setiap orang yang dimarahi, baik secara fisik atau psikis (jiwa).
Kata orang : orang pemarah itu lekas tua dan apabila marah memuncak, pikiran tidak dapat dikendalikan dan perbuatan lepas kontrol, setelah damai dari marah akan timbullah rasa penyesalan.
Di dalam pengertian agama marah itu terbagi dua, ada yang baik ada yang buruk. Contoh yang baik misalnya kita memarahi anak, karena ia tidak mau sholat, suka minum minuman yang terlarang.
k)    Al-Ghiibah artinya mengupat
Mengupat adalah menyebut atau memperkatakan seseorang dengan apa yang dibencinya. Ini antara lain disebabkan karena dengki, mencari muka, berolok-olok, mengada-adakan dengan maksud ingin mengurangi respek orang terhadap yang diumpat.
Mengatakan sesuatu yang tidak kita setujui mengenai kelakuan seseorang, sebaiknya secara berhadapan muka dengan nasihat dan kata-kata yang baik. Mengumpat, mencari-cari keburukan orang lain, hanyalah menanam benih permusuhan belaka serta mengurangi relasi yang baik.
l)     Al-Ghina artinya merasa tidak perlu pada orang lain
Orang yang merasa cukup apa yang dimilikinya, ia kaya, ia mulia, ia pandai, dus merasa tidak perlu pada yang lain adalah suatu sifat yang tercela, karena ini namanya bangga dan menganggap rendah pada orang lain, sedangkan sebenarnya ia mengecilkan diri dari pergaulan.
Setiap orang mempunyai kelebihan sendiri-sendiri, tak ada orang yang didapat mencukupi kebutuhannya sendiri secara komplit, karena itu hendaknya kita menghormati setiap orang dengan keahliannya, orangpun akan menghormati kita, kita sayangi orang, orang-orang pun akan menyayangi kita, kita muliakan orang, orangpun akan memuliakan kita.
Artinya kita jangan bangga dengan segala yang ada pada kita, baik harta, pangkat dan jabatan atau status sosial lainnya. Karena keberadaan kita, tidak akan bahagia tanpa bantuan dan solidaritas orang lain. Contoh kecil saja, jika kita mati, bagaimanapun kayanya kita, namun yang menggali lobang tetap orang miskin.
m)   Al-Ghuruur artinya memperdayakan
Memperdayakan atau mengelabui / mengibuli mata orang lain daripada apa yang dikerjakannya, atau juga terpedaya, misalnya diperdaya oleh ilmu, semata-mata hanya mencari ilmu karena itulah yang baik katanya, padahal itu harus diamalkan.
Kejelekan yang timbul dari sifat ini adalah takabur yang membutakan mata hati dengan kedzaliman yang jahat, sebab hatinya gelap maka ia menurutkan hawa nafsunya pemimpinnya adalah syaithon serta menyebabkan tertolak dari surga.
n)    Al-Hayaatud dunya artinya kehidupan dunia
Kehidupan dunia disini maksudnya adalah hanya hidup mencari kesenangan dunia semata dan lupa akan ibadah, lupa akan akhirat yang kekal abadi.
Padahal di dunia ini hanya sebentar dan merupakan kebun untuk menanam benih amal dimana akan dipetik hasilnya di akhirat kelak.
o)    Al-Hasad artinya dengki
Dengki adalah membenci nikmat Allah yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar nikmat itu hilang atau terhapus.
Sifat dengki akan merusak amal kebaikan, sama halnya dengan api memakan kayu besar. Akan sia-sia amal kebajikan jika kita selalu bersifat dengki kepada seseorang.
Pendengki itu akan selalu mendapat celaan masyarakat, karena ia menumbuhkan benih permusuhan, memperoleh kemurkaan Allah, tertutup hidayah dan taufik kepadanya. Kedengkian membawa bencana dunia akhirat.
p)    Al-Ifsaad artinya berbuat kerusakan
Orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ini sangat banyak ragamnya, seperti mengundul hutan dengan sengaja, membakar hutan dengan sengaja. Pokoknya orang yang bersifat Al-Ifsaad ini kerjanya hanya merusak, senang mengadu domba, senang menghasut dan membuat fitnah atau bahasa sekarang senang melakukan provokasi, sehingga masyarakat, golongan satu sama lain berbenturan.
Kalau sudah terjadi benturan, tidak menolak kemungkinan terjadinya sabotase dan lain-lainnya. Orang yang bersifat seperti ini membahayakan masyarakat, serta tidak dapat dipercaya.
q)    Al-Intihaar artinya menjerumuskan diri
Menjerumuskan diri ke lembah kenistaan atau kehinaan dan dosa seperti mengikuti hawa nafsu yang dibisikkan syaithon, dendam kesumat, mengambil tanggung jawab di luar batas kemampuan dan kapasitas diri sendiri, bekerja ingin nama dan dipuji atau riya, berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri.
Termasuk kategori orang yang menjerumuskan diri yaitu mencari rezeki sebanyak-banyaknya baik haram dan halal. Sebab orang mencari rezeki di dunia ini ada juga yang halal saja. Intihaar berarti juga membunuh diri dan biasanya disebabkan karena putus asa menghadapi hidup yang ia alami, tidak rela ia menerima ketentuan Allah, tidak sanggup mengatasi persoalan sehingga mengambil langkah dengan jalan mengakhiri riwayat hidupnya di dunia ini.
r)     Al-Israaf artinya berlebih-lebihan
Al-Israaf ialah menyia-nyiakan sesuatu tanpa ada guna dan manfaatnya, melebihi batas di setiap perbuatan, misalnya : menyia-nyiakan harta, ini dilarang dalam agama dan merupakan penyakit hati, mengeluarkan harta tanpa faedah, seperti makan, minum di kala masih kenyang dan belum merasa haus atau makan minum yang berlebihan, berpakaian yang terlalu menyolok serta keterlaluan.
Dalam agama, makan, minum, berpakaian hendaklah sekedar cukup saja, jangan berlebih-lebihan, sebab sifat semacam ini timbul atau ada pada mereka yang bodoh, karena tak pandai mengatur, padahal masih banyak persoalan yang urgent yang masih atau patut dan ini umumnya terjadi di kalangan para hartawan.
s)     Al-Istikbaar artinya takabbur
Takabbur adalah membesarkan diri, menganggap diri lebih dari orang lain dan menolak kebenaran. Ada dua macam takabbur, yaitu (1) takabbur dzhahir dan (2) takabbur bathin.
Takabbur dzhahir ialah perbuatan-perbuatan yang dapat terlihat dilakukan oleh anggota, sedangkan takabbur bathin ialah tidak dapat dilihat ada di dalam jiwa dan ini dinamakan kibr.
Takabbur merupakan hijab / dinding yang menutupi seseorang ke syurga, karena takabbur berarti tidak mencintai saudaranya yang mukmin, seperti ia mencintai dirinya sendiri dan jauh dari sifat tawadhu yang merupakan puncak akhlak terpuji bagi orang yang bertakwa.
Jika kita melihat orang yang takabbur, kita akan bertanya sendiri, apa yang ia sombongkan ? Padahal ia terjadi dari tanah dan ia akan kembali menjadi tanah.
Orang takabbur sangat benci akan nasihat dan peringatan dan anjuran orang lain, bahkan kalau bisa orang semua harus tunduk kepadanya.
Orang takabbur kesenangannya suka mencela, menghina, mengejek orang, merendahkan teman, semuanya ini menyebabkan ia terasing menyendiri dari pergaulan manusia ramai dan memperkecil diri pribadinya sendiri.
t)     Al-Kadzib artinya dusta
Orang yang sudah sering berdusta dan sudah menjadi kebiasaannya, apalagi sudah dikenal sebagai pendusta, maka seorangpun tidak akan mempercayainya, walaupun ia berkata benar.
Orang yang berdusta ini menunjukkan kelemahan dirinya dan dusta adalah salah satu tanda orang munafiq.
u)    Al-Makru adalah penipuan
Apapun pekerjaan yang dilakukan yang bersifat khianat, tidak jujur, merugikan orang lain dalam bentuk penipuan, sebenarnya juga merugikan diri pribadi sendiri. Masyarakat tidak mempercayai lagi. Sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya.
Penipuan adalah usaha untuk memperoleh keuntungan secara tidak jujur. Tipu muslihat, membujuk rayu, menaruh nama palsu, tanda tangan palsu, memperdayakan, juga dalam bidang jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya.
Seorang mukmin hendaknya terus terang dalam tindakan dan perbuatannya, jangan sembunyi-sembunyi untuk maksud yang tidak baik, sebab penipuan akhirnya akan terbongkar juga.
v)    Al-Kufraan artinya mengingkari nikmat
Nikmat yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala itu sangat banyaknya dan manusia tidak sanggup untuk menghitungnya. Dan nikmat yang sangat berharga sekali adalah nikmat akal, ilmu pengetahuan, iman dan Islam.
Nikmat Allah itu tentunya harus kita pergunakan sesuai kehendak yang memberi yaitu kehendak Allah. Kehendak Allah kepada kita adalah kita wajib beribadah. Nikmat itu haruslah disyukuri jangan sampai kita ingkar nikmat atau kufur nikmat.
Allah Subhanahu Wata’ala telah menjelaskan barang siapa yang bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan, maka nikmat itu akan ditambah, tetapi jika kufur nikmat, sesungguhnya siksa atau azab Allah amat pedih.
Oleh karena itu janganlah kita menjadi seorang yang kufur dari nikmat Allah Subhanahu Wata’ala.
w)   An-Namiemah artinya mengadu domba
Namiemah adalah perbuatan menyampaikan perkataan seseorang atau menceriterakan keadaan seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu domba kedua orang tersebut agar hubungan baik antara mereka jadi retak.
Perbuatan mengadu domba sumber dari kejelekan dan kejahatan dalam masyarakat. Agama memberikan bimbingan agar waspada terhadap berita yang sifatnya berdenten menjelekkan seseorang dan hendaklah bersikap :
(1)     Tidak mempercayai berita tersebut.
(2)     Melarang si pembara berita dengan nasihat bahwa hal itu tidak baik dan berbahaya bagi diri pribadi dan masyarakat.
(3)     Jangan menyangka buruk terhadap orang yang diberitakan.
(4)     Tidak mencontoh perbuatan tersebut.
x)    Qotlun Nafsi artinya membunuh
Melakukan pembunuhan terhadap saudara kita mukmin adalah larangan agama. Membunuh adalah dosa besar dan berarti memesan tempat di neraka. Tetapi di dalam hukum Islam adalah istilah hukum qishah, yaitu siapa yang membunuh akan dibunuh juga. Oleh karena jika terjadi perselisihan faham hendaklah diselesaikan dengan baik.
y)    Ar-Riba artinya memakan riba
Riba adalah suatu bentuk pemerasan dan menimbulkan kemudharatan. Perbuatan ini tidak halal. Perbuatan riba adalah mengambil kesempatan dalam kesempitan, kelihatannya menolong, tetapi pada hakikatnya adalah memeras, yang miskin tetap menderita dan si kaya tambah berjaya. Riba adalah membawa bencana bagi masyarakat.
z)    As-Sariqah / As-Sirqoh artinya mencuri
Mencuri artinya mengambil suatu barang kepunyaan orang lain, tanpa idzin yang punya. Perbuatan ini biasanya didorong oleh keinginan memperoleh barang tanpa berusaha lebih dahulu.
Orang yang mencuri bukan hanya merugikan bagi masyarakat, tetapi juga merugikan diri sendiri. Tidak ada seorang pencuri yang bisa tenang hidupnya, dia selalu gelisah, karena takut diketahui oleh orang lain.
aa)   Ar-Riya artinya mencari muka
Riya adalah syirik kecil, beribadah bukan karena Allah tetapi ingin dipuji oleh orang lain. Pujian adalah sumber motivasi dari amal ibadahnya. Dia merasa sedih jika amal perbuatannya tidak dipuji oleh orang lain.
Sarana dari sifat riya adalah :
(1)     Badan, secara fisik ia mengagungkan kehebatan bentuk tubuhnya. Gagah dan aksi, genit dan lain sebagainya. Tetapi ada juga yang bersikap lemah gemulai dalam melaksanakan sholat, jika di hadapan umum dan apabila kebetulan sendirian, sholatnya cepat dan tangkas.
(2)     Perhiasan, memakai emas, intan berlian yang berlebihan dengan niat pamer, supaya orang lain memuji.
(3)     Perbuatan, rukuk dan sujud dalam sholat sangat lama, agar dilihat ahli ibadat.
(4)     Pergaulan, menonjolkan diri dan menyebut-nyebut kebaikan pribadi. Banyak pengikut yang tunduk patuh kepadanya. Semua itu untuk dipuji orang.
ab)  As-Sikhriyaah artinya berolok-olok
Maksudnya berolok-olok disini adalah suka menghina keaiban atau kekurangan orang lain dengan mentertawakannya, dengan memperkatakannya atau dengan menirukan perbuatannya atau dengan isyarat.
Orang yang suka menghina atau memperolok-olok orang lain, boleh jadi orang yang dihina dan diolok-olok lebih baik dari dirinya.
Orang yang selalu berbuat demikian adalah berjiwa kera, senangnya hanya suka mengejek perbuatan orang lain, kritikus tanpa kompas, orang bekerja diejek, tidak bekerjapun diejek pula, sifatnya sinis, selalu merendahkan orang lain, meremehkan orang lain, terbiasanya mulut berkata sambil mencibirkan orang.
ac)   Asy-Syahwah artinya pengikut hawa nafsu
Setiap manusia pasti mempunyai nafsu syahwat. Tetapi bagi seorang mukmin nafsu harus dikendalikan jangan memperturutkan menjadi pengikut hawa nafsu.
Nafsu yang tidak dikendalikan, ia tidak kenal batas, tak pandai membedakan antara kawan dengan lawan. Maka oleh karena itu harus dituntun dengan akal yang sehat. Akal harus dapat membimbing hawa nafsu. Jangan sebaliknya nafsu mengendalikan akal.
Kalau nafsu yang berkuasa, kehancuran tak dapat dielakkan. Manusia berubah sikapnay menjadi hewan. Lenyap pertimbangan akal, ilmu pengetahuan kehilangan pengaruhnya, keyakinan akan kebenaran luntur. Akhirnya kesimpulannya adalah kendalikan hawa nafsu, jangan sebaliknya.
ad)  At-Tabdzir artinya menyia-nyiakan
Tabdzir adalah berlebih-lebihan dalam menggunakan harta, berarti menghambur-hamburkan harta benda tanpa guna. Harta tidak boleh dipergunakan secara sia-sia, artinya harus digunakan secara wajar, tidak berlebih-lebihan dari keperluan semestinya.
Agama memberikan bimbingan dalam menggunakan harta, hendaklah menggunakan kepentingan yang utama (primair). Jangan terjadi pengeluaran yang sia-sia yang membawa mudharat.
Orang yang melakukan perbuatan mubadzir adalah shahabatnya syaithon.
ae)   At-Tanaabadzu bil Alqaab artinya gelar yang berlebihan
Nama dan gelar hendaklah dipilih yang baik. Si pemilik nama atau gelaran harus berusaha dengan sungguh agar pribadinya dapat sesuai dengan nama atau gelaran yang dipunyainya.
Tetapi pada zaman modern sekarang ini, nama dan gelar mendapat perubahan yang drastis. Pergeseran tata nilai masyarakat kota pada umumnya mengenai nama dan gelar sudah berlebihan.
Misalnya seorang yang bernama Maryam, dirinya sendiri lebih senang dipanggil dengan nama MERY. Begitu pula Fathimah lebih senang dipanggil EMA, Halimah lebih senang jika dipanggil dengan IMA, Zalecha lebih senang dipanggil dengan EZA, Ibrhaim lebih senang dipanggil dengan ABRAHAM dan Muhammad dipanggil dengan MEMED.
Hal seperti diatas termasuk larangan agama dalam menggunakan nama dan gelaran. Padahal nama-nama diatas nama orang-orang hebat, seperti Maryam nama ibu Nabi Isa Alaihissalam, Fathimah nama anak Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, Halimah nama perempuan yang menyusukan Baginda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, Ibrahim nama nabi Ibrahim Alaihissalam dan Muhammad adalah nama Nabi Muhammad Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
Adalagi yang tergila-gila dengan gelaran, kalau seseorang bergelar RADEN, GUSTI, tetapi ada yang tidak memanggilnya dengan Raden, ia tersinggung atau mempuntai titel DR, Ir dari luar negeri, sewaktu-waktu orang tidak menulis namanya dengan DR atau Ir dia menjadi marah atau nama hajinya tertinggal ia tersinggung.
Tetapi ketahuilah, bahwa nama dan gelar yang paling baik sangat tepat adalah ABDULLAH artinya hamba Allah yang mengabdi.
Ajaran agama Islam memberikan anjuran agar seorang ayah membuat nama untuk anaknya (tasmiyah) dengan nama yang baik. Karena masalah nama ada unsur tafa’ulnya atau ada unsur psikologisnya. Jika nama itu baik semoga akan menjadi do’a dan sebagai dorongan agar ia selalu berbuat baik.
Memberikan nama anak cukup berhati-hati, karena :
(1)     Nama membawa pengaruh secara tak langsung, karena kelak si anak akan tersentuh psychologisnya begitu mengetahui apa arti nama yang diberikan orang tuanya.
(2)     Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya untuk diberi nama yang baik (sunnah Rasul).
(3)     Nama adalah identitas paling awal dan paling utama.
(4)     Sebagai identitas paling utama maka kelak di hari akhir Allah akan memanggil manusia sesuai dengan namanya, bukan jabatan atau status sosialnya atau gelar yang diperolehnya dari luar negeri dan dalam negeri.
(5)     Nama anak kita masuk dalam daftar silsilah keluarga. Nama yang buruk seolah mencemari daftar nama di keluarga kita.
e.    Tasawuf
Dalam membicarakan masalah tasawuf ini, untuk mudahnya dibuat klasifikasi uraian, yaitu pengertian tasawuf, latar belakang timbulnya tasawuf, maqamat dan ahwal serta aliran-aliran dalam tasawuf. Untuk jelasnya sebagai berikut :
1)    Tasawuf
Kata tashawwuf dalam Bahasa Indonesia ditulis tasawuf berasal dari kata Shofa yang berarti bersih. Jadi, shufi artinya orang yang hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata Shuffah yang berarti Serambi Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para shahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut Ahlu Suffah. Yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin, tidak memiliki apa-apa. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Shufi dalam ejaan Bahasa Indonesia ditulis Sufi – diambil dari kata suf, yaitu kain yang dibuat dari bulu (wool) dan kaum sufi memilih memakai wool yang kasar sebagai simbol kesederhanaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang Zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi (w. 150 H) di Irak.
Menurut para ahli berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang tasawuf ini, bergantung sudut pandang yang digunakan, Nicholson misalnya memaparkan sekitar 78 definisi sedang Ibrahim Basuni mencatat sebanyak 40 definisi.
Di dalam mempelajari definis-definisi tasawuf yang telah pernah diberikan oleh para ahli sufi sendiri. Definisi yang dianggap sesuai dengan maksud tasawuf yang sebenarnya (H. Laily Mansur, Lph).
Di dalam hal pengertian ini, dikemukakan 4 (empat) orang para ahli, sebagai berikut :
a)         Abu Said Al-Harraz (w. 268 H) memberikan definisi tasawuf adalah : “Seorang yang hatinya dibersihkan Tuhan, sehingga penuh hatinya dengan Nur Tuhan, dan masuk di dalam ain lezatnya mengingat Allah”.
b)        Abu Bakar Al-Kattany : “Tasawuf adalah kebersihan (Ash-Shofa) dan penyaksian (Al-Musyahadah)”.
c)         Ja’far Al-Choldy (w. 348 H) : “Menempatkan diri dalam sifat kehambaan dan keluar dari sifat kemanusiaan, meningkat dengan pandangan keseluruhan kepada Allah”.
d)        Asy-Syibli ditanya orang, apakah yang dimaksud dengan tasawuf itu, beliau menjawab dengan dua kalimat : “Permulaannya ma’rifatullah, dan akhirnya mentauhidkan Allah”.
2)    Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, perilaku beliau adalah tumpuan dan perhatian masyarakat Islam, segala sifat terpuji terhimpun pada diri beliau. Amal ibadah beliau tidak ada bandingannya. Dalam bermunajat kepada Allah perasaan khauf dan raja’ selalu dinampakkan Rasul Allah dengan tangis dan sedu-sedannya. Aisyah Rodhiallahu anha mengatakan bahwa keluarga beliau dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali. Makanan yang disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga orang.
Rasulullah yang pertama kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi ketimbang hidup materistik penuh kemewahan.
Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri teladan (uswah) bagi shahabatnya. Shahabat beliau terdekat diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, walaupun menjadi khalifah, namun cara hidup tidak sedikitpun mencerminkan kemewahan. Beliau-beliau itu tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu, zuhud sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Hidup sederhana dari shahabat yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) dilanjutkan oleh para shahabat yang lain. Bahkan tidak saja hidup sederhana, tetapi juga menentang hidup yang penuh kemewahan.
Berdasarkan penjelasan di atas, ajaran tasawuf muncul secara eksternal karena maraknya kaum elit pemerintahan di masa itu yang bangga dengan kemewahan dunia, seperti yang ditampakkan oleh oknum penguasan Bani Umayah. Secara internal, tasawuf muncul karena ajaran Islam sendiri, baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits, praktek para shahabat, banyak isyarat tentang keharusan untuk hidup sederhana dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan demikian tidaklah mengada-ada kalau kaum sufi mengklaim bahwa dalam melaksanakan tasawuf, mereka hanya mengikuti jejak spiritual Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam dimensi dan format yang sesuai dengan kemampuan mereka.
3)    M a q a m a t
Maqamat adalah jama’ dari maqam, mengandung arti tingkatan-tingkatan hidup sufi yang telah dicapai oleh para sufi untuk dekat kepada Tuhan. Menurut Al-Sarraj, maqamat adalah tingkatan-tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhan dalam hal ibadah, mujahadah dan riadhah (memerangi dan menguasai hawa nafsu).
Jumlah maqam yang harus ditempuh oleh para sufi, berbeda-beda, sesuai dengan pengamalan pribadi yang bersangkutan. Maqam-maqam itu ialah taubat, wara’, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan keridhaan. Ada juga yang mengatakan : taubat, zuhud, shabar, al-faqr, tawadhu, taqwa, tawakkal, ridho, ma’rifat dan mahabbah.
4)    A h w a l
Ahwal – bentuk jama’ dari kata hal – adalah sikap rohaniah (mental) seorang sufi dalam perjalanan tasawufnya. Perbedaan antara maqam dan hal adalah kalau maqam merupakan sikap hidup yang harus diusahakan dengan kesungughan dan latihan, sedangkan ahwal merupakan anugerah Allah bagi yang dikehendakinya. Ahwal itu banyak macamnya, seperti :
a)    Khauf
Khauf artinya merasa takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. Imam Al Ghazali membagi khauf itu kepada dua : khauf kehilangan nikmat dan khauf karena siksa.
Khauf karena hilangnya nikmat, menyebabkan orang agar selalu memelihara nikmat dan khauf karena siksa mendorong seseorang untuk selalu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan.
b)    Taqwa
Taqwa berasal dari kata wiqayah, berarti terpelihara dari kejahatan (memelihara diri dari kemurkaan Allah). Ta’rif yang lumrah adalah mengerjakan apa yang diperintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
c)    Tawadhu
Tawadhu dapat diartikan merendahkan diri dan berlaku hormat kepada siapa saja. Adapun tawadhu yang menjadi sikap mental sufi adalah merendahkan diri baik kepada manusia maupun kepada Allah.
d)    Ikhlas
Secara umumnya artinya hilangnya rasa pamrih atas segala sesuatu yang diperbuat. Menurut kaum sufi orang ikhlas tidak akan mengharap apa-apa lagi. Jadi ikhlas itu bersihnya motif dalam berbuat, semata-mata mengharap ridha Allah.
e)    Syukur
Syukur adalah pengakuan terhadap nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Syukur itu ada 3 (tiga) yaitu dengan lisan, tubuh dan hati. Lisan artinya pengakuan dengan ucapan, tubuh artinya penggunaan nikmat dengan mentaati Allah dan hati artinya pengakuan dan membesarkan nikmat Allah.
5)    Aliran dalam Tasawuf
Aliran dalam tasawuf itu ada 6 (enam), yaitu : Al-Ittihad, Hulul, Al-Ittishal, Al-Isyraq, Wahdatul Wujud dan Ahlu Sunnah Waljama’ah.
Dalam uraian ini penekanan hanya pada aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sesuai dengan pemahaman dan ikutan. Perkembangan tasawuf ahlu sunnah wal jama’ah dimulai dari perkembangan teologi. Perlu dicatat adanya 3 (tiga) gerakan sebagai penegak ajaran ahlu sunnah wal jama’ah, yaitu :
a)         Dibawah pimpinan Al-Haris Al-Muhasiby sebagai reaksi atas perkembangan aliran Ghulatus Syi’ah.
b)        Dibawah pimpinan Junaidi Al-Bagdadi sebagai reaksi atas perkembangan aliran Albisthami dan Al-Hallaj.
c)         Dibawah pimpinan Al-Gazali dan Imam Sazali sebagai reaksi atas aliran Al-Hallaj dan Ibnu Arabi.
Ajaran tasawuf ahlu sunnah wal jama’ah bersumber dari beliau-beliau itu, yang di dalam hidup berfikir adalah berdasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah.
Jadi jelasnya yang wajib dipelajari dan diketahui oleh ummat Islam tercantum dalam garis-garis besar ajaran Islam, yaitu Aqidah / Tauhid, Fiqih / Syari’ah / Ibadah, dan Akhlak / Tasawuf. Penjelasan secara sederhana sebagaimana keterangan terdahulu.
Agama Islam adalah sebagai agama yang sempurna. Dari keterangan berbagai sumber yang ditulis dari para ahli dan ulama, dapat diketahui bahwa ajaran-ajaran Islam itu memiliki karakteristik, antara lain :
a.    Komprehensif
Ajaran Islam membentuk suatu ummat dalam satu kesatuan ummat, tidak membedakan suku, warna kulit. Dalam hal menghadapi masalah yang umum, ummat Islam ini bersatu, walaupun dari segi kebudayaan itu berbeda-beda.
b.    Moderat
Ajaran Islam mengambil jalan tengah, atau dalam istilah teori wasathiyah. Maksudnya jalan seimbang antara kepentingan jasmani dan rohani. Menyelaraskan diantara kenyataan danfakta dengan ideal dan cita-cita.
c.    Dinamis
Ajaran Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dapat membentuk diri sesuai perkembangan dan kemajuan, ajaran Islam terpencar dari sumber yang dalam dan luas.
d.    Universal
Ajaran Islam berlaku bukan untuk kelompok tertentu, tetapi adalah sebagai Rahmatal lil ‘alamin. Ajaran Islam diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia.
e.    Elastis atau Fleksibel
Ajaran Islam berisi hukum-hukum yang dibebankan kepada setiap individu dan berdo’a apabila dilanggar. Namun dalam keadaan tertentu ada kelonggaran atau rukhshah.
f.     Sesuai dengan fitrah manusia
Fitrah secara umum berarti ciptaan, suci dan seimbang. Dalam konteks ini fitrah berarti watak hakiki dan asli yang dimiliki oleh setiap insan atau sifat alami manusia. Ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah manusia memberikan keterangan yang pasti tentang kepercayaan yang asli dan hakiki yang ada pada diri manusia.
Karakteristik ajaran Islam yang tersebut di atas, selanjutnya melahirkan karakteristik kepada pemeluknya / ummatnya, seperti yang sering diungkapkan oleh para ahlinya, antara lain sebagai berikut :
  1. Ummat Islam adalah sebagai ummat yang satu (ummatau wahidah).
  2. Ummat Islam sebagai ummat multi ras, suku dan bangsa.
  3. Ummat Islam menekankan kesamaan dan kesetaraan.
  4. Ummat Islam mendorong tegaknya masyarakat dalam segala urusan Islam.
  5. Ummat Islam mencintai keadilan.
  6. Adanya pemimpin yang berwibawa.
  7. Saling menghargai (demokratis)
Selanjutnya kita berbicara masalah sumber hukum Islam dan tujuannya. Sumber hukum Islam, telah disepakati, yaitu : Al Qur’an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas.
a.    Al Qur’an itu secara harfiah artinya bacaan. Secara definisi adalah : “Kalamullah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan membacanya adalah ibadah”.
Pokok-pokok yang terkandung dalam Al Qur’an :
1)        Tauhid
2)        Ibadah
3)        Janji dan ancaman
4)        Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat
5)        Riwayat dan ceritera
b.    Al Hadits / As Sunnah
Artinya segala yang dinukil dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan (taqrir).
Sunnah menurut bahasa, artinya :
-       Jalan yang terpuji
-       Jalan atau cara yang dibiasakan
-       Kebalikan dari bid’ah
c.    Ijma, artinya kebulatan pendapat ahli ijtihad pada suatu masa atas sesuatu hukum syara’.
d.    Qiyas, arti dari segi bahasa mengukur sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Secara istilah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan maslahat bagi mereka, mengarahkan kepada mereka kebenaran untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat dengan mengambil segala manfaat dan mencegah yang mudharat yakni tidak berguna bagi manusia.
Abu Ishaq As-Shatibi, merumuskan 5 (lima) tujuan hukum Islam yang disebut Maqashid al-Khamsah, yaitu memelihara : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
ad. 1.   Memelihara Agama
Agama Islam harus dipelihara dari ancaman dari orang-orang yang merusak akidah, syari’ah, dan akhlak atau mencampur adukan ajaran Islam dengan aliran yang bathil.
ad.2.    Memelihara Jiwa
Menurut hukum Islam jiwa harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
ad.3.    Memelihara Akal
Akal adalah memegang peranan penting, oleh karena ia harus dipelihara. Dengan akal pula ia dapat memahami wahyu Allah, baik yang terdapat dalam Kitab Suci maupun di alam ini. Dengan akal manusia dapat mengembangkan ilmu dan teknologi.
ad.4.    Memelihara Keturunan
Keturunan adalah sangat penting. Itu Islam mengatur masalah perkawinan, hukum keluarga dan hukum waris.
ad.5.    Memelihara Harta
Harta adalah pemberian Allah untuk kelangsungan hidup manusia. Manusia sebaga khalifah diberikan amanah untuk mengelola alam ini, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dilindunginya hak untuk mendapatkan harta yang halal secara sah. Artinya sah menurut hukum dan benar menurut moral.
Dari uraian diatas, baik garis-garis besar agama Islam seperti Aqidah / tauhid, fiqih / syari’ah / ibadah dan akhlak / tasawuf, karakteristik ajaran Islam, sumber hukum Islam / tujuan hukum Islam, kita dapat menyimpulkan tentang kebenaran dan sumber kebenaran Islam itu. Kebenaran datang dari Allah dan Rasul-Nya. Secara tegas Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam yang artinya secara terjemah bebas, “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan selama-lamanya engkau tidak akan sesat apabila berpegang kepada keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Al Hadits)”.
Pengertian tidak sesat disini berarti Qur’an dan Al Hadits adalah sumber kebenaran, Qur’an adalah wahyu Allah dan Al Hadits adalah perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
D.   ISLAM DAN KESEHATAN
1.    Pengertian Kesehatan dan Sumber Kesehatan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa kesehatan itu artinya keadaan (hal) sehat, kebaikan keadaan (badannya dsbnya). Kesehatan berasal dari kata sehat yang salah satu artinya adalah baik seluruh badan dan bagian-bagiannya (bebas dari sakit).1
Drs. Kaelany HD, MA dalam bukunya Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, bab Prinsip Islam dalam Masalah Kesehatan, mengatakan, kesehatan itu berasal dari kata sehat yang ditransfer dari bahasa Arab “Suhhah” artinya sehat, tidak sakit, selamat. Pengertian baku dapat dilihat dari rumusan WHO yang menyatakan bahwa sehat itu adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang baik, tidak saja karena tidak ada penyakit dan cacat.2
Berdasarkan rumusan diatas, dapat ditarik satu kesimpulan betapa indah dan dalamnya pengertian sehat itu, ia mencakup berbagai aspek, seperti fisik, mental, sosial, tidak cacat dan tidak mengidap penyakit. Dari pengertian itu juga, kita tahu bahwa arti sakit adalah lawan dari sehat, yaitu gangguan fisik, mental, sosial serta penyakit dan kecacatan. Faktor-faktor diatas saling mempengaruhi. Pepatah Arab mengatakan “Al-Aqlus salim fii jismis salim wal jismus salim fi’l aqlis salim” (akal yang sehat ada pada badan yang sehat dan badan yang sehat terdapat pada orang bermoral akal yang waras).
Adalagi pendapat, kata sehat digandeng dengan kata afiat, sehingga menjadi sehat wal afiat. Ini artinya sehat jasmani dan rohani. Sehat berhubungan dengan fisik / jasmani (raga) sedangkan afiat berhubungan dengan segala bentuk perlindungan Allah kepada hamba-Nya dari segala musibah, bencana dan tipu daya. Jadi jika kita bertemu dengan shahabat / teman dan sebagainya, kita berkata semoga anda selalu sehat wal afiat, ini maknanya cukup dalam mencakup kesehatan fisik, rohani dan perlindungan Allah dari segala hal yang tidak diinginkan.
Menurut MUI dalam putusannya tahun 1983, merumuskan tentang kesehatan itu, adalah ketahanan jasmaniah dan ruhaniah, serta sosial yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib untuk disyukuri dengan mengamalkan, memelihara dan mengembangkannya.3
Selanjutnya berbicara tentang masalah sumber kesehatan para pakar kesehatan, tidak berbeda dengan pandangan ajaran Islam, yaitu kebersihan, bahkan Islam sejak awal menegaskannya. Kebersihan adalah faktor utama dan agama Islam mempertegas bahwa kebersihan sebagian dari iman. Perhatian Islam terhadap kebersihan dapat dilihat pada kitab-kitab fiqih, bahasan pertama mengenai bah thoharah (bab bersuci). Kita diperintah untuk bersuci sebelum melakukan ibadah sholat dan beberapa ibadah lainnya. Dalam arti yang kongkrit bersuci membersihkan badan dari hadast besar dengan mandi wajib, menghilangkan hadast kecil dengan berwudhu, serta menghilangkan najis-najis di pakaian, badan dan tempat. Akan tetapi dalam makna yang abstrak bisa berarti penyucian diri memakan harta yang tidak halal, memakai perkakas dan perlengkapan hidup dengan perolehan secara bathil, atau juga bisa pemupusan jiwa dan mental yang kotor, seperti hasut dan dengki, ria, takabur, congkak, ingkar, syirik dan penyakit jiwa lainnya.
Jadi jelaslah dapat diambil kesimpulan kebersihan adalah pangkal kesehatan dan kekotoran adalah sumber penyakit. Mengutamakan kebersihan adalah tindakan preventif, agar terhindar dari segala penyakit yang diakibatkan karena kotor.
2.    Hubungan Kesehatan dan Agama
Hubungan kesehatan dan agama sangat jelas sekali, artinya agama juga berbicara tentang kesehatan. Islam adalah sebagai agama yang ajaran adalah menyangkut masalah duniawi dan ukhrowi. Tidak hanya terbatas pada hubungan vertikal (antara hamba dengan Allah) tetapi juga hubungan horizontal. Dengan demikian Islam adalah satu-satunya agama yang juga berbicara masalah politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, termasuk juga masalah kedokteran, pengobatan dan kesehatan masyarakat. Pada saat ini disebut dengan istilah At-Tibbul Wiqo’i.
Adapun masalah-masalah pokok yang terkandung dalam syari’at Islam tentang kesehatan, sebagai berikut :
  1. Sanitation and personal hygiene (kesehatan lingkungan dan kesehatan perorangan) meliputi kebersihan badan, tangan, gigi, kuku dan rambut. Demikian juga kebersihan lingkungan, jalan, rumah, tata kota, saluran irigasi, sumur serta tebing-tebingnya.
  2. Epidemiologi (preventif penyakit menular). Cara ini melalui karantina, preventif kesehatan, tidak memasuki daerah yang terjangkit wabah penyakit, tidak lari dari tempat itu, mencuci tangan sebelum menjenguk orang sakit dan sesudahnya, berobat ke dokter dan mengikuti semua petunjuk preventif dan terapinya.
  3. Memerangi binatang melata, serangga dan hewan yang menularkan penyakit kepada orang lain. Oleh karena itu diperintahkan untuk membunuh tikus, kalajengking dan musang serta membunuh serangga yang berbahaya seperti cecak, kutu, lalat serta diperintahkan untuk membunuh anjing liar dan anjing gila. Sedangkan babi mutlak masuk kategori binatang yang haram.
  4. Nutrition (kesehatan makanan)
Masalah ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu :
1)        Menu makanan yang berfaedah terhadap kesehatan jasmani, seperti tumbuh-tumbuhan, daging binatang darat, daging binatang laut, segala sesuatu yang dihasilkan dari daging, madu, kurma, susu, dan semua yang bergizi.
2)        Tata makanan, maksudnya cara makan. Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal makan atau makanan, makan bukan karena lapar hingga kekenyangan, diet ketika sedang sakit, memerintahkan berpuasa agar usus dan perut besarnya dapat beristirahat dan tidak berbuka dengan berlebihan atau melampaui batas. Pakar kesehatan mengatakan, apabila seseorang makan dan minum yang berlebihan dapat menyebabkan berisiko obesitas (kegemukan). Berbagai penyakit penyerta akan muncul bila seseorang keadaan obesitas, salah satu diantaranya yaitu diabetes tipe II, diabetes ini juga sebagai penyebab impotensi. Impotensi ini berakibat infertilitas (kemandulan) bagi isteri.
Infertilitas sering menjadi masalah besar dalam keluarga, terutama untuk kaum wanita, karena mereka takut dicerai atau dimadu, seterusnya bisa berakibat stres. Jika ditarik akar masalahnya adalah berpangkal tata makan yang menyimpang atau salah. Tepat sekali ajaran Islam menganjurkan untuk makan dan minum, tetapi janganlah berlebihan atau melampaui batas.
3)        Mengharamkan segala sesuatu yang membahayakan bagi kesehatan seperti bangkai, darah, daging babi, khamar / minuman keras dan narkoba.
  1. Sex Hygiene (kesehatan seks)
Dimaksud kesehatan seks ini adalah meliputi hal sepert embrio dan perkembangannya, pendidikan seks, cara memilih isteri, bahkan program pendidikan tentang hubungan seks yang aman. Demikian pula tentang kebersihan seks, seperti mandi setelah berhubungan, istinja setelah kencing dan berak, tidak berhubungan ketika isteri sedang haid, diharamkan zina, homoseks dan masturbasi (onani).
  1. Body built (binaraga)
Islam mendorong untuk memiliki keterampilan dan olahraga, seperti menunggang kuda, renang, memanah, gulat dan segala macam olahraga yang bermanfaat dengan catatan tidak melanggar syari’at.
  1. Mental and Psychic Hygiene (kesehatan mental dan jasmani)
Agama Islam mengajarkan percaya kepada Allah dan bersabar dalam menghadapi berbagai penyakit yang kritis. Oleh karenanya haruslah kita saling tolong menolong, kasih mengasihi antara sesama untuk meringankan bebannya dalam kehidupan ini. Islam melarang segala sesuatu yang merusak tatanan kehidupan masyarakat, seperti judi, riba dan yang menimbulkan keributan. Di samping itu Islam juga melarang semua benda yang menimbulkan kelemahan dan menghilangkan kesadaran, seperti khamar, minuman keras dan narkoba (narkotika dan obat-obat terlarang).
  1. Occupational Medicine (kesehatan kerja)
Para pekerja, apakah ia petani, buruh, nelayan dan lainnya, seperti pembantu rumah tangga, ia haruslah dijaga dari hal-hal yang membahayakan dalam bekerja, mengganti kerugian terhadap musibah (kecelakaan) kerja, termasuk proses pengobatan, penyembuhan, tempat tinggal yang sehat, batas jam kerja, uang lembur dan memberikan upah sebelum keringatnya kering.
  1. Geriatris (memelihara manula)
Geriatris adalah merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran modern. Sebenarnya masalah ini, kedokteran Islam yang pertama kali mempromosikannya. Banyak ayat Al Qur’an dan hadist yang memerintahkan agar kita memelihara ayah dan ibu, nenek dan orang yang lanjut usia (jompo), menghormati kekurangan mereka, sabar terhadap mereka terlebih jika mereka dalam keadaan sakit. Orang yang pertama yang menulis dan membahas masalah ini adalah Ibnu Sina dalam karyanya “Al-Qanun”.
  1. Maternal and Child Healt (kesehatan ibu dan anak)
Kesehatan ibu dan anak diatas, maksudnya adalah pemeliharaan kesehatan secara umum, ibu yang sedang hamil atau menyusui anaknya, tidaklah semestinya ia diberikan beban dan tugas-tugas yang berat. Islam menganggap menyusui anak merupakan suatu perjuangan, bahkan perempuan yang mati ketika melahirkan termasuk kategori mati syahid. Oleh karena itu dalam rangka kesehatan ibu dan anak, seorang wanita yang hamil atua menyusui dibolehkan untuk tidak puasa dengan   catatan :
1)        Wanita yang hamil dan menyusui, jika keduanya merasa khawatir dirinya menjadi mudhorot dalam berpuasa, maka ia wajib mengqhodo puasanya.
2)        Wanita yang hamil dan yang menyusui, jika keduanya khawatir akan anaknya mudhorot kalau berpuasa, maka ia wajib mengqhodo dan membayar fidyah.
(Terjemah Fathul Qorib oleh Drs. Imron Abu Amar dan Fiqh Islam oleh H. Sulaiman Rasyid).
3)        Ada juga pendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, jika tidak berpuasa, cukup membayar fidyah saja.
(A. Hassan dalam bukunya Pengajaran Sholat bab Wajib Puasa Ramadhan, Adil bin Yusuf Al-Azazi dalam bukunya Hamil Siapa Takut ?)
Demi kesehatan anak dan ibu sekaligus, metode untuk menjarangkan kelahiran adalah menyusui anak sepanjang dua tahun penuh.
  1. Peraturan-peraturan untuk Melayani Kesehatan dan Dispensasi Pelayanan
Islam adalah sebagai agama yang pertama memerintahkan agar tidak menyerahkan perawatan kesehatan kecuali kepada yang ahlinya (profesional). Barang siapa yang merawat kesehatan sedang ia bukan ahlinya, tidak menguasai ilmunya, maka ia disalahkan dan harus bertanggung jawab atas kesalahannya. Islam menghendaki keahlian, mendorong untuk mengutamakan ilmu medis, pengobatan dan dokter serta tidak membatasi dengan do’a untuk menyembuhkan penyakit.
  1. Metode Teologis untuk Menciptakan Masyarakat yang Sehat
Islam adalah agama yang menciptakan dan yang pertama melaksanakan metode teologis ini, tetapi kemudian justru diambil alih oleh masyarakat Cina dan dianggap khazanah budayanya. Dengan metode ini Cina berhasil menjadi negara pertama dalam kemajuan kebersihan dan kesehatan di dunia. Metode teologis merupakan metode yang menghubungkan antara pendidikan kesehatan dengan akidah ummat, memanfaatkan pengaruh akidah dan ketaatan seseorang serta mengharap pengorbanan mereka tetap konsisten mengikuti perintah kesehatan.
3.    Anjuran Menjaga Kesehatan dan Dampak Kesehatan pada Makanan yang Haram
Anjuran Islam dalam menjaga kesehatan / kebersihan dapat dirumuskan dalam bentuk-bentuk, sebagai berikut :
a.    Bersuci dari Hadast
Bersuci dari hadast adalah seperti mandi wajib, karena sebab-sebab yang mewajibkannya (hadast besar) dan wudhu jika masih mengandung hadast untuk mengerjakan sholat dan tawaf.
b.    Membersihkan badan dan tempat dari najis.
1)    Firman Allah :
وَثِيَا بَكَ فَطَهِّرْ
Artinya : “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. 56 : 4).
2)    Ketika A’rabi (orang desa) kencing dalam masjid, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam berkata, “Tuangi olehmu kencing itu dengan setimba air” (HR. Buchari dan Muslim).
3)    Istinja (Cebok)
Istinja adalah membasuh saluran kencing dan anus setelah kencing dan berak. Cara yang baik dan menurut / mengikuti sunnah adalah menggunakan air untuk menghilangkan najis terlebih dahulu, kemudian dikeringkan dengan sesuatu yang bersih dan kering walaupun dengan ketas. Sebelum diperkenalkan kertas, umumnya orang menggunakan batu yang kering.
Kebiasaan ini banyak memberikan manfaat bagi kesehatan utamanya dalam kondisi sakit. Air kencing pada penderita penyakit gula atau kencing manis, mengandung kimia yang banyak dari gula.
Jika bekas air kencing itu dibiarkan saja melekat di bagian organ jasmani setelah kencing maka akan menyebabkan jamur, lalu menjadi bakteri dan berpindah kepada orang lain, ketika orang itu kencing dan selanjutnya menyebabkan bengkak (pada alat kelamin). Dari bakteri inilah kemudian banyak yang berpindah kepada isteri ketika berhubungan dengan mengakibatkan inflammantio pada faraj dan rahim, bahkan dapat menyebabkan kemandulan.
Seorang muslim dilarang istinja (membasuh dubur dan qubul) dengan tangan kanan, tetapi harus dengan tangan kiri, karena tangan kanan dipakai untuk makan dan bersalaman dengan orang lain. Begitu pula jika kita masuk ke tempat buang air (WC) dianjurkan pakai sandal atau alas kaki, supaya bakteri penyakit tidak masuk melalui telapak kaki. Ini adalah hikmah syari’at Islam yang sangat memperhatikan kebersihan.
4)    Anjuran untuk Membersihkan Gigi
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, jika hendak tidur, ketika bangun malam dan ketika hendak sholat senantiasa menggosok giginya. Syara melarang seseorang melakukan sholat sedang pada mulutnya masih terdapat sisa-sisa makanan melainkan lebih dahulu dibersihkan dan berkumur tiga kali. Gigi-gigi dibersihkan dan sisa makanan yang tertinggal dikeluarkan, karena sisa-sisa makanan yang tertinggal di dalam mulut akan membusuk dan apabila masuk ke sela-sela gigi akan menimbulkan infeksi yang pada gilirannya disebut dengan sakit gii. Itulah hikmahnya Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam mendorong kita untuk menggunakan siwak (sikat gigi). Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
اَلسِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Artinya :   “Siwak itu adalah membersihkan mulut dan mendapat keridhaan Tuhan“.
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam :
لَوْلاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى َلاَ مَرْتَهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
Artinya :   “Jika tidak memberatkan bagi ummatku, tentu aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap hendak sholat“.
5)    Disunnahkan membersihkan tangan, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan sebagainya ketika berwudhu. Membersihkan tangan dan berkumur-kumur ini sudah jelas untuk kebersihan tangan dan mulut. Adapun memasukkan air ke hidung adalah memiliki nilai medis, sebab penyakit-penyakit seperti influenza, poliemmyclitis, difteri dan lain-lain yang disebabkan oleh bakteri dan virus bisa dibasuh atau dikeluarkan melalui memasukkan air ke hidung, kemudian mengeluarkannya.
c.    Allah mencintai orang bersih, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an (QS. 2 : 222) yang artinya :
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu bertaubat dan mencintai orang-orang yang selalu membersihkan diri“.
d.    Perintah menyamak kulit dan membersihkan bejana.
“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, berkata : telah bersabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam “Apabila disamak kulit binatang, maka menjadi suci” (HR. Muslim).
“Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu, berkata : telah bersabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam “Bersihnya bejana kalian apabila dijilat anjing ialah dengan mencuci tujuh kali dan salah satu diantaranya dengan tanah” (HR. Muslim).
Itulah masalah anjuran kesehatan dan selanjutnya kita berbicara tentang dampak kesehatan pada makanan yang haram. Ajaran Islam telah memberikan patokan kepada manusia agar memakan makanan yang halal dan baik yang ada di permukaan bumi ini. Firman Allah dalam Al Qur’an (QS. 2 : 168) :
Artinya :  “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu“.
Di dalam Al Qur’an (QS. 2 : 172 – 173) dan (QS. 6 : 145) ada 4 (empat) jenis makanan yang diharamkan yaitu bangkai, darah, daging babi dan binatang disembelih disebut (nama) selain Allah.
Sedangkan dalam Al Qur’an (QS. 5 : 3) dinyatakan yang haram itu ada lebih empat jenis yaitu seperti bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih selain nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas serta yang disembelih untuk berhala. Drs. Kaelany HD, MA menjelaskan bahwa baik yang terpukul, tercekik, ditanduk, maupun diterkam binatang buas seluruhnya termasuk bangkai. Begitu juga binatang yang disembelih untuk berhala adalah semakna dengan binatang yang disembelih selain nama Allah. Jadi garis besarnya makanan yang diharamkan itu ada empat jenis dan jika diperinci lebih itu.
Menurut Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi dalam bukunya Kamus Halal Haram 86 Binatang, masih banyak lagi binatang yang diharamkan diantaranya seperti burung hantu, musang, tikus dan lainnya (dapat dilihat pada bukunya).
Mengenai makanan yang haram ini jelas sekali punya dampak terhadap kesehatan seseornag. Oleh karena itu makanan yang diharamkan haruslah kita jauhi. Dalam kajian ilmiah mengapa diharamkan ? Ulama diantaranya, sebagai berikut :
a.    Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih, baik disebabkan oleh suatu penyakit, maupun peristiwa lain, misalnya terjatuh, tercekik dan lain-lain. Suatu penyakit bisa saja membuat seekor hewan ke alam maut. Sesudah itu tinggallah bibit penyakit tersebut dalam darahnya, jika bangkai itu dimakan orang ini sangat berbahaya, karena dalam darahnya ada racun dan bibit penyakit. Hewan apabila telah mati maka terjadilah perubahan seperti aliran darah berhenti dan mengering, kemudian otot-ototnya kaku, akibat terbentuknya asam-asam tertentu, terus terjadi pembusukan dan berproseslah bibit penyakit. Jadi bangkai adalah daging yang berbahaya, selain rupanya menjijikkan dan agama Islam mengharamkan untuk memakannya.
b.    Darah
Maksud darah disini adalah darah yang tertumpah. Darah adalah cairan merah padam yang mengalir pada saluran-saluran tubuh, baik itu pembuluh nadi (arteri), pembuluh balik (vena), maupun pipa kapiler. Sel-sel darah itu ada dua macam, sel darah merah dan sel darah putih yang tugasnya adalah menolak bibit penyakit dari tubuh. Akan tetapi darah juga merupakan tempat paling subur bagi pertumbuhan bibit penyakit.
Hewan yang disembelih saja ia masih bisa menjadi sasaran tersebarnya bibit penyakit. Jika darahnya diminum ataupun dimakan artinya ia makan / minum sumber penyakit. Sementara ini telah terbukti bahwa darah sulit dicerna. Apabila binatang sakit biasanya bakteri-bakteri berkembang biak di dalam darahnya. Dari karena itu, Islam mewajibkan penyembelihan secara syar’i yang akan memelihara darah binatang itu setelah disembelih.
c.    Daging Babi
Daging babi adalah pemindah penyakit yang terburuk, penyakit itu :
1)        Berupa cacing yang hanya mau tinggal di usus, yaitu cacing pita.
2)        Berupa gelembung-gelembung yang tampak di berbagai tempat di tubuh manusia.
Jadi jelasnya dalam tubuh babi mengandung cacing pita. Cacing pita panjangnya dua meter, tiga meter, bahkan kadang-kadang ada yang sampai delapan meter panjangnya.
d.    Binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas.
Kiranya masuk akal dan logis, jika makhluk hidup dicekik akan terhalang masuknya oksigen ke dalam paru-paru, berakibat membekunya karbondioksida dalam tubuh yang akan teracuni.
Sedangkan hewan yang mati dipukul, yakni hewan yang dipukul hingga mati, juga akan merusak sel-sel dalam tubuh dan urat-uratnya. Demikian pula binatang yang ditanduk, hewan mati karena tabrakan atau jatuh dari tempat yang tinggi, juga akan merusak dagingnya, sebagaimana yang mati terpukul. Hewan yang diterkam binatang byas termasuk yang diharamkan, sebab binatang-binatang darat ini kemungkinan menderita penyakit yang terlihat dari mulut dan air liurnya. Jika bekasnya pada bekas gigitannya, maka akan menimbulkan penyakit bagi yang memakan dagingnya.
Islam mengharamkan daging yang disembelih atas nama selain Allah. Hal ini dimaksudkan untuk memuliakan dan tidak menyiksa binatang tersebut. Disamping itu memakan hewan yang disembelih atas nama selain Allah, bagi seorang muslim akan diartikan mencampur adukkan antara akidah dengan syirik.
e.    Khamar
Menurut medis dilihat dari segi komposisinya khamar adalah segala sesuatu yang mengalir yang mengandung alkohol dalam kadar tertentu dan sangat sedap rasanya dalam minuman. Alkohol dalam bir tidak lebih dari 3% dan pada minuman-minuman yang lebih keras lagi kadar alkohol lebih 25% atau 50% pada jenis minuman yang spesial kenikmatannya.
Khamar dalam pengertian agama adalah setiap benda yang memabukkan atau yang menyebabkan kecanduan, walaupun bukan khamar. Termasuk dalam hal ini minuman keras (minuman keras disingkat dengan miras). Sedangkan narkoba sebagian ulama menyamakannya dengan khamar berdasarkan dalil : “Akan datang suatu zaman dimana manusia menamakan khamar dengan nama lain” (HR. Baihaqi).
Ketika pertama kali Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam memproklamirkan pengharaman khamar (QS. 5 : 90-91), beliau tidak melihat dari bahan apa khamar itu dibuat. Adapun yang beliau perhatikan ialah pengaruh yang ditimbulkannya, yaitu mabuk. Maka apa saja yang menimbulkan atau yang mengandung kekuatan yang memabukkan, itulah khamar, apapun cap, merk dan namanya dan dari bahan apapun dibuat.
Pernah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah ditanya tentang minuman yang dibuat dari madu atau dari jagung dan gandum yang diperas sampai pekat. Namun Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah dianugerahi kemampuan untuk mengucapkan kata-kata yang bersifat umum, beliau bersabda :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Artinya :  “Setiap yang memabukkan itu khamar dan setiap khamar itu haram“.
Sayyidina Umar bin Khattab Radhiallahu anhu berkata “Khamar adalah apa saja yang bisa mengubah akal pikiran“.
Apabila Islam mengharamkan khamar, maka pengharaman itu bukanlah tidak beralasan. Haramnya khamar itu dapat dibuktikan secara sains modern. Bahwa di dalamnya terkandung bahaya-bahaya bagi seluruh organ tubuh manusia. Akibat khamar manusia jadi binasa, keluarga jadi berantakan dan masyarakat jadi rusak. Khamar adalah zat alkohol yang tidak saja merusak jasad / jasmani, tetapi juga bahaya psychologis, antara lain :
1)        Lumpuh alkohol (paralysys alkoholic) dibarengi dengan getaran pendengaran, yaitus eolah-olah ada suara-suara, ada kegaduhan entah dari mana asalnya.
2)        Gila alkohol (hangover), menyerupai apa yang dinamakan tidak utuhnya kepribadian.
3)        Cemburu buta (delirium) yang sering membawa orang melakukan pembunuhan.
4)        Sedih alkohol (drug addiction) dan sering berakhir dengan bunuh diri.
5)        Radang saraf akibat alkohol yang dibarengi dengan terjadinya kondisi-kondisi abnormal pada ingatan (mental illness) dan penghamburan.
6)        Mabuk dibarengi dengan berputar-putar biji mata secara liar dan bicaranya tidak karuan-karuan.
4.    Berobat dan Pengobatan
Berobat asal katanya adalah obat (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit atau menyembuhkan seseorang dari penyakit. Mendapat awalan “ber” menjadi berobat yang artinya menggunakan obat.
Dalam rangka mempertahankan kesehatan disamping tindakan preventif, Islam menganjurkan agar penderita untuk berobat. Keharusan untuk berobat ini sesuai dengan anjuran Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang diceriterakan oleh Usamah bin Syarik, ia berkata yang artinya :
Pada waktu saya bersama Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam datanglah beberapa orang Badui (pegunungan) lalu mereka berkata : Ya Rasul Allah, apakah kita mesti berobat ? Maka beliau menjawab, wahai hamba Allah, berobatlah kamu, karena Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga Dia menurunkan obatnya, kecuali suatu penyakit. Mereka bertanya lagi, penyakit apakah itu ? Beliau menjawab, tua” (HR. Ahmad).
Abu Darda berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikannya setiap penyakit obatnya, maka berobatlah kamu, tapi janganlah berobat dengan yang haram” (HR. Abu Daud).
Pengobatan artinya, proses, cara, perbuatan mengobati. Pengobatan yang baik hendaknya pula didukung oleh para ahli pengobatan (dokter), paramedis, bidan dan rumah sakit-rumah sakit tempat perawatan pengobatan serta apotik dan apoteker yang menyediakan obat-obatan.
Dalam hal berobat, ajaran Islam menganjurkan untuk berobat kepada para ahlinya (dokter), hal ini sesuai dengan sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Amar bin Dinar dari Hilal bin   Yasar :
عَنْ هِلاَلِ بْنِ يَسَارٍقَالَ : دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمُ عَلَى ا مَرِيْضِ يَعُوْدُهُ فَقَالَ : اَرْسِلُوْا اِلىَ طَبِيْبٍ, فَقَالَ قَائِلُ وَاَنْتَ تَقُوْلُ ذَالِكَ يَا رَسُوْلَ الله ؟ قَالَ : نَعَمْ. اِنَّ اللهَ عَنَّ وَجَلَّ لَمْ ليُنْزِلْ دَاءً اِلاَّ اَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً.
Artinya : “Dari Hilal bin Yasar, ia berkata : Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam mengunjungi orang sakit yang telah dibesuknya, lalu beliau berkata : Kirimkan (bawalah) dia (si sakit) kepada dokter. Maka seorang berkata : Engkaukah yang mengatakan demikian, ya Rasulullah ? Nabi menjawab : ya. Sesungguhnya Allah Azza wa jalla tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia menurunkan pula obat penyakit tersebut” (HR. Amar bin Dinar.
Hadist ini menunjukkan keharusan berobat dan berobat itu sedapat-dapatnya kepada orang yang ahlinya. Keharusan berobat ini sudah merupakan ketetapan baik ditinjau dari segi syara’, rasio (akal) maupun fitrahnya.
Islam tidak memberikan uraian secara terperinci bagaimana cara pengobatan mesti dilakukan, perkembangan sistem pengobatan mulai dari sistem tradisional sampai modern dengan peralatan teknologi canggih didorong oleh Islam yang menyatakan urusan kebudayaan manusia (dunia), kita diberi kebebasan untuk berkembang : “Antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kamu lebih tahu tentang masalah dunia kamu) demikian sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam. Akan tetapi perlu diperhatikan masalah pengobatan ini adalah jangan berobat dengan barang yang haram. (Fa tadaawau walaa tadaawau bilharam) berobatlah tapi jangan berobat dengan yang haram.
Suatu ketika Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang khamar, namun beliau tetap melarangnya. Maka laki-laki itu berkata : “Saya ini membuatnya untuk obat”. Tetapi beliau menjawab : “Innahu laisa bi dawaain walakinnahu daa-un (sesungguhnya khamar itu bukan obat tetapi penyakit)”.
Sistem pengobatan yang dilakukan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, menurut riwayat ada 3 (tiga) cara :
  1. Dengan pengobatan alamiah
  2. Dengan pengobatan kerohanian, yaitu dengan do’a dan bacaan tertentu disebut dengan ruqiyyah
  3. Penggabungan kedua cara di atas
Untuk melengkapi penjelasan tentang berobat dan pengobatan ini, kami anggap perlu menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
a.    Mengadukan Sakit dan Berobat
Orang yang sakit diperkenankan oleh Islam untuk mengadukan sakitnya kepada teman atau kerabatnya, barangkali mereka mempunyai obat yang telah mereka alami kemanjurannya, atau untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk buat memakai obat ataupun pantangan-pantangan. Semua itu boleh dikerjakan asal saja tidak disertai dengan kemarahan, kejengkelan dan kekesalan ditambah dengan perasaan cemas yang berlebihan. Karena hal ini bertentangan dengan sifat shabar dan tabah yang diperintahkan Allah kepada orang yang sakit. Lebih ditekankan lagi pengaduan ini ditujukan kepada ahlinya (dokter, paramedis dan bidan).
b.    Berobat kepada Dokter Non Muslim
Orang yang sakit dianjurkan oleh Islam agar berobat kepada dokter yang ahli dan berpengalaman dan si sakit tidak boleh membiarkan saja penyakitnya menjalar dalam tubuhnya karena semata-mata bersandar kepada takdir Ilahi padahal ia mampu untuk berobat. Jika sakit itu termasuk takdir Ilahi, maka berobat itu pun termasuk takdir Ilahi juga, maka takdir sakit ditolak dengan takdir pengobatan, yaitu dengan memilih dokter yang ahli dan pandai mengobati tanpa memandang kebangsaan dan agamanya. Jika seandainya ada dua dokter, yang satunya ahli dan berpengalaman dari yang lainnya tetapi ia non muslim, maka memilih yang non muslim adalah suatu keharusan. Kalau kedua dokter itu sama-sama ahli dan mahir, maka lebih utama berobat kepada dokter yang muslim.
Kedatangan pasien atau orang yang sakit untuk berobat adalah sudah tepat, apakah ia datang ke Puskesmas, balai pengobatan, rumah sakit, rumah bidan, rumah praktek dokter. Ini berarti pasien memilih orang yang ahli. Berobat kepada orang yang tidak ahlinya adalah menunggu kerusakan dan kehancuran.
Namun demikian perlu dicamkan, pasien berobat adalah ikhtiar, para dokter dan perawat juga … ikhtiar. Obat dan pelayanan yang baik, juga ikhtiar. Pada hakikatnya yang menentukan kesembuhan hanya Allah yang Maha Kuasa. Karenanya marilah sama-sama memohon.
Allah akan mengabulkan permohonan mereka yang memohon. Oleh karenanya senantiasa bagi kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun diantara cara mendekatkan diri kepada Allah adalah sholat dan berdo’a sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun sholat itu jangan ditinggalkan, dan sudah barang tentu dengan cara menurut kemampuannya masing-masing.
Menggarisbawahi uraian diatas, sebagai tanggung jawab sosial terhadap ummat, maka seyogianyalah kita bangkit dan masih belum terlambat untuk bangkit, bahkan semestinya tidak ada istilah terlambat dalam menggali ilmu, khususnya pada bidang kesehatan sehingga lahir ahli-ahli kesehatan yang didambakan ummat (ummat Islam).
5.    Kehamilan dan Pranatal Education
Hamil artinya adalah mengandung janin di dalam rahim, karena sel telur dibuahi oleh spermatozoa. Kehamilan artinya keadaan hamil. Sesuai makna di atas yang dikandung seorang ibu adalah janin. Sekarang timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan janin ? Menurut Dr. Adil bin Yusuf Al-Azazi dalam bukunya “Fathu al-Karim bi Ahkam al-Hamil wal Janin” kata janin berarti anak yang masih dalam perut ibu karena keberadaanya masih tertutup. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua makna, yaitu (1) bakal bayi (masih di kandungan), (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan.
Setiap wanita yang bersuami pada umumnya sangat mendambakan dan sangat gembira apabila dapat hamil dari benih suaminya yang tercinta, walaupun ada juga oknum wanita yang agak kurang senang hamil karena ingin mengejar karir atau tidak ingin direpotkan oleh hadirnya sang bayi.
Wanita hamil secara sah, memang banyak alasan untuk bangga, karena, pertama ia dapat membuktikan kepada suaminya bahwa ia adalah wanita yang subur. Suami layak mencurahkan seluruh perhatian, kasih sayang dan kerinduan kepadanya, karena buah hati bersamanya kini telah bersemayam di dalam rahim kekasihnya. Kedua, ia dapat berharap bahwa kelak kemudian hari akan memiliki pelanjut nama keluarga yang menjadi dambaan setiap keluarga. Ketiga, ia akan menjadi wanita yang dapat memperoleh pahala dari Allah selama masa hamilnya yang panjang itu. Bila ia selamat beserta bayinya, maka ia merasakan kesejukan hati tiada tara. Tetapi sebaliknya bila ia ditakdirkan Allah menyambut ajal ketika melahirkan, maka ia mati sebagai syahidah. Mati sebagai tentara penegak agama Allah yang dijanjikan akan masuk syurga.
Selanjutnya untuk mengulas masalah kehamilan ini dalam pandangan agama, menurut ulama dalam hal ini (Drs. M. Thalib) menggarisbawahi 40 (empat puluh) masalah hamil / menyusui, dan kami mencoba untuk mengutip beberapa hal saja, antara lain :
a.    Sikap Menjalani Kehamilan
Setiap wanita hamil jelas mengalami perubahan fisik yang hari demi hari semakin lemah, hal ini secara tegas Allah terangkan dalam Al Qur’an surah Luqman ayat 14 :
Artinya :  “… ibunya mengandungnya dengan lemah bertambah lemah” (QS. Luqman ayat 14).
Kelemahan fisik yang berjalan berbulan-bulan pasti berpengaruh pada emosi wanita hamil. Bukanlah suatu hal yang dianggap aneh kalau seorang wanita hamil mudah marah karena beban berat yang dikandungnya sepanjang waktu selama hamil. Tiada detik dan tiada menit tanpa penderitaan.
Wanita hamil tentunya menghendaki ketentraman dan kedamaian. Hal ini bukan hanya berguna bagi ibu yang mengandung tetapi juga bagi bayi yang dikandungnya.
Penderitaan-penderitaan yang dialami adalah merupakan ujian. Begitu juga masalah kenyamanan, sehingga ibu hamil hampir-hampir tidak menikmati nyenyaknya tidur, enaknya makan dan segarnya beristirahat.
Alhasil, kondisi fisik dan mental dalam keadaan penderitaan haruslah disikapi dengan penuh ketabahan, kesabaran, keimanan yang mantap, selalu mendekatkan diri kepada Allah.
b.    Lama Masa Hamil
Menurut Drs. M. Thalib dalam bukunya 40 Masalah Hamil dan Menyusui, menyatakan bahwa mengenai persoalan diatas tidak didapati keterangan yang tegas di dalam Al Qur’an maupun Al Hadist. Di dalam Al Qur’an ada dua ayat yang berkenaan dengan masalah hamil dan menyusui.
Pertama, firman Allah dalam Al Qur’an surah Luqman ayat 14 :
Artinya :  “Dan telah Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti) kepada ibu bapanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah dan menyapihnya (sesudah) menyusui dua tahun …“.
Ayat ini menyebutkan lamanya menyusui, yaitu dua tahun tanpa menyebutkan lama masa hamil yang menjadikan keadaan wanita yang bersangkutan lemah fisiknya.
Kedua, firman Allah dalam surah Al-Ahqaaf ayat 15 :
Artinya :  “Dan telah Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti) kepada ibu bapaknya dengan baik. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Dia mengandungnya dan menyapihnya selama 30 bulan …“.
Ayat kedua ini menjelaskan bahwa bilangan lamanya mengandung ditambah menyusui sampai saat penyapihan adalah 30 bulan. Kalau saja mengandung itu lamanya 9 bulan, maka lama menyusui berarti selama 21 bulan. Pada ayat pertama telah disebutkan lama masa menyusui adalah dua tahun penuh. Jadi jumlah masa hamil dan menyusui seluruhnya 33 bulan. Jika begitu, berapa sebenarnya masa menyusui yang baik dan masa hamil yang sempurna ?
Tentang masa hamil ini, Imam Syafi’i mengambil ayat 15 surah Al-Ahqaaf sebagai pokok dengan dikurangi masa menyusui yang sempurna pada ayat 14 surah Luqman. Dengan demikian, lama masa hamil adalah enam bulan, yaitu 30 bulan dikurangi 24 bulan.
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menetapkan masa hamil. Oleh karenanya kita berpegang kepada kebiasaan umum yang berlaku. Pada pokoknya janin yang telah berumur 120 hari telah mendapatkan ruh. Karenanya bayi yang telah berada dalam kandungan berumur 6 (enam) bulan kemudian lahir, tidak menyalahi hukum Islam, juga tidak dipandang sebagai suatu kelainan. Istilah adat atua pembicaraan yang berlaku umum, bahwa masa hamil itu adalah 9 (sembilan) bulan 9 (sembilan) hari.
c.    Perilaku Suami terhadap Isteri yang Hamil
Bagaimana perilaku suami terhadap isteri yang sedang hamil. Apakah ada ketentuan khusus dari syari’at Islam tentang hal ini. Ketentuan khusus yang bertalian dengan perilaku suami terhadap isteri yang sedang hamil, nampaknya tidak ada. Secara umum seorang suami harus berbuat baik atau berlaku ma’ruf dengan isteri, baik dalam keadaan biasa lebih lagi isteri dalam keadaan hamil.
Seorang isteri yang sedang hamil perlu sekali mendapatkan perlakuan yang menyenangkan, menggembirakan, membesarkan hatinya dalam memikul beban dan kesusahan hamil, sehingga isteri tidak merasa sendirian dalam berjuang mempertahankan kandungannya hingga bayinya lahir.
Segala bentuk tingkah laku, ucapan atau gerak-gerik suami hendaklah jangan ada yang menyebabkan beban mental isteri yang sedang hamil. Suami hendaklah berusaha membantu semangat isteri dengan cara membesarkan hatinya. Sudah tentu tindakan suami dalam membesarkan hati isteri ini sesuai dengan akhlak Islam. Karena isteri sedang hamil kadangkala ada saja permintaannya yang aneh-aneh, sewaktu ngidam mungkin ada saja permintaannya yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ada lagi satu masalah, yaitu menunggu isteri ingin melahirkan, hal ini tidaklah wajib dan tidaklah sunnat, tetapi mubah. Artinya terserah kemauan yang bersangkutan. Jika peluang ada, pekerjaan tidak terganggu dan persediaan belanja serta materi cukup tersedia, maka sebaiknya seorang suami harus berada di rumah / di rumah sakit / di rumah bersalin untuk menunggu isterinya melahirkan.
d.    Memelihara Kandungan sampai Lahir
Seorang wanita yang telah hamil ia harus memelihara kandungannya sampai melahirkan. Karena ada yang berpendapat bayi yang telah berumur lebih dari 120 hari telah mempunyai status, sebagai manusia yang hidup di luar kandungan. Bayi tersebut mempunyai haq untuk hidup, yaitu keselamatan jiwanya wajib dihormati.
Karenanya memelihara kandungan secara baik adalah suatu kewajiban setiap isteri atau wanita sholihah. Maka dari pemeliharaan bayi secara umum supaya terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Dalam istilah lain bisa disebut dengan prinsip kesadaran pra lahir.
Pada tahun 1989, tim Pranatal University telah mengadakan The 9th Internasional Congres of Fre and Pranatal Psychology diselenggarakan di Yerussalem untuk menyikapi berbagai agenda permasalahan yang terkait dengan penyiksaan janin. Menurut mereka bahwa setiap bayi pra lahir mempunyai hak-hak, antara lain :
1)        Hak saat janin menjadi sesuatu yang berjiwa untuk mengalami perkembangan pra lahir tanpa gangguan.
2)        Hak untuk mendapatkan gizi yang memadai untuk membangun akal dan tubuh yang sehat.
3)        Hak untuk dilindungi dari racun dan toksin yang dapat menghambat perkembangan saraf dan fisik.
4)        Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat di dalam rahim, bebas trauma fisik atau tingkat kebisingan, cahaya atau stimulasi berlebihan dan membahayakan.
5)        Hak untuk diterima sebagai individu yang hidup dan sadar sebelum dilahirkan.
Dalam perspektif Islam, sejak 15 abad yang lalu, hak-hak janin sebagaimana yang tertulis di atas telah ada dan hingga kini berjalan, bahkan lebih jauh dari itu. Syari’at Islam memberikan hak-hak janin itu lebih luas bagi keberadaannya, yaitu :
1)        Hak memiliki silsilah (nasab) keturunan yang jelas (pasti) dari orang tuanya secara sah.
2)        Hak terlindungi dan terpelihara dari iklim keburukan fisik dan psikis serta godaan syetan.
3)        Hak terhindar dari penyakit menular baik akut maupun kronis.
4)        Hak mendapatkan pelayanan asuhan, cinta, kasih dan sayang dari orang tuanya.
5)        Hak mendapatkan imaniyah asasiyah / fitrah tauhidiyah.
6)        Hak mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan baik.
7)        Hak pemeliharaan dari bahaya yang mengancam dan mengganggu perkembangan janin, seperti pengaruh obat-obatan yang berlebihan, obat terlarang, racun, toksin, minuman keras, dan lain-lainnya.
8)        Hak untuk mendapatkan hidup yang layak, termasuk terlindungi dari bahaya yang mengancam kehidupan, seperti pengaruh hukuman haq dan qishash yang mengenai ibunya.
9)        Hak ahliyah (kelayakan / eksistensial) kehadiran sebagai individu dari janin dapat diperhitungkan. Seperti mendapatkan warisan dari orang tuanya atau saudaranya yang meninggal dunia.
10)    Hak pendidikan sejak dini (sejak dalam kandungan ibunya).
11)    Hak-hak lainnya dalam persepsi syari’ah Islamiyah.
Adanya hak-hak tersebut memberikan kesadaran penuh tentang fungsi dan peran orang tua dalam pemeliharaan anak-anaknya sejak terjadinya kehamilan.
e.    Meninggal Saat Hamil
Bagi wanita yang hamil kemungkinan meninggal karena hamil memang ada. Akan tetapi tidak perlu dikhawatirkan sekali. Karena kita wajib percaya atau yakin bahwa ajal itu ketentuannya ada dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wata’ala. Meninggal saat hamil bisa terjadi karena beberapa sebab. Mungkin karena sakit perut, mungkin karena kecelakaan lalu lintas, karena darah tinggi, kencing manis dan lain sebagainya.
Untuk itu secara teori medis dan kebidanan, maka bagi seorang yang hamil dianjurkan agar selalu periksa kandungan, memelihara kesehatan fisik dan jiwa, makan makanan yang bergizi dan juga dianjurkan untuk senam. Lebih dari itu dianjurkan agar antisipasi hamil risiko tinggi (risti).
Karena perempuan hamil dalam keadaan risti bisa membawa kematian. Disini kami menambahkan tentang ciri perempuan hamil berisiko tinggi, sebagai berikut :
1)        Muka pucat
2)        Tekanan darah lebih dari 140 mmHg
3)        Batis bangkak
4)        Awak kakarujutan
5)        Kaluar darah di hadapan
6)        Tatuban kasungsungan pecah
7)        Anak dalam parut tahalang
8)        Baranak kada cukup bulan
9)        Baranak kembar
10)    Anak dalam parut kaganalan
11)    Anak dalam parut tasungsang
12)    Baranak nang tadahulu ngalih tarus
13)    Rancak kaguguran
14)    Ibu hamil umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
15)    Baisi anak lebih dari 4 orang
16)    Selisih anak nang tadahulu lawan nang tadudi kada sampai 2 (dua) tahun
17)    Tinggi awak kurang dari 145 cm
18)    Berat awak kurang dari 38 kg
19)    Riwayat keluarga ada nang bapanyakit kencing manis, darah tinggi dan cacat mulai lahir
20)    Nang batianan ada kelainan cacat anak
Di dalam ajaran Islam, seorang wanita hamil apabila ia meninggal dunia, maka ia termasuk kategori mati syahid. Dimaksud mati syahid disini adalah bagi wanita hamil apabila mati, kelak di akhirat pahalanya sama besarnya dengan orang yang mati terbunuh di medan perang dalam membela agama Allah.
Oleh karena itu, wanita hamil tidak perlu sedih, duka cita dan takut mati karena kehamilannya. Pandangan kehamilan ini adalah sebagai pintu menuju kebahaghiaan di dunia, karena nantinya punya keturunan, pewaris atau penyambut tongkat estafet, tetapi juga sebagai jalan menuju surga yang Allah sediakan bagi hamba-hambanya yang bertaqwa. Pandangan diatas adalah sebagai dorongan positif bagi wanita untuk bersedia hamil, hamil siapa takut ?
Berbicara masalah kehamilan memang sangat luas, ia berkaitan dengan hal-hal lain baik sebelum, maupun kondisi sedang hamil, baik masalah pasangan, makanan, fisik, mental dan lingkungan. Akan tetapi tumpuan harapan agar masa kehamilan sampai melahirkan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tak kalah pentingnya salah satu yang berhubungan dengan kehamilan yang perlu juga untuk diangkat adalah masalah pranatal education atau pendidikan anak dalam kandungan. Apa itu pranatal education ? Satu pertanyaan yang perlu untuk dijawab. Pendidikan anak dalam kandungan adalah usaha sadar seorang suami isteri untuk mendidik bayi dalam kandungan isterinya.
Islam adalah suatu ajaran yang sempurna, berbeda paham dengan teori dari Barat yang mengatakan bahwa batas pendidikan setelah anak ada dan sampai tercapainya kedewasaan. Tetapi ajaran Islam menganut suatu paham tentang pendidikan seumur hidup (long life education), bahkan lebih dari itu, yaitu pranatal educational. Apakah ada pendidikan dalam kandungan ? Ini pertanyaan jitu. Mari kita renungkan hadist Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam :
اُطْلُبُواْلعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّهْدِ
Artinya :  “Tuntutlah ilmu mulai sejak al-Mahdi hingga liang lahat” (Al-Hadist).
Kata Al-Mahdi dalam terjemahan Ulama Khalaf kini diartikan sebagai masa bayi dalam kandungan ibunya, masa kehamilan. Karena masa periode ini telah ditakini sekaligus dibuktikan dengan adanya fakta empiris dan Ilahiah terdapat suatu kondisi khas pada bayi pra lahir, yaitu adanya proses kemajuan instrumen jasmani dan rohani. Bahkan ditenkankan lagi agar kita menghindarkan bayi dalam kandungan dari mara bahaya yang bersifat fisik dan psikis. Dalam kaitan ini Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, bersabda :
اَلشَّقِيُّ مَنْ شَقَى فِى بَطْنِ اُمِّهِ (رواه مسلم عن ابن مسعد)
Artinya :  “Anak yang sengsara adalah anak yang telah mendapatkan kesensaraan semenjak ia dalam kandungan ibunya” (HR. Imam Muslim dan Imam Ibnu Mas’ud).
Kata Asy-Syaqiyyu adalah mengandung makna yang umum, yang artinya penyiksaan yang dilakukan sengaja untuk si bayi dalam rahim, tidak mendapatkan kehidupan yang layak, atau pembunuhan janin, melakukan penyiksaan kepada orang tua yang hamil yang berdampak pada bayi atau melakukan kesalahan dalam makanan atau minuman atau penerimaan udara yang dihidup oleh si ibu hamil dan atau lain-lainnya yang berakibat fatal kepada kelangsungan hidup dan kehidupan bayi dalam kandungan.
Menurut Ny. Aisyah Dahlan, bahwa pendidikan sebelum lahir itu (pranatal education) memang ada. Karena pendidikan yang dimaksud bukan pendidikan dalam arti sempit, tetapi dalam pengertian yang luas : Berupa pengadaan lingkungan yang baik, persiapan mental dan menghidupkan naluri keibuan serta kehidupan rumah tangga dan suami isteri yang bahagia dan rukun, yang memungkinkan manusia mempersiapkan diri menjadi ayah dan ibu yang bertanggung jawab dan melahirkan anak-anak yang sholeh sebagai benih muda subur dan sehat dicintai dan diharapkan kehadirannya (wanted children).
Menurut Freud seorang ahli ilmu jiwa dari Barat, mengatakan bahwa bayi pada umur 24 jam setelah kelahirannya sudah mampu belajar, bahkan sejak masa dalam kandungan, bayi telah responsif terhadap adanya rangsangan dari luar yang ibunya malah tidak menyadarinya.
Sekarang apa saja yang dilakukan pada fase dalam kandungan ini yang berorientasi pada pendidikan. Sebelum mengarah pembahasan kesana, alangkah baiknya terlebih dahulu dengan bahasan proses kehamilan yang disebabkan adanya persenggamaan atau bertemunya ovum dengan sperma dan pada gilirannya terjadilah nuthfah, alaqah dan mudghah. Di dalam ajaran Islam, sebelum melakukan senggama hendaklah kita berdoa dengan harapan agar saat bersenggama terhindar dari gangguan syaithon dari segi paedagogis orang berdoa ingin selalu dekat dengan Allah dan sebagai pengakuan bahwa dia tidak mampu membuat dan membentuk anak. Firman Allah dalam Al Qur’an surah Ali Imran ayat 6 :
Artinya :  “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana yang dikehendaki-Nya ….
Hal-hal yang perlu dilakukan pada bayi dalam kandungan sebagai manifestasi dalam pendidikan, menurut seorang ahli pendidikan Haji Mahmud, M.Si dalam artikelnya berjudul Pola Asuh pada Keluarga dalam Perspektif Islam, sebagai berikut :
  1. Membina hubungan yang harmonis dan meningkatkan kasih sayang antara suami isteri dalam rumah tangga.
  2. Menjaga kesehatan fisik dan mental bayi yang ada dalam kandungan.
  3. Mendoakan bayi yang ada dalam kandungan.
Sesuai dengan patokan diatas, apa yang harus dilakukan ketika bayi dalam kandungan, penulis mencoba untuk menguraikannya, sebagai berikut :
a.    Membina Rumah Tangga yang Harmonis
Selama bayi dalam kandungan, maupun setelah lahir, ciptakan suasana kerukunan dan kedamaian dalam artian yang lebih luas, yaitu pergauli isteri dengan baik. Disamping itu sewaktu isteri dalam keadaan ngidam, apa yang diinginkan isteri sedapat mungkin harus dikabulkan, amal keinginan dimaksud menyangkut masalah yang haram, khurafat dan berbau kemusyrikan.
b.    Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental Bayi dalam Kandungan
Secara langsung pemeliharaan fisik dan mental bayi dalam kandungan ini pemeliharaan kesehatan ibu sendiri. Secara tidak langsung adalah bayi dalam kandungan. Kesehatan bayi dalam kandungan Imam Al-Gazali adalah hak anak pra lahir. Pemikiran Imam Al-Gazali ini mengandung pengertian bahwa kesehatan itu merupakan prasyarat bagi pendidikan.
Disamping itu hak bayi dalam kandungan baik sejak awal pembuahan menjadi atau yang disebut nuthfah sampai ia berumur 120 hari dimana ruh ditiupkan, hak hidupnya harus dipelihara, kesehatan jiwanya harus dihormati oleh semua manusia. Tentang hak dan keselamatan jiwa ini Allah berfirman dalam surah Al-Isro ayat 33, sebagai berikut :
Artinya :  “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar” (QS. Al-Isro ayat 33).
Maksud ayat diatas, pembunuhan secara hak itu adalah qishash, membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya. Jadi tidak ada alasan bagi orang yang membunuh anaknya melalui pengguguran kandungan sekalipun anak dimaksud hasil perzinahan. Itulah hak bayi dalam kandungan disamping hak lainnya, yaitu :
1)        Ibu harus banyak makan makanan yang bergizi, menjaga kebersihan, kecantikan, kebugaran dan lebih mutlak lagi makanan bergizi itu baik dan halal, karena setiap tubuh yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih aula baginya.
2)        Ibu harus secara rutin memeriksakan kehamilannya, semakin dekat kelahiran, semakin sering pemeriksaan dilakukan. Tujuan dari pemeriksaan ini agar proses persalinan dapat berjalan lancar, anak lahir selamat dan ibunya tetap sehat sehingga dapat mengurangi angka kematian ibu dan anak.
3)        Bayi dalam kandungan punya hak untuk memiliki silsilah (nasab) keturunan yang jelas (pasti) dan sah dari orangtuanya.
c.    Mendo’akan Bayi dalam Kandungan
Ibu yang sedang hamil hendaklah selalu berdo’a agar Allah selalu memberikan perlindungan dan rahmat-Nya, sehingga mendapatkan kekuatan lahir dan batin dan janin yang dikandungnya akan lahir sempurna sehat jasmani dan rohani dan menjadi anak yang sholeh di kemudian hari.
Masalah do’a ini bisa saja dimanifestasikan melalui sholat malam (tahajjud), tilawatil Qur’an dan memperbanyak amal kebajikan lainnya. Hal ini dilakukan agar mempertebal iman dan bekal dalam menghadapi risiko melahirkan.
Mendidik anak dalam kandungan merupakan suatu pekerjaan besar yang membutuhkan motivasi yang kuat, pemikiran, ketelatenan dan pengorbanan serta kesungguhan yang nyata dari pihak pendidiknya yaitu orang tuanya. Karena mendidik anak dalam kandungan sungguh berbeda dengan mendidik anak yang sudah lahir atau sudah memasuki usia sekolah dasar formal, dimana metode dan langkah-langkah untuk mendidiknya sudah banyak diketahui dan berkembang serta dapat diaplikasikan dengan baik.
Metode pendidikan anak dalam kandungan telah lama dipraktikkan melalui pelaksanaan ritual-ritual ibadah, namun secara formal dan sistematis baru dikenal belakangan ini, tepatnya pada awal tahun delapan puluhan.
Mendidik anak dalam kandungan bukan berarti mendidik anak tersebut agar pandai terhadap apa yang diajarkan orang tuanya. Melainkan sekedar memberi stimulus yang diproses secara edukatif kepada bayi atau anak dalam kandungan melalui ibunya.
6.    Keluarga Berencana dan Aborsi
Keluarga Berencana dalam istilah asingnya disebut dengan planning family maksudnya adalah merencanakan keluarga setelah melangsungkan perkawinan, bahkan orang yang memperlambat untuk kawin pun bisa dikatakan ikut mensukseskan program keluarga berencana. Keluarga berencana dimaksud untuk mengatur jarak kelahiran, bukan membatasi kelahiran atau mematikan kelahiran sama sekali. Agama Islam membenarkan adanya program keluarga berencana ini sesuai dengan maksud yang tersebut di atas.
Untuk lebih jelasnya kami kutipkan Keputusan Musyawarah Naisonal Ulama Indonesia tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan pada 10 Muharram 1404 H s/d 13 Muharram 1404 H bertepatan dengan 17 Oktober 1983 s/d 20 Oktober 1983, khusus mengenai Keluarga Berencana, sebagai berikut :
  1. Keluarga Berencana adalah suatu ikhtiar atau usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum agama, Undang-Undang Negara dan Moral Pancasila, demi untuk mendapat kesejahteraan keluarga khususnya dan kesejahteraan bangsa pada umumnya.
  2. Ajaran Islam membenarkan pelaksanaan Keluarga Berencana untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, pendidikan anak agar menjadi anak yang sehat, cerdas dan sholih.
  3. Pelaksanaan program Keluarga Berencana termasuk pelaksanaan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) hendaknya didasarkan atas kesadaran dan sukarela dengan mempertimbangkan faktor agama dan adat istiadat serta ditempuh dengan cara yang bersifat insani.
  4. Pelaksanaan Keluarga Berencana hendaknya menggunakan cara kontrasepsi yang tidak dipaksakan, tidak bertentangan dengan hukum syari’at Islam dan disepakati oleh suami isteri.
  5. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) dalam pelaksanaannya dan pengontrolannya dilakukan oleh tenaga medis dan / atau paramedis wanita, atau jika terpaksa dapat dilakukan oleh tenaga medis pria dengan didampingi oleh suami atau wanita lain.
  6. Melakukan vasektomi (usaha mengikat / memotong saluran benih pria (vas deferena), sehingga pria itu tidak menghamilkan) dan tubektomi (usaha mengikat atau memotong kedua saluran telur, sehingga wanita itu pada umumnya tidak dapat hamil lagi) bertentangan dengan Islam (haram) kecuali dalam keadaan darurat (sangat terpaksa) seperti menghindarkan penurunan penyakit dari ibu / bapak terhadap anak keturunannya yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan lagi.
  7. Untuk memantapkan program Keluarga Berencana, khususnya penggunaan alat kontrasepsi, hendaknya pada setiap klinik Keluarga Berencana dilengkapi tenaga yang memahami ajaran Islam.
  8. Menganjurkan kepada pemerintah untuk melarang pelaksanaan vasektomi dan abortus bagi ummat Islam, serta meningkatkan pengawasan terhadap penyalahgunaan alat-alat kontrasepsi yang ada kemungkinan dipergunakan untuk perbuatan maksiat.
  9. Pengguguran kandungan (abortus) termasuk MR (menstrual regulation) dengan cara apapun dilarang oleh jiwa dan semangat ajaran Islam (haram) ataupun di kala janin belum bernyawa (belum berumur 4 bulan) dalam kandungan, karena perbuatan itu merupakan pembunuhan terselubung yang dilarang oleh syari’at Islam, kecuali untuk menyelamatkan jiwa si ibu (pembahasan lebih lanjut bisa dibaca tentang aborsi).
  10. Menganjurkan kepada ummat Islam untuk meningkatkan pembentukan keluarga yang sejahtera dan bahagia, penuh sakinah, mawaddah dan rahmah agar tercapai keberhasilan pendidikan dan pembinaan anak yang sehat, cerdas, terampil dan sholih.
Adanya keputusan MUI di atas merupakan pegangan dan panduan bagi ummat Islam, ini sebagai salah stau bukti kepeloporan para Ulama telah menghantarkan program KB sehingga dapat diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Barangkali kita masih ingat, ketika KB mulai dicanangkan menjadi program nasional pro-kontra dan polemik masih merebak. Karena program pengaturan kelahiran ini bersinggungan dengan budaya dan juga dipandang oleh sebagian masyarakat berseberangan dengan pandangan agama.
Sungguh beruntung para ulama tampil ke permukaan. Tokoh agama dari berbagai organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dan lainnya bahu membahu memberikan penerangan tentang pengaturan kelahiran untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.
Peran ulama dan tokoh agama ini dalam mendukung program KB telah diwujudkan melalui beberapa keputusan penting diantaranya Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968, Syuriah Nahdhatul Ulama tahun 1969 dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1983.
Keputusan-keputusan tersebut merupakan payung hukum Islma terhadap penyelenggaraan KB di Indonesia. Nampaknya sangat sulit mendorong masyarakat untuk menjadi peserta KB tanpa didukung dan restu ulama.
Kini sampailah uraian kita tentang aborsi, sebagai penutup dari berbagai catatan sederhana tentang Islam dan Kesehatan. Jika menilik secara historis ada pendapat yang mengatakan bahwa aborsi / pengguguran kandungan adalah masalah kontroversial sejak zaman dahulu. Ia telah dikenal sejak awal sejarah manusia. Hipocrates, bapak kedokteran dunia yang hidup ribuan tahun yang silam menyarankan agar wanita tak ingin hamil lagi, harus lari kencang selama mungkin setelah melakukan hubungan badan dengan suaminya. Lebih dari 5000 tahun yang lalu di negeri Cina para wanita dianjurkan minum air raksa untuk menggugurkan kandungan. Di negeri kita Indonesia, ada relief pada candi Borobudur yang menggambarkan cara seorang dukun menggugurkan kandungan dengan memijat perut pasiennya. Secara logika berarti sejak dahulu tahun 850 M (abad ke-9) orang dahulu telah mengenal masalah praktik pengguguran kandungan.
Aborsi berasal dari bahasa Latin “Abortus” yang artinya gugur kandungan atau keguguran. Dalam Kamus Bahasa Arab disebut dengan Isqhotul Janin atau Isqotul Hamli yang artinya pengguguran bayi dalam kandungan.
Adapun menurut para pakar, pengertian aborsi sebagai berikut :
  1. Menurut Sadikin Ginaputra (Fak. Kedokteran UI) aborsi adalah pengakhiran kehamilan.
  2. Menurut Maryono Reksodiputra (Fak. Hukum UI) aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).
  3. Menurut Nan Soendo, SH., aborsi adalah pengeluaran buah kehamilan pada waktu janin sedemikian kecilnya, sehingga tidak dapat hidup.
  4. Menurut Prof. Dr. Abu Hanifah, memberikan arti tentang keguguran dengan istilah melahirkan anak sebelum temponya sudah datang. Jadi sebelum perempuan cukup mengandung sembilan bulan.
  5. Menurut Prof. Dr. Hj. Chuzaimah Tahido Yanggo, MA (Guru Besar UIN Jakarta) mengambil kesimpulan setelah menganalisa beberapa dari pengertian tentang aborsi oleh beberapa pakar, beliau memberikan pengertian, aborsi adalah pengguguran kandungan sebelum lahir secara alamiah berapapun umurnya dengan maksud merusak kandungan tersebut.
Perihal macam-macam aborsi, ia terbagi menjadi 2 (dua) macam sebagai berikut :
  1. Abortus spontan (spontanneus abortus), yaitu abortus yang tidak disengaja. Abortus spontan bisa terjadi karena disebabkan penyakit syphilis umpamanya atau kecelakaan dan lain sebagainya. Aborsi spontan oleh Ulama disebut dengan istilah “Al-isqoth al-afwu”, artinya aborsi yang dimaafkan, karena keguguran yang seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum.
  2. Abortus provocatus, abortus ini pun terbagi lagi menjadi 2 (dua) sebagai berikut :
1)        Abortus artificialis thearaficus, adalah aborsi yang dilakukan oleh seorang dokter atas dasar indikasi medis, dengan tindakan mengeluarkan janin sebelum lahir secara alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam apabila kelangsungan kehamilan dipertahankan menurut pemeriksaan medis. Aborsi ini menurut kalangan Ulama disebut dengan “Al-isqoth ad-darury” atau “Al-isqoth al-’ilajiy” yang berarti aborsi darurat bisa juga disebut aborsi pengobatan.
2)        Abortus provocatus criminalis, yaitu pengguguran yang dilakukan tanpa indikasi medis dengan tindakan mengeluarkan janin untuk meniadakan atau menghilangkan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki dengan dalih sosial, ekonomi dan sebagainya.
Pendapat Ulama Islam tentang aborsi, sebagai berikut :
  1. Aborsi kategori spontan atau aborsi tidak sengaja, karena penyakit atau kecelakaan adalah aborsi yang dimaafkan atau tidak berakibat hukum.
  2. Aborsi yang disengaja (abortus provokatus), sebagai berikut :
1)        Abortus artificialis theraficus, yakni abortus yang dilakukan dengan indikasi medis. Artinya berdasarkan analisa dokter ahli, amanah dan terpercaya, bahwa ibu yang mengandung ini mempunyai risiko besar yang bisa mengancam keselamatan diri dan nyawanya, maka janin / bayi dalam kandungan dikorbankan demi keselamatan ibu. Abortus semacam ini dibolehkan bahkan ada yang mengatakan wajib.
2)        Apabila abortus dilakukan setelah ruh ditiupkan (umur 120 hari) abortus semacam ini sepakat ulama mengatakan haram. Ini termasuk pembunuhan dan tindak kriminal (abortus provocatus kriminalis). Orang Islam tidak halal melakukan pembunuhan tanpa hak.
3)        Apabila aborsi dilakukan sebelum ruh ditiupkan, hal ini ada beberapa pendapat (Ulama berbeda pendapat), sebagai berikut :
a)         Ada yang membolehkan melakukan pengguguran kandungan (aborsi) sebelum janin berumur 120 hari atau sebelum ruh ditiupkan, dengan alasan bahwa janin sebelum berumur 120 hari belum ada ruh, sedang manusia terdiri dari jasad dan tuh. Kalau yang bukan manusia tidak boleh digugurkan / dihilangkan, mestinya sperma (mani) yang mau masuk ke dalam rahim pun tidak boleh dibuang karena di dalamnya ada bibit hidup yang akan menjadi janin. Padahal mengeluarkan sperma dalam arti tidak dimasukkan ke dalam rahim di dalam agama dibenarkan dengan istilah Azl (coitus interuptus). Janin sebelum berumur 121 hari masih merupakan daging. Jadi jika terjadi aborsi / pengguguran kandungan, berarti menggugurkan daging, bukan menggugurkan manusia.
b)        Ada pendapat yang mengatakan aborsi (pengguguran kandungan) sebelum ditiupkan ruh, hukumnya juga haram, karena :
(1)     Berdasarkan penelitian ilmiah dalam ilmu anatomi dan embriologi lewat alat-alat penemuan modern mengungkapkan bahwa kehidupan dimulai ketika terjadinya pembuahan (ketika sperma membuahi sel telur wanita). Ungkapan inilah yang menjadikan ulama memandang hukum yang sama (haram) melakukan aborsi baik sebelum atau sesudah ditiupkannya ruh.
(2)     Menyangkut masalah hak asasi, artinya merampas hak hidup janin. Artinya eksistensi janin yang berkembang harus dihormati dan dilindungi.
(3)     Kita harus menghidupkan education of law (pendidikan hukum). Sebab nanti dikhawatirkan orang (oknum) main-main saja dengan aborsi, apalahi jika kehamilan itu terjadi dari perbuatan yang melawan hukum.
c)         Berpijak kepada beberapa pendapat tentang hukum aborsi diatas, bahkan ada perbedaan pendapat, maka untuk kehati-hatian seorang ulama besar dari Saudi Arabia Syaikh Utsaimin mengambil keputusan bahwa aborsi baik sebelum atau sesudah ruh ditiupkan hukumnya adalah haram.
Disamping pandangan hukum Islam diatas tentang aborsi, perundang-undangan hukum positif di Indonesia juga memberikan sanksi hukum terhadap pelaku maupun yang membantu terjadinya abortus, sebagai tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya :
-       Pasal 346 : “Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun”.
-       Pasal 348 ayat 1 : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan ijin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan”.
-       Pasal 348 ayat 2 : “Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun”.
Demikian uraian sederhana tentang Islam dan Kesehatan ini kami tutup dengan satu natijah bahwa sejak awal Islam telah berbicara tentang kesehatan. Bahkan penganjur / pembawa risalah Islam, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai manusia tersehat di dunia sejak zaman prasejarah, zaman sejarah dan sampai akhir zaman. Ini terbukti dalam riwayat bahwa selama 63 tahun usia beliau hanya dua kali saja pernah sakit.
Jadi manusia tersehat di dunia adalah Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam. Ini berarti sumbangsih besar dari Rasul dalam bidang kesehatan yang harus diteladani oleh ummat manusia. Memang jika berbicara masalah kesehatan, sumbangsih Islam tidak bisa dimungkiri, banyak tokoh-tokoh cendekiawan muslim yang terkenal dan diakui dunia, seperti :
  1. Sulaiman bin Hasan Al-Andalusi, wafat 377 H, bukunya yang terkenal Thobaqootul Athiba Wal Hukuma.
  2. Ibnu Baithar yang lahir pada abad ke 12 di Andalusia dengan bukunya : Himpunan Istilah Obat dan Makanan dan Mufradat Ibnu Baithar.
  3. Ibnu Abi Usaibaiyah yang lahir di Damaskus tahun 1194 dengan bukunya Uyunnul anba Fi Thabaqatil Athiba (Informasi Tingkatan Dokter).
  4. Zeber (Geber) dari Kuba adalah bapak Kimia Modern.
  5. Al-Kindi dari Basrah adalah Farmakolog (ahli obat-obatan).
  6. Ar-Eazie (Rhazaes) dari Persia ahli bedah legendaris.
  7. Ibnu Sina dari Bukhari adalah dokter legendaris.
  8. Ibnu Abul Qasim Al-Zahrawi (936 – 1013) atau Abulcasis adalah satu dari beberapa ahli bedah muslim yang berpengaruh di Eropa, di era pasca Perang Salib. Bukunya yang terkenal Al-Tasrif Liman ‘Ajiza ‘an Al-Ta’lif, merupakan buku ajar di Salerno Sekolah Tinggi Kedokteran pertama di Eropa.
Nama-nama diatas adalah nama-nama tokoh muslim yang berjasa dan ahli di bidang kesehatan, sebelum bangsa Eropa atau Barat menjadi orang andalan dunia, baik secara teoritis, praktis dan teknologi di bidang kesehatan.
Dimana ada manusia, pasti ada penyakit. Dimana ada penyakit pasti ada kebutuhan akan tenaga medis (dokter, paramedis dan bidan). Ini berarti para ahli medis berpeluang untuk operasional atau bekerja. Bekerja disini tentu ada aturan / etika atau akhlak dalam bidang kesehatan.
Sebelum kita melangkah kepada uraian dimaksud, dirasa perlu diuraikan tentang manajemen kerja secara umum. Manajemen kerja secara umum itu ada 5 (lima), yaitu : 1) Berdo’a, 2) Bekerja bersungguh-sungguh, 3) Siap belajar dengan ilmu dan pengalaman orang lain, 4) Siap berkorban, 5) Berserah diri (bertawakal) kepada Allah.
Apabila ke 5 (lima) hal tersebut dalam manajemen kerja dapat dilaksanakan, para pekerja apapun statusnya akan mendapat kepuasan kerja bagi dirinya dan bagi orang lain. Jika diuraikan jabarannya adalah, sebagai berikut :
1.    Berdo’a
Sebagai seorang muslim / ummat beragama yang menyandang status sosial apapun dalam kerja. Seyogianya jangan meninggalkan / melupakan berdo’a dalam memulai pekerjaan. Karena do’a adalah ruhnya ibadah dan do’a sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Karena kita sebagai manusia, makhluk yang dhoif, kesuksesan kerja adalah atas idzin, rahmat dan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Jika Allah menolong pekerjaan berat jadi ringan. Oleh karenanya do’a harus selalu dipanjatkan.
2.    Bekerja Bersungguh-sungguh
Peribahasa Arab mengatakan “Man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh niscaya akan tercapai. Artinya kerja penuh semangat, penuh ke hati-hatian, sesuai dengan panduan teoritis yang pernah dipelajari.
3.    Siap Belajar dengan Ilmu dan Pengalaman Orang Lain
Sebagai manusia, ilmuwan janganlah kita membanggakan diri dengan apa yang dimiliki apakah ilmu dan keterampilan / pengalaman. Manusia punya kelebihan disamping punya kekurangan. Untuk mengatasi kekurangan yang ada pada diri, kitapun harus mau belajar dengan orang lain sebagai solusi.
4.    Siap Berkorban
Secara sosiologi, manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang hidup bermasyarakat, saling tolong menolong satu sama lain. Ada kalanya menolong dan ada kalanya nanti kita minta tolong. Oleh karena itu profesi apa yang kita sandang, hendaklah bertekad siap berkorban tenaga, pikiran dan materi. Tanpa pengorbanan tidak mungkin kerja akan sukses sebagaimana diharapkan.
5.    Berserah Diri (Bertawakal kepada Allah)
Manusia diberi fikiran dan tenaga serta penunjang lainnya. Bekerjalah, tetapi hasil kerja, memuaskan, berhasil atau tidak. Sebagai manusia beragama serahkan saja kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai tawakkal yang benar.
Berpijak kepada manajemen kerja diatas adalah merupakan muqaddimah dari akhlak / etika dalam bekerja, termasuk pekerja yang bekerja sebagai pelayan kesehatan, apakah ia dokter, paramedis, bidan dan lainnya. Berbicara masalah akhlak dalam kesehatan, apakah ia disebut dengan istilah etika / kode etik. Disini kami kutipkan sepenuhnya uraian dari Ustadz Hussein Bahreisi dalam bukunya Kamus Lengkap Pengetahuan Islam Populer (2003 : 246 – 247) :
Karena itulah setiap dokter Islam tetap kembali kepada kode etik kedokteran Islam yaiutu berlandaskan Qur’an dan Hadist dan kedua pedoman itu telah diakui sepenuhnya oleh segenap kaum muslimin. Sedangkan mengikuti kode etik dan ajaran Islam secara konsekwen adalah akan membawa kepada beberapa kebaikan yang banyak. Kode etik kedokteran Islam diantaranya adalah :
  1. Dokter, Tabib, perawat dan dukun yang beragama Islam harus bersifat peri kemanusiaan serta penyayang kepada semua pasien yang sedang dihadapinya. Nabi bersabda yang artinya : Tidaklah kamu beriman kecuali dengan saling berkasih sayang dengan sesamamu (HR. Thabrani).
  2. Bertutur kata yang baik, dilarang bermasam muka dalam menghadapi setiap pasien. Nabi bersabda : Perkataan yang baik seperti bersedekah (HR. Tirmidzi).
  3. Memejamkan mata atau menundukkan pandangannya terhadap pasien yang berlainan jenis agar tetap berwibawa dirinya kecuali dalam keadaan darurat. Allah berfirman, yang artinya : Katakanlah pad alaki-laki yang beriman hendaklah mereka merendahkan pandangannya dan menjaga kelamin mereka, hal itu lebih menyucikan diri mereka (QS. An-Nur : 30)/
  4. Menyembunyikan rahasia pasien dan tidak menyebarluaskan rahasia penyakit yang sedang diderita olehnya. Nabi bersabda : Barang siapa menutupi rahasia seorang Islam maka Allah akan menutupi rahasianya di dunia dan akhirat (HR. Muslim).
  5. Dokter tidak boleh berduaan dengan pasien yang sedang dirawatnya jika keduanya berlainan jenis kecuali bersama dengan muhrimnya. Nabi bersabda, yang artinya : Tidak Berdua-duaan laki-laki dengan wanita kecuali bersama muhrimnya (HR. Bukhari). Pengertian muhrimnya ayah atau saudara laki-laki dari pasien wanita itu atau suaminya.
  6. Setiap dokter / tabib yang akan memeriksa pasien disunnatkan untuk membaca Bismillah atau menyebut nama Allah, Nabi bersabda yang artinya : “Semua amalan penting yang tidak didahului dengan pujian pada Allah, maka amalan itu akan terputus (dari rahmat Allah)” (HR. Abu Daud).
  7. Dilarang memberikan pengobatan yang haram atau mengandung syirik (menyekutukan Allah dengan sesuatu) Nabi bersabda yang artinya : “Allah tidak akan menjadikan kesembuhan padamu terhadap apa yang diharamkan bagimu” (HR. Bukhari).
  8. Dokter tidak boleh merahasiakan ilmu yang kemungkinan bermanfaat bagi pasien. Nabi bersabda, yang artinya : “Barang siapa yang menyembunyikan suatu ilmu dari ahlinya maka akan terkekanglah mulutnya pada hari kiamat dengan kekang (kendali) api neraka” (HR. Sayuti).
Kode etik kedokteran Islam telah tersimpul yang lainnya dalam ayat-ayat Al Qur’an dan beberapa hadist Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Kode etik kedokteran Islam telah mengangkat para dokter muslim untuk melebihi para dokter lainnya, karena kedudukannya yang lebih dekat hubungannya pada Allah karena taqwanya semata. Demikian juga jabatan atau dinas yang diperoleh dilaksanakan dengan penuh keikhlasan karena Allah akan mendapat ganjaran yang besar dan manfaat bagi masyarakat.
Sebagaimana diketahui masalah peralatan kesehatan zaman dahulu jelas berbeda dengan zaman sekarang, karena kemajuan teknologi. Teknologi adalah termasuk kebudayaan / duniawi. Ajaran Islam tidak melarangnya. Silahkan saja menggunakan teknologi modern, selama dalam penggunaannya tidak melanggar rambu-rambu syari’at.
E.   KEADILAN, KEPEMIMPINAN DAN KERUKUNAN
Ketiga istilah diatas berkaitan satu sama lain, ia bisa berhubungan dengan politik, kemasyarakatan dan agama. Dalam hal ini, sesuai dengan pembidangan, peninjauan bahasan tentu banyak berorientasi pada agama.
1.    Masalah Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, dalam istilah / ta’rif bahasa Arab, “Wadh’u syai’in fi mahalliha“. Artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Artinya keadilan adalah suatu sikap dan tindakan proporsional. Keadilan suatu nilai yang selalu didambakan dan sekaligus diperjuangkan kehadirannya. Keadilan harus dijabarkan dalam semua keadaan. Sebab keadilan adalah kebajikan utama ummat manusia yang keberadaannya mutlak diperlukan sepanjang sejarah.
Agama Islam adalah agama yang menegakkan keadilan, keadilan yang tidak pandang bulu, siapa yang bersalah dihukum, yang berjasa diberi imbalan, tangan mencencang, bahu memikul, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan dan seterusnya.
Masalah keadilan ini Allah berfirman dalam Al Qur’an ayat 8 surah Al-Maidah :
Artinya :  “Wahai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu menjadi pembela bagi Allah, menjadi saksi dengan keadilan, janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menyebabkan kamu menyimpang dari keadilan, berlaku adillah kamu, itulah lebih dekat kepada taqwa, dan takutlah kamu kepada Allah, bahwasanya Allah membalasi apa-apa yang kamu perbuat“.
Dan di dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam : “Al-adlu hasanun walakin fil umaraa’i ahsanu, as-sakhoo’u hasanun walakin fil ghinaa’i ahsanu, al-wara’u hasanun walakin fil ‘ulamaa’i ahsanu, ash-shobru hasanun walakin fil fuqoroo’i ahsanu, at-taubatu hasanun walakin fis syababi ahsanu, al-hayaa’u hasanun walakin fin-nisaa’i ahsanu“.
Artinya : “Keadilan itu baik, tetapi lebih lagi pada para pemimpin. Kedermawanan itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada orang-orang kaya, wara’ itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para ulama, shabar itu baik, tetapi ia lebih lagi pada orang-orang faqir. Taubat itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para pemuda, malu itu baik, tetapi lebih baik lagi pada para perempuan” (HR. Dailami).
Sesuai petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits diatas, maka keadilan hendaklah ditegakkan. Rasa keadilan adalah situasi naluriyah yang tumbuh pada diri manusia. Perjuangan menegakkan keadilan berakar pada fitrah manusia dan karenanya menjadi kepedulian setiap orang. Dari itu pula dapat dikatakan semua orbit perjuangan manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Konsekuensinya situasi kemanusiaan tidak boleh berpihak kepada ketidakadilan. Hukuman yang keras akan ditimpakan kepada manusia yang berpihak kepada orang-orang yang dzalim.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Qur’an surah Hud      ayat 113 :
Artinya :  “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan“.
Lawan daripada keadilan adalah kezaliman. Islam memandang kedzaliman sebagai kemungkaran yang akan menghancurkan tata kehidupan. Jagat politik akan terus menerus diwarnai kesewenangan, kediktatoran dan penindasan yang diidentikkan dengan kerusakan. Kehidupan sosial diwarnai kerusakan, kekejaman dan krisis sosial.
Kita tidak boleh terjebak ke dalam bentuk tindakan kezaliman, bahkan setiap individu harus terlibat dalam merespon seruan untuk melawan kezaliman, apapun bentuknya. Legalitas perlawanan terhadap kezaliman tersebut begitu jelas dan pasti sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Afdholul jihaadi kalimatu adlin (wa fi riwayatin kalimatu haq) ‘imda sulthoonin jaairin“.
Artinya : “Seutama-utama jihad adalah mengatakan yang haq kepada penguasa yang zalim” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Said Al-Khudri Radhiallahu anhu).
Tegaknya keadilan bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang tetapi melainkan untuk lintas generasi. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung keadilan, setiap manusia dapat terbebas dari segala bentuk tirani dan akan membuahkan kesejahteraan sejati.
Di sinilah letak kepentingan membangun institusi-institusi yang adil. Secara teoritis pembangunan institusi yang adil harus dimulai dengan komitmen penerapan keadilan prosedural sebagai hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dalam bentuk aturan, hukum atau undang-undang.
Selain itu Islam memandang keadilan tidak hanya sebagai hak melainkan juga kewajiban untuk saling menopang antar individu dan sekaligus menjadi tonggak utama bangunan masyarakat, apapun agama. Keadilan menjadi tulang punggung kehidupan sosial politik. Atas dasar itu Islam memberi bekal bagi setiap individu berupa perangkat kaidah yang tidak hanya mengarahkan perilaku, yang menentukan hubungan manusia dan dapat menjamin dihormatinya HAM atas dasar keadilan, tetapi juga perangkat keadilan prosedural yang mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin perilaku manusia dari ketidakadilan. Sebab keadilan tidak hanya diserahkan kepada individu, melainkan juga dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik. Dengan demikian keadilan distributif, komutatif dan keadilan sosial akan terwujud.
Konsep keadilan dalam Islam dipandang lebih tinggi dan luas cakupannya daripada ide-ide dan konsep-konsep buatan manusia. Dalam Al Qur’an cakupan penggunaan kata “adl” berlaku bagi segala bentuk hubungan manusia : antar penguasa dengan rakyat, antar golongan, antar bangsa, antar orang-orang bersengketa, antara orang-orang yang melakukan perjanjian, di bidang muamalah, antara seseorang dengan kerabatnya, antara suami dengan isteri-isterinya, antara orang tua dengan anak-anaknya, dan lain sebagainya.
2.    Masalah Kepemimpinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka “Kepemimpinan” artinya, perihal pemimpin; cara memimpin. Dalam bahasa Inggris pemimpin itu disebut leader, kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership. Ada lagi istilah kepemimpinan secara spiritual dan empiris. Pengertiannya, spiritual adalah kepemimpinan yang mampu mentaati pemerintah dan larangan Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan. Secara empiris kegiatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (H. Nawawi Hadari, 2001 : 17 & 27).
Berdasarkan Al Qur’an As Sunnah sebagai rujukan utama ummat Islam telah menampilkan 5 (lima) terminologi tentang kepemimpinan, yaitu :
  1. Al-Imam (QS, 25 : 74), bentuk jamaknya adalah al-aimmah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari Muslim. Imam artinya pemimpin yang berada di depan (amaam). Istilah ini disamping populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik dan intelektual, ia juga dipakai untuk kepemimpinan dalam sholat berjama’ah.
  2. Al-Khalifah, bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan dan siap diganti oleh pelanjutnya (QS, 2 : 30). Karena para Khulafaur Rasyidin selain menggantikan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, mereka juga melanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Dari terminologi diatas, seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktivitas bijak termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinannya ke generasi berikutnya.
  3. Al-Malik, artinya raja. Hanya saja Al Qur’an mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan sepenuhnya milik Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada manusia hanyalah bersifat nisbi, yang semestinya digunakan untuk merealisir kemaslahatan kehidupan. Diantara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya, dengan sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia lah Raja dari para Raja. Oleh karenanya para raja di dunia ini haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan kezaliman bagi kemanusiaan. Hal ini jelas diungkap dalam QS. 3 : 26.
  4. Al-Amir artinya adalah seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf’ul (ojek) sehingga bermakna pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat, ketika perintahnya itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui koreksinya.
  5. Ar-Ra’i artinya adalah pemimpin yang senantiasa memberikan perhatian kepada ra’iyah (rakyat) (HR. Bukhari Muslim). Dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sering mengingatkan bahwa peran kepemimpinan yang selalu peduli kepada rakyatnya itu adalah di seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan langsung korelasi positif timbal balik antara’i dan ra’iyahnya. Keakraban semacam inilah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati, kepedulian dan kedekatan dengan rakyat. Oleh karenanya sang pemimpin tidak akan berlaku zalim, aniaya dan semena-mena dalam kebijakannya kepada rakyat (Dr. HM. Hidayat Nur Wahid, tt : 166).
Jika berbicara tentang kepemimpinan secara mendalam, memang banyak ragam yang harus diurai, tetapi dalam hal ini kita hanya membatasi pada macamnya pemimpin, potensi kepemimpinan, budaya menjadi pemimpin dan kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
a.    Macamnya Pemimpin
1)    Pemimpin Formal
Pemimpin formal ini adalah orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan, teratur dalam suatu organisasi pemerintahan secara hiarki, tergambar dalam suatu gambar bagan yang tergantung di kantor-kantor kepemimpinan ini lazimnya tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa orang yang diangkat menjadi pemimin formal tersebut akan dapat diterima juga oleh anggota organisasinya sebagai pimpinan yang sesungguhnya. Hal ini masih diuji dalam praktek.
2)    Pemimpin Non Formal
Kepemimpinan ini adalah seperti dalam organisasi non pemerintah tetapi juga punya hiarki. Pengangkatannya tergantung pada musyawarah misalnya HIPMI, IWAPI dan lain sebagainya.
3)    Pimpinan Informal
Kepemimpinan ini tidak mempunyai dasar pengangkatan resmi, tidak jelas tergambar dalam hiarki. Pemimpin informal ini (informal leader) adalah seorang individu (pria atau wanita) yang walaupun tidak mendapat pengangkatan secara yuridis formal sebagai pemimpin, memiliki sejumlah kualitas (objektif dan subjektif), yang memungkinkan mencapai kedudukan sebagai orang yang dapat mempengaruhi kelakuan serta tindakan sesuatu kelompok masyarakat baik dalam arti positif maupun negatif.
Dalam kalangan Islam kepemimpinan informal mendapat tempat tersendiri di hati ummat, misalnya dengan banyaknya ulama, ustadz, dan lainnya (Dra. Hj. Mahmudah, 2003 : 19).
b.    Potensi Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam Islam adalah tanggung jawab dan pelayanan yang utuh untuk dinullah. Keberhasilan dakwah banyak bergantung banyak tumbuhnya shaf pendukung yang memiliki kejelasan dan tanggung jawab pembagian tugas dan sistem perekrutan yang baik (organisasi yang teratur), karena hal ini sangat menentukan tercapainya tujuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Saidina Ali Karramallahu wajhah : “Al-Haqqu billa nidzom sayaglibuhul bathilu binnidzom“. Artinya : “Kebenaran yang tidak terorganisir secara rapi dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir dengan rapi“.
Dari sini semua membutuhkan pemimpin yang adil, berilmu dan terampil dan menguasai permasalahan, sebagaimana Nabi Yusuf Alaihissalam, tersebut dalam Al Qur’an surah Yusuf ayat 55 :
Artinya :  Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan“.
Menurut  H. Agus Hidayat Nur dalam bukunya “Urgensi Tarbiyah dalam Harokah Islamiyah”, halaman 41, ada beberapa ciri yang menunjukkan kemampuan memimpin seseorang :
1)        Mampu untuk mengikat dengan pemikiran dan kepribadiannya.
2)        Kerja yang terus menerus dan berlanjut serta sabar dan tidak mudah putus asa.
3)        Lembut bukan karena lemah dan kuat bukan karena nekat / kalap serta tidak ceroboh dan mampu berbicara sesuai dengan kebutuhan.
4)        Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi saudaranya dan selalu memperhatikan saudaranya.
5)        Mampu mengarahkan seorang menjadi dinamis dan rukun.
6)        Mendidik, mengarahkan dan menjaga kader-kadernya dari kebinasaan.
7)        Pandai membagi waktu, waspada, cerdik (cepat dan tepat merespon setiap kejadian) serta memiliki bashirah (mata hati) dengan segala potensinya inilah seorang pemimpin dengan idzin Allah mampu membawa organisasinya melangkah benar.
Uraian diatas dapat ditarik natijahnya sebagai gambaran calon dan pemimpin yang ahli atau pemimpin yang berbudaya. Karena apa, ada juga istilah banyak orang tidak berbudaya menjadi pemimpin. Dimaksud budaya disini ialah perbuatan manusia yang didasarkan pada akhlak mulia dan ilmu pengetahuan. Bila manusia dalam berbuat dan bertindak meninggalkan akhlak dan ilmu pengetahuan, hanya karena dorongan  nafsu semata, dia dikatakan tidak lagi berbudaya. Hadist Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Abdullah ibn Abbas, ujarnya : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Kalau engkau telah menyaksikan budak perempuan melahirkan anak majikannya dan orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin masyarakat, itu pertanda datangnya kiamat” (HR. Ahmad). Pada akhir riwayat Ahmad menambahkan : (Ibnu Abbas) bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang gunung yang berkaki telanjang itu ?” Sabdanya : “Orang Arab (Badui)”.
Dalam hadist tersebut Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa kelak akan terjadi budak akan melahirkan anak majikannya dan muncul orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin ummatnya atau bangsanya. Munculnya orang gunung berkaki telanjang memimpin ummat atau bangsanya pertanda munculnya zaman edan. Orang gunung berkaki telanjang adalah orang Arab (Badui), sikap orang Badui antara seperti : keras kepala (penantang), tidak teguh pendirian, suka tergesa-gesa dan tidak memperdulikan akhlak.
Istilah orang Badui bisa bermakna hakiki, bisa juga bermakna simbolik, yaitu orang yang tidak berbudaya, tidak berakhlak dan tidak berilmu pengetahuan.
Hakikat pemimpin tidak berbudaya yang diantaranya lahir dari orang-orang gunung berkaki telanjang dan oleh Rasul Allah disebut sebagai orang Badui, adalah para pemimpin yang tidak mampu menjalankan roda pemerintahan benar dan hanya main coba-coba.
Munculnya pemimpin yang berkepribadian Badui menjadikan masyarakat bingung, karena apa saja yang dilakukan pemimpinnya tidak dapat memberikan ketentraman dan ketenangan. Masyarakat menjadi korban ketidakbijaksanaan mereka sehingga kehidupan mereka menjadi kacay, menderita kelaparan, kekacauan, kesengsaraan. Sikapnya menjadikan masyarakat tidak lagi mempercayai.
Jika dihubungkan dengan fenomena, banyak orang yang mencari jabatan ingin jadi pemimpin. Untuk bermimpi dalam jabatan tidak ada larangan tetapi alangkah baiknya, membaca lebih dahulu syarat-syarat dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
1)    Pertama, jangan ambisius untuk meraih jabatan / pimpinan, apalahi dengan kepentingan nafsu (dendam), baik pribadi ataupun golongan. Sebab perilaku demikian akan menghilangkan jaminan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah memberikan pandangan : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, sebab jika engkau diberi jabatan karena meminta, maka engkau akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan jika engkau diberi jabatan itu bukan karena meminta, maka engkau akan dibantu (Allah) untuk menunaikannya” (HR. Bukhari).
Memang motivasi nafsu pribadi dari calon pejabat / pimpinan, tidak ia sampaikan terus terang, sebab hal itu berarti fatal. Tetapi Rasul Allah punya alat deteksi dari pelaku calon yang datang kesana kemari mencari dukungan, mencari rekomendasi ke berbagai pihak agar terpilih. Beliau bersabda : “Barangsiapa mencari kekuasaan dan dia meminta rekomendasi / dukungan dari berbagai pihak, maka ia akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan bila ia dipaksa untuk memegang jabatan itu, maka Allah akan turunkan malaikat untuk membimbingnya” (HR. Al-Bazzar).
Oleh karena itu sebagai ummat Islam tidaklah sepatutnya menyerahkan amanah atau pilihannya kepada calon pejabat semacam ini. Memang belum disepakati haram, tetapi moralitas yang tinggi pasti menghadang untuk memilih dengan profil demikian.
2)    Kedua, capable (mampu). Dalam kondisi dimana seorang muslim melihat dirinya secara objektif mempunyai potensi untuk menjabat, maka boleh mengajukan diri dengan syarat betul-betul bebas dari nafsu dan demi menegakkan keadilan. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf Alaihissalam dengan mengajukan diri kepada Raja Rayyan Ibn Al-Walid untuk menjadi bendahara negara, hingga dapat mendistribusikan kekayaan negara dengan adil.
Untuk membatasi uraian tentang kepemimpinan ini, dirasa perlu juga menguraikan tentang kepemimpinan Rasulullah secara kilas, semoga bisa menjadi contoh, karena memang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai ikutan atau contoh yang paling baik. Kenyataan yang pertama dalam kepribadian Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sebagai manusia yang kepemimpinannya patut diteladani adalah ketangguhan beliau untuk menjadi pribadi yang tidak dipengaruhi oleh keadaan masyarakat di sekitarnya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, lahir, besar dan dewasa di tengah-tengah masyarakat Arab jahilliyah, masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia berakhlak buruk. Tetapi kenyataannya menunjukkan sebaliknya bahwa beliau manusia istimewa dengan kepribadian yang tidak larut dan tidak pula hanyut di dalam arus yang buruk itu. Beliau telah mendapat gelar Al-Amin, orang yang jujur dan terpercaya. Kepribadian seperti itu merupakan dasar atau landasan yang kokoh bagi seorang pemimpin.
Dalam sejarah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam maka dilakukan identifikasi kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
1)    Perwujudan Kepemimpinan Otoriter
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah pemimpin yang sangat keras dalam menghadapi orang-orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntunan Allah Subhanahu Wata’ala lainnya. Tidak ada yang boleh dibantah, jika telah diwahyukan Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan pemberian saran, pendapat, kreativitas dan inisiatif, sehingga berarti suatu perintah harus dilaksanakan dan larangan harus dijauhi / ditinggalkan. Otoriter adalah mutlak hak Allah Subhanahu Wata’ala, yang bilamana tidak diperlakukan-Nya di muka bumi ini, maka secara pasti akan dilaksanakan-Nya adalah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan hukuman sebagai balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir, atau yang menduakan penciptanya melainkan neraka jahannam dengan siksa yang sangat pedih. Perbuatan yang dikatagorikan dosa tidak akan berubah katagorinya, meskipun yang menyampaikan saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama atau rakyat biasa.
Oleh karena itu kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk kongkrit kepemimpinan Allah Subhanahu Wata’ala, maka otoriter yang berlaku di muka bumi ini selalu dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Untuk itu Allah Subhanahu Wata’ala telah memberikan petunjuk dan tuntunan yang jelas, dengan menutup sama sekali pemberian saran, pendapat, inisiatif, kreativitas dan lain-lainnya.
2)    Kepemimpinan Laissez Faire
Dalam menyeru ummat manusia terlihat kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat Laissez Faire (bebas). Beliau tidak memaksa dengan kekerasan. Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam hanya diperintah oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk menyeru dan memperingatkan keberuntungan bagi yang mendengar dan kerugian bagi yang berlaku angkuh dan sombong, menolak seruan beliau. Setiap manusia diberi kebebasan untuk mengimani Kalimat Syahadat. Jika menolak beriman, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam tidak akan memaksanya, namun tetap memperingatkan celakalah dirinya yang telah keliru memilih. Termaktub dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala di dalam surah Al Baqarah ayat 256 :
Artinya :   “Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab sudah jelas jalan benar dan jalan yang salah. Barangsiapa yang ingkar kepada Thogut, hanya percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui“.
Kebebasan memilih itu lebih tegas lagi, sebagaimana firman Allah surah Al-Kahfi ayat 29 sebagai berikut :
Artinya :   “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah“.
Demikian kepemimpinan Laissez Fair yang diwujudkan oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, namun apabila seseorang telah menyatakan dirinya beriman, maka kepemimpinan beliau berkembang menjadi bersifat konsultatif, pengayoman dan kharismatik. Di dalam kepemiminan tersebut tetap terdapat kebebasan, karena pengawasan dilakukan langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Pengawasan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersifat menumbuhkan tanggung jawab pribadi, karena pengawasan otoriter merupakan hak Allah Subhanahu Wata’ala.
3)    Perwujudan Kepemimpinan yang Demokratis
Prinsip-prinsip demokratis yang dibangun Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pada masa hidup beliau selalu berhubungan dengan ummat yang dipimpinnya, terutama para shahabat sangat akrab. Oleh karenanya setiap ummat tidak dibatasi untuk berkomunikasi dengan beliau sebagai pemimpin. Diantaranya ada yang datang minta petunjuk, petuah dan nasehat, disamping itu ada juga yang bermaksud menyampaikan pendapat, masalah-masalah yang dihadapinya dan melaporkan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
Kepemimpinan yang demokratis dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam terlihat nyata dalam kehidupan beliau sehari-hari. Beliau sebagai pemimpin yang agung tidak pernah sekedar duduk di singgasana atau memisahkan diri di istana yang gemerlapan untuk menjaga wibawa. Tetapi sebaliknya wibawa yang agung justru timbul dan terpelihara karena beliau menjalani kehidupan bersama ummatnya.
Kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat demokratis terlihat pada kecenderungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama menghadapi masalah yang belum ada wahyu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Bersamaan dengan itu beliau menganjurkan agar ummatnya selalu bermusyawarah, yang dinyatakan agar ummat Islam tidak meninggalkan jama’ah. Dengan demikian tak seorangpun dalam mengemukakan pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai setiap anggota jama’ah wajib menghormati dan melaksanakannya. Kesediaan beliau sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam sebuah sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya. Sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu anhu, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam membagi rampasan perang di Jir’anah, tiba-tiba seorang laki-laki berkata kepada beliau : “Berlaku adillah !” Lalu beliau bersabda kepadanya : “Saya celaka, kalau saya tidak adil” (H. Nadari Nawawi, 2001 : 282-288).
3.    Masalah Kerukunan
Sebagaimana telah diketahui, penduduk Indonesia terbesar ke-4 di dunia dengan pulaunya sebanyak 17.508 dan tidak kurang 390 suku bangsa. Sejak dahulu bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah, hal ini terbukti dengan mudahnya bangsa-bangsa lain untuk tinggal dan menetap serta mencari mata usaha di negeri ini. Mereka saling bekerjasama tanpa membedakan etnis, adat dan agama. Bertahun-tahun mereka hidup dalam satu lingkungan sebagai bersaudara. Mereka hidup saling tolong menolong, segala permasalahan yang terjadi diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam arti kata bahwa mereka hidup dalam kerukunan.
Kita adalah sebuah keluarga besar yang tinggal dalam rumah kedamaian Indonesia. Jangan biarkan keluarga terpecah belah, yang terjadi cukuplah untuk dijadikan bahan pelajaran, untuk cermin kita menapak masa depan Indonesia yang damai, tentram dan sejahtera.
Sesuai pembahasan masalah kerukunan, kerukunan secara bahasa berasal dari kata rukun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti, baik dan damai, tidak bertengkar. Kerukunan artinya perihal hidup rukun. Perihal hidup rukun ini, hidup rukun damai sesama anak bangsa dan sesama ummat beragama. Akar masalah terjadinya konflik karena masalah yang berkaitan suk, ras dan agama. Lebih-lebih agama masalah hak asasi manusia dan ia sangat peka, masalah kecil saja bisa memicu terjadinya pergesekan.
Kerukunan hidup ummat beragama, istilah ini secara formal muncul sejak diselenggarakannya Musyawarah Antar Agama tanggal 30 Nopember 1967. Awal permasalahan karena pada saat itu timbul berbagai ketegangan antar penganut berbagai agama di sementara daerah dan jika tidak segera diatasi akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dalam pembukaan musyawarah tersebut Presiden Soeharto telah berkenan memberikan kata sambutannya, antara lain : “… Pemerintah tidak akan menghalang-halangi suatu penyebaran agama. Akan tetapi hendaknya penyebaran agama tersebut ditujukan kepada mereka yang belum beragama yang masih terdapat di Indonesia, agar menjadi pemeluk agama yang yakin”.
Masalah agama adalah hak asasi manusia, artinya setiap berhak menentukan pilihan. Masalah agama juga masalah yang peka / sensitif, maka untuk tidak terjadi pergesekan / benturan antar pengikut ajaran agama, pemerintah berupaya menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, diantaranya pembinaan kerukunan antar ummat beragama.
Adanya kerukunan hidup antar ummat beragam adalah merupakan salah satu syarat mutlak terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi. Oleh karena kerja sama pemerintah, masyarakat beragama dalam mewujudkan iklim kerukunan beragama sangat diperlukan. Kerukunan yang diistilahkan oleh pemerintah mencakup tiga kerukunan, yaitu kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama dan kerukunan ummat beragama dengan pemerintah.
Akan tetapi perlu disadari, walaupun pemerintah telah membuat program Tri Kerukunan, namun masalah tanggung jawab pembinaan kehodupan beragama tidak dapat semata-mata dipikulkan pada bahu pemerintah. Ummat beragama sendirilah yang pertama dan utama memikul tanggung jawab itu. Pemerintah lebih banyak berperan sebagai penunjang dan memberikan kesempatan agar pelaksanaan ibadah dan amal agama itu dapat berjalan dengan tenang dan tenteram.
Bangsa Indonesia sungguh-sungguh merasa bahagia, bahwa kita mempunyai tradisi yang baik mengenai toleransi dan kerukunan hidup beragama ini. Tradisi dan kenyataan inilah yang antara lain menguatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila kita, dan sebaliknya, dengan Pancasila itu juga kita kembangkan toleransi beragama (Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967).
“… Pengertian toleransi agama bagi kita adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga negara untuk memeluk sesuatu agama yang menjadi keyakinannya dan kebebasan untuk menjalankan ibadahnya …” (Sambutan Presiden Soeharto pada Peringatan Nuzulul Qur’an tanggal 19 Desember 1967 di Jakarta).
Selanjutnya berbicara masalah toleransi yang dalam bahasa Inggrisnya adalah tolerance, bahasa Arabnya Tasamuh, artinya membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengidzinkan, saling memudahkan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia mengartikan toleransi itu sebagai sikap atau sikap menenggang dalam makna menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kelakuan yang lain dari yang dimiliki oleh seseorang atau bertentangan dengan pendirian seseorang.
Sikap itu harus ditegakkan dalam pergaulan sosial, terutama dengan anggota-anggota masyarakat yang berlainan pendirian, pendapat dan keyakinan. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain dengan tidak mengorbankan prinsip / keyakinan sendiri (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, 2006 : 432-433).
Di dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip. Prinsip itu terdapat di dalam Al Qur’an, antara lain :
a.    Surah Al-Baqarah ayat 256
Artinya : “Tidak ada paksaan dalam (memeluk sesuatu) agama, karena telah jelas mana yang benar dan mana yang salah“.
b.    Surah Al-Kahfi ayat 29
Artinya : “Katakanlah hai Muhammad, bahwa telah datang kebenaran dari Tuhanmu. Oleh karena itu barang siapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah“.
c.    Surah Yunus ayat 99
Artinya : “Dan apabila Tuhanmu menghendaki, orang yang berada di muka bumi ini beriman seluruhnya. Apakah engkau akan memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman ?
d.    Surah Al-Mumtahanah ayat 8
Artinya : “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Dari beberapa ayat diatas dapat ditarik garis hukum, beberapa prinsip mengenai toleransi dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip itu antara lain :
  1. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama, baik paksaan itu bersifat halus atau kasar.
  2. Manusia berhak menentukan pilihan agama yang dianutnya dan beribadat menurut keyakinannya.
  3. Tidak ada gunanya memaksa seseorang agar ia menjadi seorang muslim.
  4. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan mereka yang tidak sepaham atau tidak seagama, asal mereka itu tidak memusuhi umat Islam.
Dari uraian diatas sangat jelas bahwa Islam tidak memaksakan kehendak dalam hal keyakinan, artinya Islam dan ummatnya sangat toleran dengan penganut agama lain. Disamping ayat-ayat Al Qur’an diatas ada lagi satu surah yang menjadi pegangan / panduan ummat Islam tentang perbedaan agama ini. Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut masalah akidah. Dalam ajaran Islam kemurnian akidah harus dijaga. Oleh karenanya ada pendapat mengatakan, tidak ada toleransi dalam akidah. Akidah tidak bisa dicampur adukkan atau dibaurkan. Al Qur’an yang berbicara masalah ini adalah tersebut dalam surah Al-Kafirun ayat 1-6 :
Artinya :  “Katakanlah, hai kaum kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan tidak (pula) kamu menyembah apa yang aku sembah. Aku bukan penyembah sebagaimana (cara) kamu menyembah. Dan kamu (juga) bukan penyembah sebagaimana (cara) aku menyembah. Untuk kamulah agama kamu dan untukkulah agamaku” (QS. Al-Kafirun ayat 1 – 6).
Jadi toleransi agama menurut ajaran Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan bagi pemeluk agama lain dalam menjalankan menurut ketentuan agama yang diyakininya.
Jika maksud toleransi ini dijalankan dengan benar akan terwujudlah kerukunan antar ummat beragama. Adapun kerukunan intern ummat beragama, khususnya ummat Islam misalnya. Karena ummat Islam ini secara organisatoris, banyak sekali organisasinya, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, Al-Irsyad, Mathlaul Anwar, Jami’atul Washliyah, Hidayatullah, Hizbut Tahrir, Perti dan lain-lainnya. Maka kerukunan ini harus dibina melalui forum / kegiatan ukhuwah Islamiyah dan ditingkatkan dengan ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah  basyariah.
Disamping itu secara individu, maupun secara organisatoris janganlah mengungkap masalah khilafiah, karena masalah ini cukup peka / sensitif. Hal-hal lain yang tak kalah pentingnya melaksanakan rukun ukhuwah, yaitu :
  1. Saling kenal mengenal satu sama lain (ta’aruf)
  2. Saling menghargai dan menenggang (tasamuh)
  3. Saling tolong menolong (ta’awun)
  4. Saling mendukung (tadlamun)
  5. Saling sayang menyayangi (tarahum)
Hal-hal yang seyogiayanya harus dihindari adalah :
  1. Saling menghina dan saling mencela (assakhriyah dan allamzu)
  2. Berburuk sangka (su’udzzdon)
  3. Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
  4. Sikap curiga yang berlebihan (tajassus)
  5. Sikap congkak (takabur)
Demikianlah masalah kerukunan dan kedamaian hidup dalam berbangsa dan bernegara, damai itu indah. Kita lelah sudah bertikai, akar permasalahannya pun harus kita kunci, salah satu kuncinya ialah adanya program pemerintah yang disebut dengan Tri Kerukunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar