PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
A.
PENDAHULUAN
Di
dalam pembahasan pendahuluan materi kuliah Pendidikan Agama Islam, kami akan
menguraikan terlebih dahulu beberapa hal, sebelum memasuki panduan garis besar
mata ajaran. Hal tersebut adalah : Urgensinya Pendidikan Agama Islam di lembaga
pendidikan, pengertian agama dan tujuan beragama, klasifikasi agama dan
agama-agama yang diakui di Indonesia.
1.
Urgensinya Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan
Sesuai
dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
pasal 37 ayat 2, berbunyi : Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat :
- Pendidikan agama
- Pendidikan kewarganegaraan
- Bahasa
Mata
kuliah Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk mewujudkan lulusan Akademi /
Perguruan Tinggi agar menjadi sarjana yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang merupakan keluaran (output) perguruan tinggi. Oleh karena
itu mata kuliah ini mengarahkan / mengantarkan mahasiswa untuk :
- Menguasai akan ajaran agama
Islam dan mampu menjadikannya sebagai sumber nilai dan pedoman serta
landasan berfikir dan berperilaku dalam menerapakn ilmu dan profesi yang
dikuasainya.
- Menjadi intelektual capital
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, berakhlaq mulia
serta berkepribadian Islami.
Jika
ditarik ajaran Islam itu sendiri, sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala
dalam Al Qur’an, surah Adz-Dzaariyat ayat 56 :
Artinya
: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku“.
Dan
firman Nya lagi dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah ayat 21 :
Artinya
: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa“.
Sesuai
dengan firman Allah di atas, jelaslah kewajiban manusia adalah untuk menyembah
atau beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Akan tetapi untuk melaksanakan
beribadah secara benar dan sempurna diperlukan ilmu pengetahuan agama melalui
pendidikan agama Islam.
Oleh
karena itu menuntut ilmu, lebih lagi ilmu agama hukumnya wajib. Sabda Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam : “Tholabul ilmi fariidhotun ‘ala kulli
muslim”.
Artinya
: “Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim” (HR. Ibnu Majah
dan Ibnu Abdil Bar).
Jadi
jelaslah materi pendidikan agama (Pendidikan Agama Islam) wajib dipelajari baik
ditinjau dari segi agama dan perundang-undang yang berlaku di Indonesia.
2.
Pengertian Agama
Pengertian
agama secara etimologis :
- Agama berasal dari bahasa
Sansekerta, “a” berarti tidak dan “gama” berarti kocar-kacir
atau tidak kacau balau. Adalagi yang mengatakan “a” berarti tidak, “gam”
berarti pergi. Jadi agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, langgeng,
abadi.
- Agama dalam bahasa Arab
disebut Dien dan Millah. “Diena” berasal dari kata dana
(memiliki beberapa arti) antara lain patuh, pembalasan, perhitungan,
nasehat dan agama.
- Kolonel Irawan dari Pusroh
Islam AD mengatakan agama itu berasal dari kata bahasa Arab, diambil dari
kata “qoma” yang berarti berdiri dalam hubungan kalimat “Iqaamushsholata”,
sebuah kalimat perintah yang berarti dirikan sholat. Kalimat ini sebagai
sumber asal dari mana kata agama itu diambil, di dalamnya jelas telah
tercakup pengertian kepercayaan dan peribadatan.
- Orang Barat
mengidentifikasikan agama dengan religi. Religi berasal dari bahasa Latin
yang tersusun dari dua, yaitu : “re” berarti kembali dan “ligere” berarti
terkait atau terikat. Maksudnya manusia hidup tidak bebas menurut
kemauannya sendiri, tetapi harus menurut ketentuan hukum yang mengikatnya.
Pengertian
secara terminologis :
- Menurut Emile Durkheim,
mengartikan agama adalah sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan dan
pengalaman terhadap ia sesuatu yang sakral, kemudian kepercayaan dan
pengalaman itu menyatu ke dalam suatu komunitas moral.
- Menurut Prof. Dr. Harun
Nasution : Agama adalah sebagai ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada
manusia melalui para Rasul-Nya.
- Kamus Besar Bahasa
Indonesia, memuat istilah agama dengan ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan
lingkungannya.
- Para ulama Islam mendefinisikan
agama adalah sebagai undang-undang kebutuhan manusia dari Tuhannya yang
mendorong mereka agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan
pengertian secara etimologis dan terminologis suatu kepercayaan bisa dikatakan
agama, mempunyai ciri sebagai yang dikatakan oleh Prof. Dr. H.A. Mukti Ali,
bahwa agama itu, punya ciri, sebagai berikut :
-
Mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa
-
Mempunyai Kitab Suci
-
Mempunyai Rasul
-
Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan para pengikutnya, berupa perintah,
larangan dan petunjuk
Adapun
masalah motivasi dalam beragama, mengapa manusia wajib beragama ? Jawabnya
disini dapat disimpulkan, sebagai berikut :
- Manusia terdiri dari jasmani
dan rohani. Kebutuhan jasmani dapat dicukupi dengan makan, minum, tetapi
kebutuhan rohani hanya bisa puas dengan keyakinan atau kepercayaan atau
agama.
- Manusia diberi instink ingin
tahu. Rasa ingin tahu inilah timbul penyelidikan / penelitian di berbagai
bidang, baik flora, fauna, ruang angkasa dan alam sekitar lainnya. Hasil
penelitian tidak mungkin alam ini jadi dengan sendirinya. Pasti ada
penciptanya. Sehingga ke depannya ingin menganut agama sebagai manifestasi
rasa syukur dan beribadah kepada Tuhan yang menjadikan alam. Ibadah ini
diatur melalui agama.
- Manusia hidup sebagai
makhluk yang mulia. Dijadikan dengan sebaik-baik bentuk, yakni dilengkapi
akal dan nafsu. Untuk mengendalikan akal dan nafsu ini diperlukan agama.
Dalam
beberapa poin jawaban, mengapa manusia wajib beragama ? Telah jelas, bahwa
fungsi dan tujuan hidup adalah dijelaskan oleh agama, bukan oleh penemuan akal.
Agama justru datang karena ternyata bekal-bekal yang dilimpahkan kepada manusia
tidak cukup mampu menemukan apa perlunya ia lahir ke dunia ini. Agama
diturunkan untuk mengatur hidup manusia, meluruskan dan mengendalikan akal yang
bersifat bebas. Kebebasan akal tanpa kendali, bukan saja menyebabkan manusia
lupa diri, melainkan juga membawa manusia ke jurang kesesatan.
Oleh
karena itu, sesungguhnya kapanpun manusia hidup dan dimana pun ia berada, agama
tetap merupakan kebutuhan asasi. Di abad modern inipun agama tetap diperlukan.
Bahkan lebih jauh manusia mencapai kemajuan, lebih tegas perlunya agama. Dengan
tanpa agama, segala kemajuan bukannya akan memberikan kebahagiaan kepada
manusia, tetapi malah akan membinasakan manusia itu sendiri.
3.
Klasifikasi Agama
Dilihat
dari sumber, sifat dan tempatnya, agama dapat diklasifikasikan atas tiga
kategori, yaitu :
- Agama wahyu dan bukan wahyu
- Agama missionaris dan bukan
missionaris
- Agama ras geografis dan
agama universal
Agama
wahyu (samawi) adalah agama yang diwahyukan Allah melalui malaikat-Nya kepada
utusan-Nya untuk disampaikan kepada ummat manusia. Sedangkan agama bukan wahyu
(Ardhi) atau kebudayaan adalah agama yang bukan berasal dari Allah, tetapi
keberadaannya disebabkan oleh proses antropologis yang terbentuk dari adat
istiadat kemudian melembaga dalam bentuk agama.
Karakteristik
dari kedua bentuk agama tersebut, yaitu antara lain :
- Agama wahyu (samawi)
berpokok pada konsep ke-Esaan Tuhan, sedangkan agama bukan wahyu (ardhi)
tidak demikian.
- Agama wahyu (samawi) diberikan
kepada para Nabi dan Rasul, sedangkan agama bukan wahyu (ardhi) tidak.
- Bagi agama wahyu (samawi)
yang dijadikan tuntunan menentukan baik dan buruk adalah Kitab Suci yang
diwahyukan, sedangkan pada agama bukan wahyu (ardhi) berbentuk tradisi
atau adat istiadat.
- Sesuai dengan ajaran dan
tradisi historisnya, agama wahyu (samawi) merupakan agama missionaris,
sedangkan agama bukan wahyu (ardhi) sebaliknya.
4.
Agama-agama yang Ada di Indonesia
Sesuai
dengan UUD 1945, sebagai berikut :
- Pasal 29 ayat 1, UUD 1945:
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
- Pasal 29 ayat 2, UUD 1945 :
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.
Agama
yang ada di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong
Huchu. Keenam agama di atas pemeluknya yang terbanyak adalah agama Islam.
Masalah agama adalah masalah hak asasi manusia dan sensitif. Agar selalu
terjaga kerukunan, maka diprogramkanlah tri kerukunan, yaitu :
- Kerukunan intern ummat
beragama
- Kerukunan antar ummat
beragama
- Kerukunan antar ummat
beragama dengan pemerintah
Jadi
jelaslah bahwa bangsa Indonesia, bangsa yang menganut paham agama dan tidak
memperkenankan adanya paham yang meniadakan agama atau Tuhan yang lazim disebut
paham komunis / Atheis. Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan melarang
adanya penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran Komunisme / Marxisme –
Lenisme di Indonesia. Hal ini tertuang dalam TAP MPRS Republik Indonesia Nomor
: XXV/MPRS/1996 tanggal 5 Juli 1966.
B.
TUHAN, MANUSIA DAN ALAM SEMESTA
1.
Masalah Ketuhanan
Pembahasan
tentang Ketuhanan ini adalah bertitik tolak pada konsep Ketuhanan dalam Islam.
Siapakah Tuhan itu ? Siapakah Tuhan kita ? Apa Tuhan itu ? Mudah-mudahan dalam
mengulas masalah ini, kita tidak melanggar rambu-rambu dari apa yang diingatkan
oleh Rasulullah Shallallahualaihi wassalam, janganlah kita memikirkan tentang
zat Tuhan atau zat Allah, tapi fikirkanlah tentang apa yang diciptakan-Nya.
Kata
Tuhan dalam bahasa Arab adalah Al-Ilaah atau Ar-Rabb. Dalam Kamus Al-Munjid, dikatakan
bahwa Tuhan sesuatu yang disembah. Dengan perkataan lain, sesuatu yang disembah
adalah Tuhan. Tak peduli apakah ia dapat dilihat, diraba atau tidak, apakah ia
hidup atau mati, apakah ia dapat membuat manusia atau dibuat oleh manusia.
Pokoknya sesiap yang disembah adalah Tuhan.
Dahulu
di negeri kita, ada yang namanya Dinamisme, yaitu kepercayaan mengkeramatkan
benda, seperti pepohonan besar, batu besar dan sebagainya sebagai Tuhan mereka
dan sebagainya, sebagai Tuhan mereka. Bahkan ada lagi kepercayaan animisme,
yaitu kepercayaan orang-orang terdahulu tentang roh nenek moyang dan para
leluhurnya sebagai Tuhan.
Berdasarkan
penjelasan di atas, kita kembali kepada kata Ilah (mufrat) yang jama’ahnya
adalah salihatun. Secara konsep umum Tuhan itu banyak, ada Tuhan bagi penganut
animisme, ada Tuhan bagi penganut dinamisme dan ada juga Tuhan bagi penganut
politheisme. Oleh karena itu bagi penganut agama Islam hendaklah jika berkata
tentang Tuhan haruslah digandeng dengan sifat Tuhan, seperti perkataan Tuhan Yang
Maha Esa, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini berarti yang kita
maksud adalah Tuhan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sekarang
siapa Tuhan kita, sebagai penganut agama Islam, tentu jawabnya adalah Allah,
dzat wajibul wujud, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan dan mustahil
bersifat kekurangan. Dia Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Dia yang
menjadikan langit dan bumi. Dia bersalahan dari segalanya yang baharu (Laisa
kamislihi syai’un).
Dalam
ajaran Islam diajarkan kalimat “La ilaaha illa Allah“. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan, kemudian baru
diikuti dengan penegasan, melainkan Allah“. Hal itu berarti bahwa seorang
muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,
sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.
Iman
kepada kalimat Laa ilaaha illa Allah dapat mengangkat derajat manusia dan
menumbuhkan sifat-sifat terpuji. Menjadikan manusia terikat dengan
aturan-aturan Allah dan juga merupakan rukun asasi terpenting dari ajaran Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Kalimat tauhid merupakan pondasi dan
kekuatan Islam. Ketentuan dan kewajiban Islam lainnya berdiri tegak di atas
kalimat ini.
Kesimpulannya
sudah jelas, bahwa Tuhan kita, Tuhan orang Islam bahkan Tuhan seluruh penghuni
alam ini adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Tuhan kita hanya satu, yaitu Allah.
Allah melarang kita menyekutukan-Nya. Itu adalah syirik, berakibat dosa besar
yang tak berampun.
2.
Pengertian Manusia dan Kejadian Manusia
Dalam
memberikan uraian atau telaah terhadap persoalan apakah manusia itu ? Dapat
ditempuh dengan cara memberi jawaban dari eksistensi manusia itu sendiri.
Manusia adalah makhluk yang unik dalam arti ia adalah subyek dan obyek. Dirinya
berfikir untuk mempersoalkan dirinya. Pandangan ini didasarkan atas filsafat
yang menelaah manusia. Immanuel Kant menempatkan pertanyaan filsafat pada
dirinya, seperti : Apakah yang dapat saya ketahui ? Apakah yang harus saya
perbuat ? Apakah yang boleh saya harapkan ? Apakah manusia itu ? Pertanyaan
pertama adalah pertanyaan metafisika, yang kedua pertanyaan etika, yang ketika
pertanyaan religius dan pertanyaan yang keempat adalah pertanyaan
antropologi (Drs. Dwi Nugroho Hidayanto,
1988 : 15).
Drs.
Alexis Carrel salah seorang sarjana terbesar dari Amerika Serikat dalam bukunya
berjudul “The Mankind Unknown” telah menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan modern sangat bodoh terhadap hakikat manusia (Drs. Syahminan Zaini,
tt, 1).
Masalah
ta’rif dan hakikat manusia nampaknya agak sulit dirumuskan, jika hanya
berpegang kepada pengetahuan umum semesta. Akan tetapi Prof. Abbas Mahmud
El-Aqqad dalam bukunya “Haqaiqul Islam Wa Abathilu Khusumihi” telah
merumuskan pandangan Al Qur’an tentang manusia dengan amat baik sekali.
Al
Qur’an dan As Sunnah, kata beliau mendefinisikan manusia sebagai berikut :
Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan
sifat-sifat Ketuhanan. Definisi mengandung tiga unsur pokok, yaitu :
- Manusia sebagai ciptaan
Allah.
- Manusia bertanggung jawab
atas segala tingkah lakunya yang menurut Al Qur’an akan
dipertanggungjawabkan nanti di hadapan Tuhan di akhirat.
- Manusia diciptakan dengan
sifat-sifat ketuhanan.
Mengenai
kejadian manusia, sebagai berikut :
- Nabi Adam Alaihissalam
adalah sebagai manusia pertama yang dijadikan dari tanah. Sebagaimana
firman Allah dalam Al Qur’an surah Shaad ayat 71 :
Artinya
: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat :
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah“.
- Keturunan selanjutnya Allah
jadikan manusia itu dari pertemuan sperma dan ovum. Secara fisik materi
dan non fisik materi, proses kejadian manusia ada (enam) tahap, yaitu
nuthfah, alaqah dan mudhghah, idzam dan lahm, tahap ke-6 (enam) adalah non
fisik materi yaitu roh.
- Tubuh jasmaniah dijadikan Allah
lebih dahulu dari tubuh rohaniah. Ruh ditiupkan setelah fisik materi
berumur 120 hari.
- Setelah Malaikat meniupkan
ruh, terjadilah makhluk yang lain dari sebelumnya, artinya telah menjadi
manusia sempurna.
3.
Manusia Menurut Agama Islam
Manusia
adalah makhluk yang sangat menarik, sehingga menjadi sasaran untuk dikaji,
dahulu, kini dan kemudian hari. Di dalam Al Qur’an manusia disebut antara lain
bani Adam (QS. Al-Isra, 17, 70), Basyar (QS. Al-Kahfi, 18, 110), Al-Insan (QS.
Al-Insan, 76, 1), An-Naas (QS. An-Naas, 114, 1).
Berbagai
rumusan tentang manusia telah diberikan salah satunya berdasarkan studi Al
Qur’an dan Al Hadits, berbunyi (setelah disunting) sebagai berikut : Al-Insan
(manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman
(kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan
wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab atas segala
perbuatannya dan berakhlaq (N. A. Rasyid, 1983 : 19).
Bertitik
tolak dari rumusan singkat itu, menurut ajaran Islam, manusia dibanding dengan
makhluk yang lain, mempunyai berbagai ciri, antara lain :
- Makhluk yang paling
sempurna, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an (QS. At-Thiin ayat 4) :
Artinya
: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya“.
- Manusia memiliki potensi
(daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah.
Sebab sebelum ruh (ciptaan) Allah dipertemukan dengan jasad di rahim
ibunya, ruh yang berada di alam gaib itu ditanyai Allah. “Alastu bi rabbikum
?” : Apakah kalian mengakui Aku sebagai Tuhan kalian ? Serentak dan
semuanya mengaku Allah sebagai Tuhan mereka. (“Balaa syahidnaa :
Ya, kami akui (kami saksikan) Engkau adalah Tuhan kami“).
- Manusia diciptakan Allah
adalah untuk mengabdi kepada-Nya sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an
surah Adz-Dzaariyat ayat 56, “Wamaa kholaqtul jinna illa liya’buduun“.
Terjemahannya lebih kurang, sebagai berikut : Tidak Ku jadikan jin dan
manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.
- Manusia dijadikan Tuhan untuk
menjadi Khalifah Allah di permukaan bumi ini. Perkataan menjadi khalifah
di sini adalah wakil Tuhan dalam mengelola alam atau memakmurkan bumi ini.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya maka manusia diberikan akal dan kalbu,
yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain. Dengan akal pemikirannya
akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan mampu
mengemban amanah.
- Manusia disamping diberikan
akal juga diberikan dengan perasaan dan kemauan atau kehendak. Dengan akal
dan kehendaknya, manusia akan patuh dan tunduk kepada Allah atau menjadi
muslim, tetapi dengan akal dan kehendaknya juga bisa mengingkari.
- Secara individual manusia
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Ini termaktub dalam Al Qur’an,
surah At-Thuur ayat 21, “Kullum riim bimaa kasaba rahiin“. Artinya
kurang lebih sebagai berikut, “… setiap orang (manusia) terikat (dalam
arti bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukannya“.
- Berakhlak. Berakhlak ini
merupakan ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan oleh Allah untuk membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam ajaran Islam akhlak punya
kedudukan yang penting, menjadi komponen ketiga agama Islam. Hal ini dapat
kita mengerti bahwa Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam diutus untuk
menyempurnakan akhlaq manusia. Perilaku yang dicontohkan oleh Rasul selama
hidup adalah teladan yang harus diikuti oleh umat.
Dari
uraian beberapa ciri manusia di atas manusia menurut Islam dapat ditarik
kesimpulan tentang fungsi ganda manusia, yaitu fungsinya sebagai abdullah
(abdun), hamba yang wajib beribadah kepada Allah dan sebagai khalifatullah
untuk memakmurkan bumi ini.
Fungsi
ganda manusia di atas dapat dilaksanakan dengan baik dengan harapan kita akan
mendapat predikat insan kamil atau manusia sempurna menurut Islam. Adapun
ciri-ciri manusia sempurna itu adalah :
- Jasmani yang sehat, kuat dan
berketerampilan
- Cerdas dan pandai
- Rohani yang berkualitas
tinggi
4.
Alam Semesta
Alam
semesta terdiri dari dua kata, yaitu alam, diantara pengertiannya segala yang
ada di langit dan di bumi. Semesta artinya semuanya. Jadi alam semesta adalah
semua yang ada di alam ini (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Sesungguhnya
dilihat dari sudut pandang manusia, yang ada, adalah Allah dan Alam (semesta).
Allah pencupta, sedangkan alam diciptakan. Alam adalah segala sesuatu yang
dapat ditangkap oleh Panca Indera, perasaan dan fikiran, kendatipun
samar-samar. Mulai dari partikel atau zarrah yaitu bagian benda yang sangat
kecil dan berdimensi sampai kepada jasad (tubuh) yang besar-besar, dari yang
inorganik sampai kepada yang organik, dari yang paling sederhana susunan
tubuhnya sampai kepada yang sangat kompleks (rumit, saling berhubungan) seperti
tubuh manusia. Ruang dan waktu (space and time) adalah alam. Juga
manusia termasuk alam atau bagian alam semesta (Osman Ralliby, tt : 3-4).
Secara
i’tikad alam semesta itu adalah selain dari Allah. Allah adalah selain dari
alam. Wujud Allah tidak sama dengan wujud alam. Karena alam diciptakan oleh
Allah sedangkan Allah adalah zat wajibul wujud, yang berdiri sendiri, tidak
bepermulaan, kekal dan tidak serupa dengan sesuatu.
Sebagai
tersebut di atas, bahwa yang ada ini hanya dua, yaitu Allah dan alam. Allah
pencipta dan alam dicipta. Dalam Al Qur’an, Allah bergelar Rabbul alamin,
artinya Tuhan alam semesta, selain kata alamien di dalam Al Qur’an juga disebut
dengan “assamaawati wal ardh”, artinya semua langit dan bumi : atau Qur’an
menyebut dengan kalimat segala apa yang ada di langit dan bumi.
Alam
semesta itu telah diciptakan Allah menurut hukum yang pasti, objektif dan
tetap. Artinya alam semesta adalah suatu kosmos yang dalam bahasa ilmu dalam
suatu laws of nature, dalam Islam disebut Sunnatullah (KH. Drs.
Nazaruddin Razak, 1973 : 80).
Hukum
Allah pada makhluknya ada dua macam, tertulis dan tidak tertulis. Tertulis
adalah wahtu Allah kepada para Nabi dan Rasul yang terhimpun dalam kitab suci,
terakhir adalah Al Qur’an.
Ciri
daripada hukum yang tertulis ini adalah reaksi waktunya lebih panjang, mungkin
lebih panjang dari usia manusia. Misalnya orang beriman dan bertaqwa
dinjanjikan kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan bahagia, sedangkan orang
kafir dan munafik diancam dengan hukuman kehinaan dan sengsara.
Adapun
hukum yang tidak tertulis, ciri khasnya adalah reaksi waktunya sangat pendek,
mungkin ia lebih pendek dari umur manusia. Umpamanya air mendidih 100 derajat
Celcius. Jika satu liter air dimasak di atas kompor 10 sumbu, kira-kira
membutuhkan waktu 10 menit. Waktu sepuluh menit itulah reaksi waktu yang dikatakan
lebih pendek dari usia manusia.
Sunnatullah
sifat ada 3 (tiga), pertama pasti (eksak), kedua objektif, ketiga tetap tidak
berubah. Alam semesta yang mengandung dan patuh sepenuhnya kepada hukum,
ketetapan dan ketentuan yang disebut sunnatullah itu. Misalnya bulan
mengelilingi bumi dalam 29/30 hari. Bulan sambil mengelilingi bumi juga
matahari dalam waktu 365/366 hari dan lain sebagainya.
Kepatuhan
alam semesta terhadap sunnatullah, termasuk manusia adalah untuk
kesejahteraannnya. Umpama alam dan manusia ini tidak lagi diatur oleh hukum
gravitasi, tentu alam ini akan kacau. Untuk kesejahteraan jasmani tentunya
manusia harus tunduk dengan aturan-aturan kesehatan.
Sebagai
manusia dan hubungannya dengan alam semesta, kejadian alam semesta ini
hendaklah menjadi bahan pemikiran. Misalnya Allah menjadikan langit dan bumi
ini dalam tempo 6 (enam) hari (Al Qur’an), padahal Allah mampu menjadikannya
dalam waktu, sekejap. Hal ini menurut ahli tafsir, memberikan orientasi
tarbiyah / pendidikan agar manusia harus hidup dengan sabar, jangan
tergesa-gesa, membuat sesuatu penuh pertimbangan dan perencanaan, bekerja
bertahap.
C.
GARIS-GARIS BESAR AJARAN ISLAM
Sebelum
pembahasan sampai kepada sub pokok, dianggap perlu dijelaskan tentang
pengertian Islam, metodologi mempelajari Islam, mengapa dinamai dengan Islam.
Untuk jelasnya, sebagai berikut :
1.
Pengertian Islam dan Metodologi Mempelajari Islam
Islam
berasal dari bahasa Arab dari asal kata Aslama yang artinya menyerah, tunduk
dan patuh. Dari kata “aslama” ini berkembang menjadi beberapa arti, “salam”
artinya keselamatan, “taslim” artinya penyerahan, “salama”
artinya memelihara, “sullami” artinya titian dan “silm” artinya
perdamaian.
Para
ulama berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, memberikan definisi tentang Islam,
diantaranya :
- Islam berarti tunduk dan
menyerah diri kepada Allah serta mentaati-Nya yang lahir dari kesadaran
dengan tidak dipaksa karena ketundukan seperti itu tanpa perhitungan
pahala dan dosa.
- Islam adalah kumpulan
peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam di dalamnya terkandung peraturan-peraturan tentang akidah,
akhlak, muamalat dan segala berita yang disebut dalam Al Qur’an dan As
Sunnah adalah diperintah agar disampaikan kepada manusia.
Memahami
Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Tujuannya
adalah agar menjadi pemeluk Islam yang mantap dan untuk menumbuhkan rasa hormat
bagi pemeluk agama lain. Di samping itu untuk menghindari kesalahpahaman dan
sifat negatif terhadap Islam, maka untuk memahami Islam secara benar adalah
dengan cara sebagai berikut :
- Islam harus dipelajari dari
sumber aslinya (Al Qur’an dan Al Hadits).
- Islam dipelajari secara
integral, artinya ia dipelajari secara menyeluruh.
- Islam dipelajari dari
kepustakaan yang ditulis oleh para Ulama Besar Islam dan sarjana-sarjana
Islam. Pada umumnya beliau memahami Islam secara baik.
2.
Mengapa Dinamai Islam ?
Tiap-tiap
agama pada lazimnya diberi nama setelah masa berlalu orang yang
mengembangkannya. Di Persi ada agama Zoroaster diambil dari nama pendirinya.
Agama Budha diambil dari nama Shidarta Gautama Budha. Agama Yahudi diambil dari
nama negara Yuda. Agama Kristen diambil dari pengajarnya atau orang yang
dipujanya Yesus Kristus dan pengikutnya disebut Kristen. Di dalam Al Qur’an
disebut Nasrani disandarkan atas kelahiran Yesus di Nazaret.
Adapun
Islam mempunyai perbedaan yang luar biasa dengan agama lain. Kata Islam tidak
punya hubungan dengan nama orang atau golongan atau negeri. Kata Islam adalah
nama yang diberikan oleh Allah sendiri, tersebut dalam Al Qur’an, antara lain :
a.
Surah Ali Imran ayat 19
Artinya
: “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam“.
b.
Surah Al Ma’idah ayat 3
Artinya
: “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu ni’mat Ku dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agamamu“.
Agama
Islam adalah agama yang diemban oleh Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia sepanjang
masa dan zaman. Oleh karena itu Islam dikenal sebagai agama yang bersifat
universal disamping itu Islam juga punya karakteristik seperti sesuai dengan
fitrah manusia, sempurna, mengajarkan keseimbangan, fleksibel dan ringan serta
sebagai rahmat bagi alam.
Seorang
muslim, iman mengajarkan bahwa Islam adalah rahmat dan ni’mat bagi manusia.
Oleh karena ajarannya harus digali untuk menjadi cahaya hidup dan kehidupan
manusia. Dalam membicarakan ajaran Islam selanjutnya, pada dasarnya / garis
besarnya ada 3 (tiga) pokok pembidangan ajaran, yaitu : Akidah/Tauhid,
Fiqih/Syari’ah/Ibadah dan Akhlak/Tasawuf. Ketiga pokok pembidangan ajaran di
atas sangat berhubungan satu sama lain, merupakan satu kesatuan yang tak boleh
dipisahkan. Namun ketiganya dapat dibedakan.
Akidah
(Tauhid) adalah sebagai konsep keyakinan yang bermuatan elemen-elemen pokok
keimanan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syari’ah sebagai
konsep hukum, berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan
akhlak sebagai sistem etika nilai yang menggambarkan arah tujuan yang akan
dicapai agama sedangkan tasawuf ialah membersihkan jiwa daripada pengaruh benda
atau alam, supaya ia mudah menuju Tuhan Allah (Hamka). Oleh karena itu ketiga
kerangka pokok / dasar dimaksud harus terintegrasi dalam diri seorang muslim.
Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat pohon akarnya
adalah akidah / tauhid, sementara batang, dahan dan daunnya syari’ah dan
buahnya adalah akhlaq.
Muslim
yang baik adalah orang yang memiliki akidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya
untuk menjalankan syari’at yang hanya di tujuan kepada Allah semata, sehingga
tergambar akhlak yang mulia pada dirinya. Atas dasar hubungan ini pula, maka
seseorang melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh akidah dan
iman, maka ia termasuk kategori kafir. Seseorang yang mengaku beriman, tetapi
tidak mau melaksanakan syari’at, maka ia disebut fasik. Sedangkan orang yang
mengaku beriman dan melaksanakan syari’at, tetapi tidak dilandasi iman / akidah
yang lurus disebut orang yang munafik.
Selanjutnya
kita akan menguraikan ketiga pokok pembidangan ajaran Islam dimaksud, sebagai
berikut :
a.
Akidah / Tauhid
Secara
bahasa, akidah berasal dari kata ‘akada yang mengandung arti ikatan atau
keterkaitan, atau dua utas tali dalam satu buhul yang tersambung. Dalam
pengertian teknis artinya adalah iman atau keyakinan. Akidah Islam (Akidah
Islamiyah) karena itu dikaitkan dengan rukun iman yang menjadi asas seluruh
ajaran Islam. Iman artinya percaya, tetapi yang dimaksud iman disini adalah
Tasdiq (membenarkan di dalam hati), mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan perbuatan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam.
Iman
ini melahirkan penyerahan diri kepada Allah dinamakan Islam. Ini dimaksud bahwa
seseorang yang menyerahkan diri kepada Allah dan menerima segala
hukum-hukumnya. Sesungguhnya penyerahan dan penerimaan itu berlaku dengan dua
perkara, yaitu : dengan kepercayaan dan pegangan hati yang dinamakan iman atau
aqidah dan juga dengan sifat-sifat lahiriyah yaitu melalui perkataan dan amalan
yang dinamakan Islam. Jadi jelas tempat iman itu di hati. Firman Allah
Subhanawu Wata’ala dalam surah Al Baqarah ayat 285 :
Artinya
: “Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab Nya dan Rasul-rasul Nya (mereka
mengatakan) “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain)
dari Rasul-rasul Nya, dan mereka mengatakan : “Kami dengar dan kami Tho’at
(mereka berdo’a). Ampunilah ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali“.
Sabda
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam : “Al-iimaanu antu’mina billahi
wamalaikatihi wakutubihi warusulihi, walyaumil akhiri, waqodrihi khoirihi
wasyarrihi minallahi ta’ala“.
Artinya
: “Iman itu bahwa kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-Nya,
Rasul-Nya, Hari Akhirat dan Qodar baik dan buruk” (HR. Muslim).
Disamping
sebagai tersebut di atas keterkaitan antara akidah atau keyakinan seseorang
terhadap Islam terletak pada konsekuensinya, sebagai berikut :
1)
Meyakini bahwa Islam adalah agama yang terakhir diturunkan dengan
syari’at-syari’atnya menyempurnakan syari’at yang Allah turunkan sebelumnya.
2)
Meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah
Subhanahu Wata’ala. Islam datang dengan membawa kebenaran yang absolut, guna
menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia selaras dengan fitrahnya. Firman
Allah dalam Al Qur’an surah Ali Imran ayat 19 :
Artinya
: “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam“.
3)
Meyakini bahwa Islam sebagai agama yang universal, berlaku untuk seluruh ummat
manusia, kapan dan dimana saja ia berada. Firman Allah dalam Al Qur’an surah
Saba ayat 28 :
Artinya
: “Dan tiadalah Kami utus kamu (Muhammad) melainkan untuk semua
ummat manusia sebagai berita gembira dan peringatakn tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya“.
4)
Meyakini bahwa Islam memiliki keseimbangan, dua orientasi hidup yaitu kehidupan
dunia dan akhirat. Firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Qashash ayat 77 :
Artinya
: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) di akhirat dan jangan kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi“.
Keyakinan
tersebut harus dipegang dengan teguh, mantap tak tergoyahkan, karena di abad
millenium mungkin ada pengaburan arti dan makna.
Jadi
jelaslah pembicaraan masalah aqidah/tauhid, pada intinya adalah membicarakan
tentang rukun iman. Setiap orang yang ingin mendapatkan keselamatan,
kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka ia wajib percaya kepada 6 (enam) perkara
yang disebut dengan rukun iman sebagai tersebut terdahulu. Orang yang beriman
disebut mukmin. Selanjutnya rukun iman sebanyak 6 (enam) perkara ini, kami coba
untuk menguraikannya, satu persatu, sebagai berikut :
1)
Beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala
Dalam
Islam, iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala menempati posisi yang sangat
sentral. Iman kepada Allah, berarti mengimani Allah dalam rububiyah, uluhiyah,
asma dan sifat. Rububiyah artinya mengimani Allah adalah Rabb sebagai pencipta,
pengatur, penguasa segala yang ada di alam ini. Uluhiyah artinya adalah Allah
ialah satu-satunya zat yang wajib disembah. Iman kepada Asma dan Sifat-Nya,
berarti bahwa Allah memiliki nama-nama yang maha indah (seperti dalam Asma’ul
Husna) dan sifat-sifat yang luhur. Menurut faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Allah
memiliki sifat-sifat yang wajib, mustahil dan harus, tergambar dalam sifat 20,
yaitu ; 20 yang wajib, 20 yang mustahil dan 1 (satu) yang harus.
Pengakuan
beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sebenarnya dapat memberikan kesan pada
kehidupan seseorang, sebagai tersebut di bawah ini.
a)
Seseorang yang beriman kepada Allah akan memiliki wawasan yang luas, karena ia
percaya kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi. Dia tidak akan menemui
sesuatu yang ganjil dalam alam ini, karena segala sesuatu yang ada di dalamnya
milik Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak ada sesuatupun juga dalam alam ini yang
dapat menghalang dan membatas rasa cinta dan kecenderungannya.
b)
Orang yang beriman kepada Allah yakin tidak ada jalan untuk mencapai
keselamatan dan keberuntungan kecuali dengan jiwa yang bersih dan beramal
saleh. Kesadaran itu timbul karena ia beriman kepada Allah Yang Maha Kaya dan
Maha Adil, bergantung harap segala sesuatu kepada-Nya.
c)
Orang yang beriman tidak mudah dihinggapi rasa putus asa, pesimis dan hilang
harapan dalam keadaan apapun, karena ia adalah orang yang beriman.
d)
Iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala mendidik manusia dengan kekuatan yang
besar, bulat, tekad, berani, sabar, tabah dan tawakkal ketika menghadapi
peristiwa / perkara besar di dunia ini demi mengharap keridhaan Allah Subhanahu
Wata’ala.
e)
Perkara paling penting dalam hubungan ini ialah iman kepada Allah menjadikan
manusia terikat dan patuh kepada undang-undang / peraturan Allah.
Untuk
memperlengkap pembahasan, disini akan diuraikan tentang tanda-tanda orang yang
beriman, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, sebagai berikut :
a)
Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah
tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat Al Qur’an, maka
bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (Al-Anfal : 2). Dia akan
memahami ayat yang tidak ia pahami.
b)
Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah,
diiringi dengan do’a, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah dan
Sunnah Rasul (Ali Imran : 120, Al-Maidah : 12, Al-Anfal : 2, At-Taubah : 52,
Ibrahim : 11, Mujadalah : 10, dan At-Taghabun : 13).
c)
Tertib dalam melaksanakan sholat dan selalu menjaga pelaksanaannya (Al-Anfal :
3, dan Al-Mu’minun : 2, 7). Bagaimana sibuknya, jika sudah masuk waktu sholat,
dia segera sholat untuk membina kualitas imannya.
d)
Menafkahkan rezki yang diterimanya (Al-Anfal : 3, dan Al-Mu’minun : 4). Hal ini
dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah
merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang
kaya dan yang miskin.
e)
Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (Al-Mu’minun
: 3, 5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu
Allah, yaitu Al Qur’an menurut sunnah Rasulullah.
f)
Memelihara amanah dan menepati janji (Al-Mu’minun : 6). Seorang mukmin tidak
akan berkhianat dan ia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
g)
Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (Al-Anfal : 74), berjihad di jalan
Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan
harta benda yang dimiliki, maupun dengan nyawa.
h)
Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (An-Nur : 62). Sikap seperti
itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan
dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul.
Menurut
Abul A’la Maududi, ulama besar dari Pakistan, menyebutkan tanda orang beriman,
sebagai berikut :
a)
Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
b)
Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
c)
Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat.
d)
Senantiasa jujur dan adil.
e)
Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi segala persoalan dan
situasi.
f)
Mempunyai pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
g)
Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi risiko,
bahkan tidak takut kepada maut.
h)
Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
i)
Patuh, taat dan disiplin dalam menjalankan peraturan Ilahi.
Dalam
rangka menambah / mempertebal iman kita kepada Allah, manusia diperintahkan
mempelajari alam semesta, ia adalah laksana kitab penuh khazanah dan hikmah
penuh terbuka di hadapan kita, menjadi “Aayatun bayyinah” bukti-bukti yang
terang benderang tentang ke-Esaan dan Kekuasaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Manusia
dilarang memikirkan hakikat zat Allah. Demikian penegasan agama, tetapi logika
juga memahaminya. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam : “Tafakkaruu
fii kholqillahi walaa tafakkaruu fii dzaatihi fatahlikuu“.
Artinya
: “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan kamu
berfikir tentang zat-Nya, niscaya kamu celaka“.
2)
Beriman kepada Malaikat-Malaikat
Iman
kepada Malaikat adalah masalah akidah yang kedua sesudah iman kepada Allah
Subhanahu Wata’ala. Para Malaikat itu adalah hamba Allah yang dimuliakan.
Mereka adalah makhluk yang tak pernah membantah atau meninggalkan segala yang
diperintah Allah. Malaikat ini tidak membutuhkan makan, minum, tidak laki-laki
dan tidak perempuan. Jumlahnya banyak sekali, tetapi yang wajib diketahui
sebanyak 10 orang. Para Malaikat dimaksud adalah :
a)
Jibril, tugasnya membawa wahyu, semenjak Nabi Adam Alaihissalam sampai
kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, Malaikat Jibril adalah
sebagai kepala seluruh Malaikat. Malaikat Jibril disebut juga Namus, Ruhul
Amin, Ruhul Kudus.
b)
Mikail, tugasnya mengatur peredaran benda-benda angkasa, termasuk pula
menurunkan hujan.
c)
Isrofil, tugasnya meniup terompet.
d)
Izrail, tugasnya mencabut nyawa dan juga sering disebut dengan Malaimat
Maut.
e)
Mungkar dan Nakir, tugasnya menanyai mayit di dalam kubur.
f)
Raqib, tugasnya mencatat kebaikan hamba Allah.
g)
Atid, tugasnya mencatat keburukan hamba Allah.
h)
Malik, tugasnya menjaga neraka.
i)
Ridwan, tugasnya menjaga surga.
Masih
banyak lagi tugas-tugas Malaikat yang telah ditentukan Allah kepadanya, yang
sama sekali tidak bersangkut paut dengan urusan materi dan perihal hidup dan
kehidupan insan di dunia. Malaikat dinyatakan sebagai makhluk Allah yang kuat,
memiliki sayap-sayap yang banyak, sehingga dengan demikian memungkinkan mereka
untuk melakukan gerakan yang paling cepat. Dalam Al Qur’an ada sebuah simbol
kecepatan yang digambarkan tentang daya gerak Malaikat, yaitu kecepatan sehari
bari Malaikat sama dengan 50.000 tahun lamanya di dunia ini.
Iman
kepada para Malaikat sangat besar nilainya dalam hidup dan kehidupan sebagai
manusia yang selalu penuh dengan berbagai persoalan, maka seorang muslim
haruslah selalu optimis, tidak boleh ragu dan gentar dalam menghadapi masalah
apa saja, baik di kala seorang diri sebatang kara, maupun di waktu
bersama-sama, karena ada iman bahwa Allah mempunyai petugas-petugas bernama
Malaikat yang selalu siap untuk memberikan pertolongan dan bantuannya.
3)
Beriman kepada Kitab Suci
Beriman
kepada kitab suci atau kitab-kitab Allah, artinya membenarkan bahwa
sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada
Nabi dan Rasul-Nya. Kitab itu merupakan wahyu dari Allah serta mengandung semua
hukum-Nya dan segala berita dari-Nya. Rasul-rasul yang menerima wahyu-wahyu itu
adalah manusia-manusia pilihan Allah diantara kelompok-kelompok manusia yang
memiliki ciri-ciri khas dan karakteristik dalam segi-segi rohaniah dan
jasmaniah. Wahyu-wahyu yang diterima oleh para Rasul itulah yang dinamai Shuhuf
atau Kitab. Setiap Rasul yang diutus Allah kepada manusia dipersenjatai dengan
Kitab. Kitab itulah yang menjadi pedoman pemimpin baginya, dan Kitab itulah
menjadi kamus atau Undang-Undang buat manusia yang dipimpinnya.
Adapun
kitab yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala itu, adalah :
a)
10 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Adam Alaihissalam.
b)
60 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Syist Alaihissalam.
c)
30 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Idris Alaihissalam.
d)
30 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam.
e)
10 Shuhuf diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam.
Untuk
para Nabi / Rasul penerima kitab adalah :
a)
Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam.
b)
Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud Alaihissalam.
c)
Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa Alaihissalam.
d)
Kitab Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Para
Rasul mendakwahkan wahyu itu kepada ummatnya, mengajak mereka kembali ke jalan
yang benar, menyembah kepada Allah dan menjauhkan dari perbuatan syirik.
Kitab
Taurat ditulis dalam bahasa Ibrani untuk syari’at dan hukum. Isi kitab Taurat,
isi pokok adalah 10 firman Allah bagi bangsa Israil. Di dalam kitab Taurat
terdapat beberapa syari’at dan hukum agama yang sesuai dengan tempat dan
kondisi masa itu. Taurat menerangkan akidah-akidah yang benar, janji-janji
Allah dan ancaman-ancaman-Nya. Dalam Taurat juga ada keterangan yang tegas
tentang akan datangnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai kunci
para Nabi dan Rasul, untuk menggantikan ajaran-ajaran sebelumnya.
Kitab
Zabur isinya mengandung beberapa do’a, zikir, pengajaran dan hikmat. Hukum
agama dan syari’at tidak ada di dalamnya, karena Nabi Daud Alaihissalam dalam
sejarah kenabian, mengikut dan menurut hukum Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa Alaihissalam.
Kitab
Injil bertujuan menerangkan beberapa hukum dan mengajak manusia kembali kepada
Aqidah Tauhid (Monotheisme) dan Injil bertugas mengadakan perbaikan
agama Bani Israil yang telah kacau dan nyeleweng. Injil pun menerangkan tentang
hal kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kelak. Kitab ini
mengikuti Taurat Nabi Musa Alaihissalam.
Kitab
suci Al Qur’an adalah kitab yang oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam
sebagai “Ma’dubatullah” (hidangan Ilahi). Hidangan ini membantu manusia untuk
memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi
ummat Islam dalam menghadapi persoalan hidup.
Al
Qur’an sebagai mu’jizat, berisi petunjuk yang menjadi sentral wacana ideologi
manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena itu Al Qur’an juga disebut
seperti Al Kitab (pedoman), Adz Dzikir (peringatan), At-Tibyan (penjelas),
Al-Furqan (pembeda), Asy-Syifa (penyembuh) dan lain-lain mengisyaratkan bahwa
ia bukan sekedar kitab ilmu pengetahuan, namun sebagai petunjuk, pengarah dan
pembimbing keseimbangan potensi rasional dan emosional yang sarat dengan nuansa
Islami.
Dalam
Al Qur’an ada firman Ilahi yang menegaskan kebenaran bahwa Al Qur’an itu
benar-benar diwahyukan Tuhan Allah Subhanahu Wata’ala dan Allah Subhanahu
Wata’ala juga yang memeliharanya. Pada surah Al-Isra / Bani Israil (ayat 105)
firman Allah yang terjemahannya, kira-kira : “Dengan kebenaran (Kami)
(Allah) telah menurunkan (Al Qur’an) dan dengan (membawa) kebenaran ia telah
turun (!)“. sementara ahli tafsir menterjemahkan kalimat kedua daripada
rentetan ayat tersebut : “Dan pada tempat yang benar ia (Al Qur’an) telah
turun (!)“. Dalam surah Al-Hijr ayat 29 didapati pula firman Ilahi
(terjemahannya) : “Sesungguhnya Kami (Allah) yang telah menurunkan
peringatan (Al Qur’an) itu, dan sesungguhnya Kamilah penjaganya (!)“.
Tidak
perlu kiranya seorang manusia harus menjadi seorang filusuf terlebih dahulu
untuk dapat memahami ketegasan makna firman Ilahi tersebut di atas. Akan tetapi
dengan fikiran sederhana saja dapatlah kita mengetahui dan meyakini 4 (empat)
faktor utama yang terkandung dalam ayat-ayat qur’aniyah dimaksud :
a)
Kitab suci Al Qur’an adalah benar-benar wahyu Ilahi yang diwahyukan-Nya kepada
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
b)
Kitab suci Al Qur’an itu berisi kebenaran mutlaq daripada Allah yang Maha Kuasa
dan Maha Mengetahui.
c)
Turunnya Al Qur’an kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah
benar dan tepat, selaku penerima pertama dan pemegang amanat Allah yang akan
menyampaikannya kepada manusia.
d)
Kitab suci Al Qur’an itu senantiasa dipelihara keasliannya dan keutuhannya dari
tangan-tangan yang hendak merusak keaslian dan keutuhannya, serta kekekalannya
sepanjang kurun zaman sampai datang waktunya Iradat Ilahiyyah akan mengangkaynya
kelak di akhir zaman, menjelang pergantian kehidupan duniawi yang fana dengan
hari akhirat yang kekal abadi.
4)
Beriman kepada Rasul-Rasul
Beriman
kepada Rasul-Rasul Allah ialah percaya bahwa Allah telah pilih Rasul-Rasul buat
menyampaikan petunjuk, perintah dan larangan-Nya untuk kebaikan dunia akhirat.
Kita wajib beriman / percaya kepada Rasul-Rasul itu dan sebagai Rasul terakhir
adalah Rasul Allah Muhammad Shalallahu alaihi wassalam.
Mengenai
jumlah Rasul / Nabi tidaklah diketahui secara pasti. Sebagian ulama berkata
Rasul itu berjumlah 313 orang dan Nabi berjumlah 124.000 orang. Adapun Nabi dan
Rasul yang nama-namanya tersebut dalam Al Qur’an sebanyak 25 orang. Seluruh
para Rasul dan nabi maka Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai
penghulu dari segala Nabi dan Rasul. Ada yang mencatat keistimewaan Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dari segala Rasul terdahulu, adalah :
a)
Beliau adalah Rasul terakhir dan risalah yang sempurna.
b)
Beliau Rasul internasional, risalah universal, berlaku untuk seluruh manusia
dan sepanjang zaman.
c)
Beliau adalah semulia-mulia Nabi dan Rasul, bahkan sebagai penghulu segala Nabi
dan Rasil (Sayyidul anbiya wal mursalin).
Ada
juga catatan perbedaan antara Rasul dan Nabi, sebagai berikut :
a)
Nabi : “Insaanun
dzakarunhurrun uuhiya ilaihi bissyar’in lil amali khoshshoh“.
Artinya
: Nabi manusia laki-laki merdeka yang diwahyukan kepadanya dengan
hukum syara untuk diamalkannya sendiri.
b)
Rasul : “Insaanun dzakarun
hurrun uuhiya ilaihi bisyar’in lil amali wattabligh“.
Artinya
: Manusia laki-laki merdeka yang diwahyukan kepadanya dengan hukum
syara untuk diamalkannya sendiri serta disampaikan kepada orang lain.
Semua
Rasul yang pernah diutus Allah sepanjang sejarah manusia, sesungguhnya mereka
adalah manusia biasa (tetapi pilihan). Selaku manusia, memiliki sifat-sifat
kemanusiaan yang umum, seperti makan, minum, tidur, berumah tangga, hidup
bergaul dengan masyarakat. Jadi Rasul itu tidak pernah dari jenis Malaikat,
bangsa Jin bahkan Rasul itu tidak ada dari golongan manusia perempuan.
5)
Beriman kepada Hari Kemudian / Hari Akhir
Sebagai
rangkaian dari rukun iman, iman kepada Hari Kemudian / Hari Akhir selalu
dirangkai erat dengan ayat. Ayat dan hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam banyak menyebut nama Allah dan hari akhir.
Iman
kepada hari akhir ialah mengi’tikadkan dengan kesungguhan, bahwa hari akhir itu
benar-benar ada dan bakal tiba atau pasti terjadi. Hari akhir merupakan mata
rantai lokasi waktu yang pasti diinjak dan dialami oleh setiap orang.
Suatu
fakta yang tak bisa dibantah, bahwa dengan mata kepala kita saksikan, manusia
ini sudah ada 3 (tiga) alam yang dilaluinya. Tiada seorangpun mampu mengelak
dari qodrat itu, sekalipun ia orang yang berkuasa (kaisar / raja) ataupun
konglomerat kelas tinggi. Tiga alam yang telah kita saksikan dengan kepala dan
mata hati itu ialah :
a)
Alam rahim / alam kandungan selama 9 bulan 9 hari.
b)
Alam syahadah (alam dunia) selama hidup yang relatif sama dengan lokasi yang
disandangnya yaitu antara 1 – 100 tahun.
c)
Alam qubur selama hayat habis sampai qiamat.
Fase
pertama sungguh singkat, disusul fase kedua agak sementara dan alam ketiga agak
lama. Kemudian disusul dengan hari akhir / hari kemudian.
Beriman
kepada hari akhir / hari kemudian berarti juga mengimani akan adanya hidup
kedua sesudah hidup di dunia ini. Adapun hikmah beriman kepada hari akhir itu
antara lain :
a)
Dapat menseimbangkan usaha akhirat dengan duniawi.
b)
Merupakan motivasi (dorongan) bagi muttaqin. Beriman kepada hari akhir,
menumbuhkan harapan positif bagi orang yang bertaqwa.
c)
Dapat mengarahkan tujuan hidup (ultimate gole) yang benar. Dengan
meyakini kehidupan akhirat, seseorang dapat menentukan tujuan hidup ini ?
Apakah hanya untuk berfoya-foya yang sifatnya sementara. Dengan pimpinan ajaran
agama Islam, kita dapat menentukan tujuan hidup yang benar.
d)
Menumbuhkan harapan (optimisme). Orang yang tidak beriman kepada hari akhir
pada hakikatnya sudah kehilangan harapan. Tidak mengherankan hidup di dunia ini
mereka harus melakukan apa saja yang dianggapnya menyenangkan. Sebaliknya orang
beriman / yakin adanya hari akhirat, mereka mengatur hidupnya dengan seimbang.
Kesehatannya, kepandaiannya, hartanya dan jiwanya bila perlu dipertaruhkan pada
ridha Allah, sebab ada harapan lebih bagus.
Secara
ilmu pengetahuan (sains modern) dunia inipun pasti hancur. Karena apa
sumber kehidupan adalah berpangkal pada sinar matahari. Dengan cahaya yang
dipancarkannya ke bumi, maka ia menjadi penyebab berlangsungnya kehidupan
seluruh makhluk hidup di bumi ini. Cahaya panas matahari itulah yang
menyebabkan peredaran angin, pergantian musim dan turunnya hujan. Oleh para
ahli telah diperkirakan, bahwa garis tengah matahari 1.400.000 kilometer,
sedangkan temperatur atau panas di permukaannya 6.000 derajat Celcius dan panas
di dalam matahari 5.000.000 derajat celcius dan panas intinya 20.000.000
derajat celcius.
Panas
besar itu dihasilkan oleh reaksi nuklir yang terus menerus berlangsung disertai
dengan kehilangan zat-zat sebesar 4.000.000 ton per detik. Matahari sebagai
arang terbakar pijar yang setiap detiknya, materinya habis terbakar, tentu
akhirnya arang itu habis menjadi debu, padamlah ia. Jadi jelaslah lambat laun
matahari pasti padam. Karena itu bumi kita ini akan menjadi malam terus
menerus. Matahari adalah sumber energi dan tenaga, karena ia padam, maka
energipun tidak ada lagi. Akhirnya semua jadi beku. Tidak ada lagi angin yang
bertiup, tidak ada hujan yang turun, tidak ada penguapan, semua berhenti dan
mati dan tamatlah semua kehidupan di bumi ini.
Hukum
fisika pun mendukung, bahwa daya rotasi dan revolusi benda-benda langit
tidaklah abadi, suatu waktu akan berakhir, disamping itu gaya gravitasi yang
mendatangkan keseimbangan terhadpa benda-benda langit, juga ada waktunya gaya
itu hilang. Jika sudah terjadi demikian, maka benda-benda langit seluruhnya
akan bertabrakan saling hancur menghancurkan satu sama lain.
Untuk
memperlengkap uraian tentang hari akhir / qiamat perlu juga diketahui tentang
tanda-tanda qiamat. Sudah menjadi sunnatullah bahwa kejadian apa saja baik
kecil atau besar apalagi kejadian besar seperti qiamat didahului dengan
tanda-tanda. Tanda-tanda akan terjadinya qiamat itu, antara lain :
a)
Munculnya Dajjal.
b)
Turunnya Nabi Isa Alaihissalam dan Imam Mahdi.
c)
Timbulnya fitnah bergelombang-gelombang, seperti gelombang laut.
d)
Matahari timbul di Barat.
e)
Setiap orang yang lalu melewati kuburan, berdo’a agar lekas mati, lalu masuk
kubur.
f)
Terlalu banyak wanita dan terlalu sedikit laki-laki dengan perbandingan 1 : 50.
g)
Pengaruh tidak tahu untuk apa ia membunuh, si terbunuh tidak mengetahui apa
sebab ia dibunuh.
h)
Lenyap ilmu pengetahuan, timbul kebodohan (yang dimaksud di sini ilmu
pengetahuan tentang ke-Islaman).
i)
Menghebat perzinahan dan minuman keras yang memabukkan.
j)
Timbul perang antara kaum muslimin dan Yahudi dan peperangan ini dimenangkan
oleh kaum muslimin.
k)
Di bumi ini tidak ada lagi yang menyebut nama Allah.
Selanjutnya
dalam membicarakan tentang beriman kepada hari akhir, perlu juga pembahasan
dengan hal yang berkaitan seperti alam barzah, makhsyar, hisab, syorga, dan
neraka.
Alam
barzah pengertian secara istilah adalah suatu alam yang menjadi batas antara
alam dunia dan alam akhirat, dengan kata lain disebut juga dengan alam kubur.
Sedangkan makhsyar adalah suatu tempat berkumpulnya seluruh manusia sejak Nabi
Adam Alaihissalam (zamannya) hingga akhir (qiamat) setelah manusia bangkit dari
kubur guna mendapat putusan hakim.
Hisab
dari segi bahasa, artinya perhitungan. Sedangkan menurut pengertian hisab yaitu
penelitian amal, yaitu ditetapkan banyak sedikitnya yang baik atau yang buruk.
Sedangkan syurga dan neraka adalah tempat bagi orang yang beroleh nikmat
(syurga) dan tempat orang yang beroleh siksa (neraka).
Sebagai
orang yang beriman, percaya akan adanya hari kemudian / hari akhirat itu adalah
suatu kewajiban yang keterangan akan terjadinya sudah jelas baik secara dalil
Aqli dan dalil Naqli.
6)
Beriman kepada Qodho dan Qodar
Beriman
kepada qodho dan qodar berarti percaya akan segala sesuatu yang sudah terjadi,
sedang terjadi dan yang akan terjadi adalah telah ditentukan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala pada zaman azali. Apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak
akan berubah dan tetap demikian jadinya. Umur dan rizki manusia semuanya telah
ditentukan oleh Allah. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar menjalankan
apa-apa yang ditakdirkan dan manusia tidak tahu apa yang telah ditakdirkan
kepadanya, karena itu Islam melarang keras kepada ummatnya pasrah kepada
takdir. Kepada ummat Islam diwajibkan untuk berusaha dan bekerja keras dalam
usaha memenuhi kebutuhannya. Setelah berusaha dengan sungguh-sungguh barulah
manusia berhak untuk bertawakkal dan berserah diri kepada takdir.
Qodho
berarti keputusan Allah dan Qodar adalah ukuran atas ketentuan Allah. Umat
Islam mengimani kemuthlakan Allah dalam menentukan qodho dan qodar. Maka sikap
yang seharusnya dilakukan sebagai wujud keimanan kepada qodho dan qodar, antara
lain : istiqomah, yaitu taat asas dalam menempuh jalan Allah Subhanahu
Wata’ala. Sabar dengan jalan bertahan terhadap berbagai cobaan dalam berjuang
di jalan Allah. Tawakkal berarti berserah diri pada keputusan Allah Subhanahu
Wata’ala atas usaha yang telah dilaksanakan.
Di
dalam buku Tauhid dalam Pendekatan Fisika Modern, pengarang buku tersebut Drs.
Abdullah Afif, BSc, telah memberikan contoh tentang takdir, sebagai berikut :
a)
Takdir yang bersifat muthlaq dan manusia tinggal menerima tanpa syarat,
misalnya :
-
Manusia dilahirkan menjadi anak tukang becak.
-
Manusia dilahirkan menjadi anak Presiden.
-
Manusia dilahirkan dengan indera yang lengkap.
-
Manusia dilahirkan dengan indera yang cacat.
b)
Takdir yang timbul, karena adanya hukum sebab akibat, misalnya :
-
Tidak lulus ujian karena malas belajar.
-
Kecelakaan di jalan raya, karena lengah mengendarai sepeda motor.
-
Menderita sakit sebab tidak memperhatikan kesehatan.
-
Mendapat musibah karena kurang hati-hati.
c)
Takdir yang akan dialami, namun sebabnya telah diketahui, misalnya :
-
Mendapat bahagia di syurga sebab menta’ati ajaran agama.
-
Mendapat siksa di neraka sebab banyak berbuat maksiat dan mungkar.
d)
Takdir akan terjadi sesuatu, namun tidak berlaku secara umum, misalnya :
-
Rumah di tepi jalan, tiba-tiba ditabrak motor.
-
Rumah yang tiba-tiba hancur sebab kejatuhan meteor.
-
Hutan yang tiba-tiba terbakar di musim kemarau.
-
Seseorang yang tiba-tiba mendapat musibah sebab malam itu kedatangan tamu tak
diundang (pencuri).
e)
Takdir yang terjadi pada seseorang namun sebabnya seakan berlawanan dengan
kenyataan, misalnya :
-
Meskipun belajar dengan giat, namun ujian tetap tidak lulus.
-
Meskipun usaha maksimal, namun tetap tidak berhasil.
-
Tampaknya usaha begitu saja, namun tiba-tiba usahanya berhasil memuaskan.
Menutup
uraian tentang qodho dan qodar ini, disini perlu dinukilkan kembali ceritera
khalifah Umar Ibnul Khattab dengan rombongan yang ingin masuk kampung, tetapi
beliau menerima laporan, bahwa di kampung itu sedang berjangkit penyakit
menular yang sangat membahayakan. Setelah mendengar kabar itu Khalifah Umar Ibn
Khattab lalu mengajak rombongannya kembali. Tapi salah seorang berkata kepada
beliau : “Takutkah engkau (Tuan) dari takdir Allah”. Khalifah Umar Ibn Khattab
akhirnya menjawab, “Kita lari dari takdir Allah menuju ke takdir Allah”.
Pernah
juga terjadi di zaman Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam ada seseorang
sahabat beliau yang enggan mengikatkan tali untanya dan berkata bahwa ia
berbuat demikian, karena sudah benar-benar bertawakkal kepada Allah Subhanahu
Wata’ala. Akhirnya Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, bersabda : “I’qilha
watawakkal“. Artinya, ikatlah ia dan setelah itu bertawakkal.
Jadi
jelaslah dalam hal memahami masalah takdir ini, kita jangan dahulu pasrah saja
dengan takdir sebelum berusaha dan setelah berusaha barulah bertawakkal. Tidak
salahnya kita berusaha segiat-giatnya dalam bekerja, supaya jangan menjadi
miskin, tetapi dapat hidup berkecukupan. Giat belajar agar jangan sampai bodoh,
tetapi berilmu banyak dan bermanfaat, senatiasa menjaga kesehatan, supaya
jangan menjadi sakit, tetapi senantiasa sehat dan sebagainya. Orang yang enggan
berikhtiar itu pada akhirnya akan sengsara sendiri, karena Allah tidak akan
mengubah nasib seseorang atau golongan, jika manusia / golongan itu tidak suka
berusaha untuk mengubah nasibnya.
Orang
yang punya keyakinan terhadap qodho dan qodar ini punya daya bimbing positif.
Secara garis besar hikmah beriman kepada qodho dan qodar adalah :
a)
Sebagai motivasi ikhtiar.
b)
Tidak mudah putus asa, bila usaha belum berhasil. Orang beriman dalam berusaha
tidak harus kenal istilah gagal, begitu juga dalam menghadapi kesulitan hidup.
c)
Menumbuhkan jiwa tawakkal.
d)
Menjauhkan diri dari watak hypokrol (nifaq). Orang yang punya landasan iman
pada qodho dan qodar selalu mohon pada Allah dengan tawadhu’ baik dalam keadaan
senang atau dalam keadaan bencana.
e)
Dapat menahan diri dari sifat tergesa-gesa.
f)
Menerima sesuatu kesudahan dengan hati rela.
Demikian
uraian singkat tentang aqidah / tauhid dan pembahasannya tentang rukun iman dan
dipersilahkan untuk memperdalam kepada para ahlinya.
Selanjutnya
perlu juga diuraikan tentang yang membicarakan masalah aqidah atau ilmu kalam
atau persoalan-persoalan teologi, seperti : apakah orang muslim yang melakukan
dosa besar masih disebut mukmin ? Apakah iman itu cukup dengan hati dan ucapan,
atau harus dinyatakan dengan perbuatan-perbuatan ? Masalah takdir dan
kebebasan, Aliran-aliran itu ialah : aliran Khawarij, Murji’ah, Jabariah,
Qodariyah, Syi’ah, Mu’tazilah dan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Semua
aliran dimaksud telah disinyalir oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam,
bahwa golongan ummat Islam akan terbagi menjadi 72 golongan dan yang benar atau
selamat hanya satu, yaitu yang berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul
Allah, berpegang kepada Sunnah nabi dan para Sahabat Nabi. Golongan dimaksud
terkenal dengan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
b.
Fiqih / Syari’ah (Ibadah)
Fiqih
secara bahasa artinya tahu dan faham. Orang yang mengetahui atau ahli
dalam bidang fiqih dinamakan Faqih, jamaknya Fuqaha. Menurut
fuqaha, fikih itu adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara atas
perbuatan orang mukallaf yang diperoleh dalil-dalilnya yang tafsili. Objek
fikih itu adalah wajib, haram, sunnah, makruh, mubah, sah dan batal.
Syari’ah
pada asalnya bermakna jalan yang lempang. Para fuqaha memakai kata syari’at
sebagaimana bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hambanya dengan
perantaraan Rasul. Supaya para hamba melaksanakannya dengan dasar iman, baik
hukum itu mengenai amaliyah alhiriyah, maupun mengenai akhlak dan i’tikad.
Secara
simpel syari’at itu adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam hal
kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.
Antara fikih, syari’ah dan ibadah berhubungan erat. Karena ibadah kepada Allah,
Allah sebagai hubungan vertikal dan hubungan antar sesama manusia dan
lingkungannya (horizontal) telah diatur secara hukum syari’ah.
Sebelum
diuraikan masalah iabdah-ibadah khusus dan ibadah umum (ibadah sosial) yang
kaifiat dan dasar hukumnya dibahas dalam fikih atau syari’at Islam, maka patut
sekali diuraikan lebih dahulu tentang pengertian ibadah, macam-macam ibadah,
dasar hukum, hubungan niat dengan pengamalan ibadah, sebagai berikut :
1)
Pengertian ibadah secara etimologis (lughawi) dan pengertian ibadah secara
terminologi (istilah).
-
Secara etimologis, ibadah berarti mematuhi, tunduk, berdo’a (Ensiklopedi Islam
yang diterbitkan Depag RI, 1993 : 2, 385).
-
Secara terminologis, ibadah berarti kepatuhan / ketundukan kepada dzat yang
memiliki puncak keagungan Tuhan yang Maha Esa. Ibadah mencakup segala bentuk
kegiatan (perbuatan dan perkataan) yang dilakukan oleh setiap mukmin muslim
dengan tujuan mencari keridhaan Allah.
2)
Dasar Hukum
Hukum
ibadah didasarkan pada firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Qur’an surah Al
Baqarah ayat 21 :
Artinya
: “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah mencipta kamu dan
orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (Al Baqarah ayat 21).
Di
dalam Al Qur’an malah terdapat penjelasan bahwa penciptaan manusia oleh Allah
tidak mengandung maksud lain, kecuali supaya mereka menyembah Allah / beribadah
kepada-Nya. Hal ini disebutkan dalam Al Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 56 :
Artinya
: “Dan Aku tidak menjadikan Jin dan Manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku (beribadah kepada-Ku)” (Adz-Dzariyat ayat 56).
3)
Macam-macam Ibadah
Ibadah
dapat dibagi kepada empat macam berdasarkan : (1) khusus – umum, (2)
pelaksanaan, (3) kepentingan pribadi dan masyarakat, dan (4) bentuk dan
sifatnya.
Dari
segi khusus dan umumnya, ibadah terbagi kepada :
a)
Ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh Nash Al
Qur’an atau Al-Hadits, seperti sholat, puasa, haji. Ibadah yang terkategori
ibadah khusus tidak menerima penambahan dan pengurangan.
b)
Ibadah umum, yaitu semua perbuatan baik / terpuji yang dilakukan oleh manusia
muslim-muslim dengan niat ibadah dan diamalkan semata-mata karena Allah.
Ibadah
umum, dengan demikian amatlah banyak. Diantara contohnya adalah makan minum
dengan niat agar badan menjadi sehat, sehingga kuat beribadah. Demikian juga
mendidik anak dengan niat agar ia menjadi anak yang saleh; membeli kain sarung,
mukena, sajadah dengan niat agar nyaman beribadah; berusaha memperoleh uang
banyak dengan niat agar dapat melaksanakan ibadah haji; bergaul dengan isteri
dengan niat agar terhindar dari perbuatan menyimpang. Pendeknya semua perbuatan
mukmin – muslim (tentu saja baik dan halal) yang dilakukan dengan niat ibadah
terhitung ibadah umum.
Ditinjau
dari segi pelaksanaannya, ibadah terbagi kepada :
a)
Ibadah jasmaniyah dan ruhaniyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan
menggunakan jasmani dan ruhani, seperti sholat dan puasa.
b)
Ibadah ruhaniyah dan maaliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan
menggunakan jasmani, ruhani dan harta sekaligus seperti zakat.
c)
Ibadah jasmaniyah, ruhaniyah dan maaliyah, yaitu ibadah dilaksanakan dengan
menggunakan jasmani, ruhani dan harta sekaligus, seperti haji.
Ditinjau
dari segi pribadi dan masyarakat, ibadah terbagi kepada :
a)
Ibadah fardi, yaitu ibadah yang dapat dilaksanakan secara perorangan, seperti
sholat dan puasa.
b)
Ibadah ijtima’i, yaitu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi tuntutan
kebutuhan sosial kemasyarakatan, seperti zakat dan haji.
Ditinjau
dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah terbagi kepada :
a)
Ibadah yang terdiri dari atas perkataan atau ucapan lidah seperti berdzikir,
bertasbih, bertahmid, bertahlil, bershalawat dan lain sebagainya.
b)
Ibadah yang sudah terinci perkataan dan perbuatannya, seperti sholat, zakat,
puasa dan haji.
c)
Ibadah yang tidak ditentukan teknik pelaksanaannya, seperti menolong orang
lain, berjihad, membela diri, mendirikan madrasah, masjid, rumah sakit dan
sebagainya.
d)
Ibadah yang pelaksanaannya dalam bentuk menahan diri, seperti puasa, ihram,
i’tikaf.
e)
Ibadah yang sifatnya menggugurkan haq, seperti membebaskan seseorang dari
kewajiban membayar hutangnya kepada kita, memaafkan kesalahan orang lain kepada
kita dan sebagainya.
4)
Hubungan Niat dengan Pengamalan Ibadah
Niat
secara umum, berarti qashad (maksud, kesengajaan, kesadaran) hati untuk
melaksanakan suatu perbuatan baik. Sedang niat secara khusus, berarti qashad
hati untuk melaksanakan amal (ibadah atau perbuatan baik lainnya) yang
bergandengan dengan amal itu. Jadi niat sholat adalah qashad hati yang
bergandengan dengan awal sholat.
Niat
puasa adalah qashad hati yang bergandengan dengan awal puasa. Akan tetapi,
berbeda dengan niat untuk ibadah lainnya. Niat puasa dapat diqashadkan pada
malam hari _____ kapan saja _____ sejak dari saat magrib sampai waktu menjelang
fajar subuh.
Adapun
yang dimaksud dengan bergandengan dalam niat puasa ialah bahwa niat puasa
tersebut harus bergandengan dengan puasa besoknya. Jadi niat puasa tidak sah –
demikian puasanya juga – jika digandengkan dengan dua (apalagi tiga) hari
setelah malam berniat puasa.
Niat
amat berperan dalam memberi makna dan hukum bagi pelaksanaan suatu amal atau
perbuatan. Ia adalah faktor penentu bagi menetapkan suatu perbuatan baik.
Apakah ia termasuk ibadah atau tidak. Niat itulah yang membedakan antara adat
dan ibadat. Bahkan ibadah mahdhah pun seperti sholat, puasa, zakat dan haji,
jika dilakukan tanpa berniat, maka hukumnya terhitung tidak sah.
Suatu
perbuatan baik yang dilakukan misalnya dalam bentuk memberi uang, pakaian dan
sebagainya, dengan niat beribadah. Sedangkan perbuatan jahat, seperti mencuri,
membunuh, berjudi dan minum yang memabukkan dan sebagainya, meskipun dilakukan
dengan niat ibadah, tidak akan berubah menjadi ibadah.
Sebaliknya
suatu perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan niat beribadha, maka betapapun
baiknya perbuatan itu tidaklah terhitung sebagai ibadah. Bahkan mungkin sekali
perbuatan baik itu terkategori maksiat yang berdosa. Misal dari perbuatan
semacam itu cukup banyak. Seorang cukong, misalnya menolong seorang gadis
cantik dengan cara memberinya uang, pakaian dan perhiasan dan berbagai hadiah
menarik lainnya dengan niat setelah jinak akan dijadikan simpanan atau
menjualnya kepada bandot kaya yang hidung belang, maka perbuatan baik semacam
itu terhitung maksiat dan mendapat dosa besar.
Ringkasnya
untuk semua ibadah, mahdhah dan ammah, niat itu sangat menentukan. Rasul Allah
Shallallahu alaihi wasallam, bersabda mengenai itu, sebagai berikut :
“Innamal
a’maalu binniiati wainnama likulim riim maa nawa”.
Artinya
: “Segala perbuatan (akan sah) menurut niatnya. Dan bagi setiap
orang (akan mendapat) apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari Muslim dari Umar).
5)
Pokok-pokok Ibadah
Ibadah
yang dimaksud disini adalah ibadah yang telah dirumuskan dalam rukun Islam
(Arkanul Islam). Sedangkan arkanul Islam sendiri boleh dikatakan akidah dan
ibadah telah tercakup semuanya yang unsur yang pertama adalah Syahadatain, baru
kemudian disusul dengan ibadah-ibadah pokok lainnya. Pokok-pokok ibadah yang
diwajibkan adalah sholat lima waktu, zakat, puasa, dan naik haji serta iabdah
yang merupakan muthlaq lainnya sebagai penyerta adalah ibadah bersuci
(Thaharah).
Sebagai
awal pembahasan dari pokok-pokok ibadah ini terlebih dahulu diuraikan tentang :
a)
Thaharah yang meliputi pengertian, macamnya, dasar hukum dan alat thaharah.
(1)
Pengertian Thaharah
Thaharah
(suci) merupakan miftah (alat pembuka) pintu memasuki ibadah sholat. Tanpa
thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka. Artinya tanpa thaharah, ibadah
sholat baik fardhu ataupun sunnat tidak sah.
Karena
fungsinya sebagai alat pembuka (pintu) sholat, maka setiap muslim yang
bermaksud akan mendirikan sholat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan
juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga thaharah itu
sendiri terhitung sah menurut ibadah syar’iyyah.
Thaharah
secara lughawi (semantik) adalah suci. Menurut istilah (terminologi) ahli
fikih, thaharah adalah : menghilangkan sesuatu yang menjadi kendala bagi sahnya
ibadah tertentu. Kendala-kendala tersebut ada yang sifat dan bendanya nyata
sehingga dapat diketahuiu melalui indra, seperti najis (benda-benda najis).
Tetapi ada juga yang sifatnya abstrak (tidak nyata), seperti hadast-hadast.
Benda-benda
najis adalah kotoran-kotoran yang wajib disucikan (dibersihkan) oleh setiap
muslim, jika benda itu mengenai badan, pakaian dan tempat. Jika tidak, bukan
saja badannya, pakaiannya, lingkungannya tidak cusi (kotor) melainkan juga
sholat yang didirikan tidak sah.
Diantara
benda-benda najis itu adalah : nanah, air kencing, air besar, air madzi, air
liut anjing, khamar, darah haid, darah nifas, darah istihadah dan darah yang
keluar dari badan (manusia dan hewan), bangkai binatang darat yang berdarah,
kecuali bangkai manusia, anjing dan babi. Benda-benda najis tersebut jika
terkena badan, pakaian dan tempat, wajib disucikan (dibersihkan).
Adapun
hadast adalah keadaan tidak suci. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak suci
dikatakan berhadast yang menyebabkannya tidak boleh sholat, tawaf dan yang
semacamnya. Seorang muslim yang batal wudhunya sudah berada dalam kondisi
berhadast. Jika ia segera berwudhu maka ia suci kembali dan oleh karenanya ia
boleh sholat, tawaf dan amal lainnya yang bersyaratkan wudhu.
Hadast
terbagi dua : (1) hadast kecil dan (2) hadast besar. Hadast kecil terjadi
karena kita batal wudhu, sedang hadast besar muncul karena terjadi sesuatu yang
menyebabkannya, misal berhubungan dengan isteri dan sebab lainnya yang
menyebabkan mandi.
(2)
Macam-macam Thaharah
(a)
Thaharah (bersuci) dari najis
(b)
Thaharah (bersuci dari hadats)
Bersuci
dari hadast dengan cara berwudhu, tayamum dan mandi.
(3)
Dasar Hukum Thaharah dan Alat Thaharah
Dasar
hukum thaharah adalah :
(a)
Firman Allah yang berbunyi : “Wa inkuntum junuban faththahharu“. Artinya
: … jika kamu (dalam keadaan junub) maka mandilah.
(b)
Hadist Rasul Shallallahu alaihi wasallam “Miftahushsholat aththuhuut“.
Artinya : Alat pembuka (pintu) sholat adalah bersuci.
Para
ulama menjelaskan bahwa ayat di atas dan hadist memberikan penegasan bahwa thaharah
itu hukumnya wajib, tidak saja bagi seorang muslim untuk mendirikan sholat
melainkan juga wajib dalam semua keadaan, terutama bersuci dari najis dan
hadast besar.
Masalah
alat thaharah itu, adalah : air dan tanah.
(4)
Cara membersihkan Najis
Membersihkan
najis sebagai berikut :
(a)
Najis Mukhaffah (enteng) seperti kencing kanak-kanak laki-laki yang belum makan
makanan selain dari susu. Kaifiat membersihkannya memadai memercikkan air atas
benda itu meskipun tidak mengalir. Adapun kencing kanak-kanak perempuan yang
belum makan selain susu, maka kaifiat mencucinya hendaknya dibasuh sampai
mengalir air di atas benda yang kena najis itu dan hilang zat najis dan
sifat-sifatnya, seperti membersihkan kencing orang dewasa.
(b)
Najis Mutawashshithah (pertengahan), yaitu najis yang terbagi kepada dua bagian
:
-
Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya tetapi tidak ada zatnya, baunya,
rasanya dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga
sifat-sifatnya telah hilang, cara mencucinya cukup mengalirkan air di atas
benda yang kena najis itu.
-
Najis ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa atau baunya; terkecuali
warna atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara
mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.
(c)
Najis mughallazhah (tebal) yaitu anjing. Cara membersihkannya, hendaklah
dibasuh tujuh kali, satu kali daripadanya hendaklah airnya dicampur dengan
tanah.
(5)
Istinja
Apabila
keluar kotoran daripada salah satu dua pintu, wajib istinja dengan air atau
dengan tiga buah batu; yang lebih baik mula-mula dengan batu atau sebagainya,
kemudian diikuti dengan air. Batu disini ialah tiap-tiap yang keras, suci dan
kasat, seperti kayu, tembikar dan sebagainya (Fiqh Islam, H. Sulaiman
Rasyid). Adapun benda yang licin seperti kaca, tidak syah buat istinja,
karena tidak dapat menghilangkan najis.
Syarat
istinja dengan batu dan yang seumpamanya, hendaklah sebelum kotoran kering; dan
kotoran itu tidak mengenai tempat lain selain tempat keluarnya. Jika kotoran
itu sudah kering atau mengenai tempat lain selain tempat keluarnya, maka tidak
syah lagi istinja dengan batu, tetapi wajib dengan air.
Masalah
istinja ini harus benar-benar diperhatikan karena ia dalam rangka menghilangkan
najis. Pernah diriwayatkan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, melewati
dua kubur, ketika itu beliau berkata : “Kedua orang yang ada dalam kubur ini
disiksa. Yang seorang disiksa karena mengadu-adu orang dan yang seorang lagi
disiksa karena tidak mengistinja kencingnya”.
Untuk
melengkapi masalah istinja ini, disini dinukilkan tentang adab buang air,
sebagai berikut :
(a)
Sunnat mendahulukan kaki kiri ketika masuk kakus (WC) dan mendahulukan kaki
kanan ketika keluar. Karena sesuatu yang mulia hendaklah dimulai dengan yang
kanan, sebaliknya tiap-tiap yang hina dimulai dengan yang kiri.
(b)
Janganlah berkata-kata selama dalam kakus, atau membawa barang yang ada tulisan
yang sifatnya dzikrullah, karena apabila Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam akan masuk kakus, beliau mencabut cincin beliay yang berukir Muhammad
Rasul Allah.
(c)
Hendaklah memakai sepatu atau terompah atau seumpamanya, karena Rasul Allah
Shallallahu alaihi wasallam apabila masuk kakus beliau memakai sepatu.
(d)
Hendaklah jauh dari orang sehingga bau kotoran tidak sampai kepadanya, supaya
jangan mengganggu orang itu.
(e)
Jangan buang air di air yang tenang, kecuali air tenang itu besar seperti
tebat.
(f)
Jangan buang air di lubang-lubang tanah, karena kemungkinan ada binatang yang
akan mendapat kesakitan dalam lubang itu.
(g)
Jangan buang air di tempat perhentian, karena mengganggu orang yang berhenti di
sana.
Di
atas telah diuraikan sebagai mukaddimah dari pelaksanaan ibadah pokok yaitu
Thaharah (bersuci), sampailah uraian selanjutnya masalah ibadah pokok / ibadah
mahdhah : sholat, puasa, zakat, dan gaji, sebagai berikut :
a)
Sholat
Sholat
secara etimologis, berarti do’a. Adapun sholat secara terminologis, adalah
perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat tertentu, dimulai
dengan takbir dan disudahi dengan salam. Sebagai rukun Islam yang kedua sholat
juga sebagai tiang agama (siapa yang mendirikan sholat berarti ia mendirikan
agama / menegakkan agama dan siapa yang meninggalkan sholat ia meruntuhkan
agama). Sholat adalah sebagai amal yang pertama-tama dihisab pada hari
pembalasan. Sholat sebagai ibadah yang langsung diterima Rasulullah sewaktu
peristiwa Isro dan Mi’raj.
Sholat
itu sebenarnya modal hidup bagi setiap muslim / mukmin di dunia ini. Masalah
sekarang bagaimana memfungsikan shalat itu agar benar-benar dapat berperan
sebagai modal hidup ? Bagaimana, agar dengan modal sholat itu, kita dapat hidup
lebih sejahtera, makmur dan bahagia ? Jawabnya terletak pada :
(1)
Sholat itu harus didirikan (dilaksanakan) secara tetap dan baik. Dimaksud tetap
dan baik adalah tidak akan meninggalkannya dalam kondisi, situasi serumit
apapun dan dikerjakan sesempurna-sempurnanya sesuai dengan contoh dari Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam.
(2)
Shalat harus diamalkan dengan penu kekhusyuan dan keikhlasan.
(3)
Sholat itu harus diamalkan dengan memenuhi segala persyaratannya, seperti wudhu
yang sempurna, serta badan, pakaian dan tempat yang bersih.
(4)
Pada waktu mendirikan sholat secara berjama’ah, maka tata tertib sholat
berjama’ah dan tata cara do’a di dalam sholat berjama’ah harus dilakukan
setertib-tertibnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam.
b)
Puasa
Puasa
dalam bahasa Arab disebut Shiam atau Shaumu yang artinya menahan diri dari
sesuatu. Kedalam pengertian ini termasuk menahan diri dari berbicara dengan
orang lain. Kuda yang diam dalam bahasa Arab disebut Sha’im (menahan). Demikian
juga angin yang dalam keadaan tenang dan matahari yang sedang berada di titik
kulminasinya disebut shaum (menahan).
Pengertian
puasa menurut terminologi syar’i adalah menahan hawa nafsu makan, minum dan
hubungan seksual sejak dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Berdasarkan
pengertian secara terminologi syar’i itu dapat diketahui bahwa puasa adalah
ibadah yang mempuynyai syarat dan rukun tertentu, diamalkan siang hari sejak
dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan cara menahan diri dari makan,
minum, hubungan sebadan serta perilaku meninggalkan perbuatan tidak terpuji
yang bisa mengurangi makna / nilai / pahalanya. Puasa yang diamalkan dengan
memenuhi semua persyaratan tersebut besar sekali makna dan pahalanya.
Secara
hukum puasa itu ada yang wajib dan yang sunnat, makruh dan haram. Puasa wajib
adalah puasa Ramadhan, puasa nazar, puasa mengkodho dan puasa kifarat. Puasa
sunnat banyak macamnya : puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa Senin Kamis, puasa
Arafah dan lainnya. Puasa makruh ialah puasa setiap hari Jum’at saja, atau pada
hari Sabtu saja. Sedang puasa yang haram adalah puasa pada dua Hari Raya dan
pada Hari Tasyrik yakni pada 11, 12, 13 Dzulhijjah.
c)
Zakat
Secara
bahasa zakat dapat berarti nama’ (tumbuh, subur, tambah besar), Thaharah
(suci), barakah (berkat) dan tazkiyah (pembersihan, penyucian). Secara istilah
(terminologi syar’i) zakat berarti memberikan sesuatu yang wajib diberikan dari
sekumpulan harta tertentu kepada golongan-golongan tertentu yang berhak
menerimanya.
Di
dalam Al Qur’an terdapat istilah-istilah lain yang mengandung pengertian zakat,
diantara istilah itu adalah :
(1)
Shadaqah, seperti terlihat dalam QS. 9 At-Taubah : 103.
(2)
Nafaqah, seperti terlihat dalam QS. 9 At-Taubah : 34.
(3)
Haq, seperti terlihat dalam QS. Al-An’am : 161.
(4)
Afwu, seperti terlihat dalam QS. 7 Al-A’raf : 199.
Akan
tetapi di dalam masyarakat berkembang pengertian yang sesungguhnya tidak salah,
bahwa zakat itu sedekah wajib. Sedangkan sedekah tanpa kaitan dengan wajib
adalah perbuatan menolong yang hukumnya sunnat baikpun dengan harta, tenaga dan
lainnya.
Sebagai
ibadah wajib, zakat mempunyai manfaat ganda yang dapat dilihat dari berbagai
sudut tinjauan, misalnya :
(1)
Dari segi hubungan manusia dengan Tuhannya.
(2)
Dari segi hubungan manusia dengan dirinya.
(3)
Dari segi hubungan manusia dengan masyarakatnya.
(4)
Dari segi hubungan manusia dengan hartanya.
Zakat
adalah salah satu rukun Islam yang lima. Oleh karena itu, setiap muslim yang
memiliki harta yang nisabnya sudah cukup dan haulnya telah sampai wajib
menunaikan zakat hartanya itu. Dasar hukum wajibnya tersebut, terdapat juga
dalam forman Allah dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 43 :
Artinya
: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah
bersama-sama orang ruku“.
Sebagai
salah satu ibadah yang tergolong Maliyah, maka tujuan zakat tidak berbeda dari
tujuan ibadah pada umumnya. Setiap muslim yang menunaikan zakat harus mempunyai
satu tujuan, yaitu beribadah, mendekatkan diri dengan keikhlasan yang penuh
kepada-Nya. Jika pun ada maksud lain dalam berzakat itu maksud tersebut tidak
boleh kecuali mencari keridhaan Allah.
Di
dalam ibadah zakat, karena akan diberikan kepada manusia, terkandung jua tujuan
duniawi yang tidak salah, yaitu mendapat keridhaan manusia. Memang di dalam
ajaran agama Islam dan pengamalan Islami tidak pernah dapat terpisahkan secara
muthlaq antara tujuan-tujuan duniawi dan ukhrawi.
Akan
tetapi, tujuan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah serta mendambakan
keridhaan-Nya adalah tujuan yang tertinggi yang dengannya tercapai tujuan
duniawi. Oleh karena itu setiap muslim, ketika menunaikan zakatnya, tidak perlu
terselip di dalam hatinya tujuan-tujuan lain. Ia harus membulatkan tekad dan
meluruskan hati, bahwa menunaikan zakat ini semata-mata dalam rangka beribadah,
mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap ridho-Nya.
Berpijak
kepada hal manfaat dan tujuan zakat, maka zakat sebagai kewajiban agama yang
bersifat kemasyarakatan harus benar-benar dipahami. Artinya zakat tidak asal
ditunaikan, melainkan harus menggunakan ilmu pengetahuan tentang lingkungan
sekitarnya. Zakat harus mampu memberantas kemiskinan dan menciptakan
kemakmuran. Zakat juga mampu menjembatani hubungan persaudaraan si kaya dan si
miskin.
Zakat
harus mampu merubah kehidupan ummat yang tadinya penerima zakat menjadi pemberi
zakat (Muzakki). Dengan begitu cara pelaksanaan zakat yang sifatnya tradisional
perlu diadakan perubahan. Sistem tradisional, pelaksanaan langsung, diam-diam
kurang dapat mencapai tujuan. Zakat hendaknya dikumpulkan dan didayagunakan
dengan memperhatikan kondisi si penerima zakat, agar tidak berkepanjangan hidup
dalam kemiskinan.
Setelah
merenungkan dan memahami makna, hikmah dan tujuan zakat, disamping memang suatu
kewajiban bagi muzakki untuk menunaikannya. Tetapi yang tak kalah pentingnya
adalah semangat, kegairahan berzakat dalam rangka mensucikan harta, diri dan
sekaligus rasa senang untuk menolong orang lain sangat perlu dilestarikan dan
dikembangkan di masyarakat.
Adapun
orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) ada 8 (delapan) golongan,
yaitu :
(1)
Faqir, dalam persoalan zakat ialah orang yang tidak mempunyai
barang yang berharga dan tidak mempunyai kekayaan dan usaha, sehingga dia
sangat perlu ditolong keperluannya.
(2)
Miskin, dalam persoalan zakat ialah orang yang mempunyai barang
yang berharga atau pekerjaan yang dapat menutup sebagian hajatnya akan tetapi
tidak mencukupinya, seperti orang memerlukan sepuluh dirham tapi hanya memiliki
tujuh dirham saja.
(jadi
dengan kaidah di atas, bahwa faqir itu lebih parah dari pada miskin)
(3)
Amil, ialah orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat,
menyimpannya, membaginya kepada yang berhak dan mengerjakan pembukuannya.
(4)
Muallaf, ini terbagi kepada 4 (empat), yaitu :
(a)
Muallaf muslim ialah orang yang sudah masuk Islam tapi niatnya atau imannya
masih lemah, maka diperkuat dengan diberi zakat.
(b)
Orang yang telah masuk Islam dan niatnya cukup kuat dan ia terkemuka di
kalangan kaumnya. Ia diberi zakat dengan harapan kawan-kawannya akan tertarik
masuk Islam.
(c)
Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang kafir yang disampingnya.
(d)
Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang yang membangkang membayar zakat.
Muallaf
ketiga dan keempat, diberi zakat sekiranya diperlukan, misalnya karena mereka
kita beri zakat, maka tidak usah menyediakan angkatan bersenjata guna
menghadapi kaum kafir atau pembangkang zakat yang biayapun akan lebih besar.
Adapun golongan pertama dan kedua kita beri zakat tanpa syarat.
(5)
Riqab, artinya mukatab ialah budak belian yang diberi kebebasan
usaha mengumpulkan kekayaan agar ia dapat menebus dirinya untuk merdeka.
(6)
Gharim, masalah gharim ini ada tiga macam, yaitu :
(a)
Orang yang meminjam guna keperluan menghindarkan fitnah atau mendamaikan
pertikaian / permusuhan.
(b)
Orang yang meminjam guna keperluan diri sendiri atau keluarganya untuk hajat
yang mubah.
(c)
Orang yang meminjam karena tanggungan, misalnya para pengurus masjid, madrasah
atau pesantren menanggung pinjaman guna keperluan masjid, madrasah atau
pesantren itu.
(7)
Sabilillah, ialah jalan yang dapat menyampaikan sesuatu karena
ridha Allah baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur ulama mengartikan Sabilillah
disini dengan perang. Bagian dari zakat untuk Sabilillah itu diberikan kepada
Angkatan Bersenjata yang lillahi ta’ala, artinya tidak mendapat gaji dari
pemerintah. Pada zaman ini yang paling penting bagian Sabilillah itu ialah guna
membiayai para muballig Islam dan mengirim mereka ke negara-negara non Islam
guna penyiaran agama Islam oleh lembaga-lembaga Islam yang cukup teratur dan
terorgaisasi. Termasuk Sabilillah ialah nafkah para guru-guru sekolah yang
mengajarkan ilmu syari’at dan ilmu-ilmu lainnya yang diperlukan oleh
masyarakat.
(8)
Ibnu Sabil, ialah mereka kehabisan biaya dalam perjalanan baik
karena tidak mencukupi, karena kehilangan atau diramoas.
Selanjutnya
sampailah kepada uraian tentang macam-macam zakat. Dalam garis besarnya zakat
itu hanya terbagi dua, yaitu :
(1)
Zakat al-mal, misalnya emas, perak, hewan ternak, hasil tumbuh-tumbuhan
(termasuk biji-bijian) harta perniagaan.
(2)
Zakat an-nafs (zakat diri) dalam masyarakat Indonesia populer dengan istilah
zakat fitrah, yaitu zakat diri yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim di
bulan Ramadhan.
Untuk
lebih terperinci masalah macamnya zakat, haul, nisab, kadar zakat bisa dilihat
dalam lampiran (Tabel Zakat).
d)
Haji
Secara
bahasa Al-Hajju berarti menyengaja atau menuju atau mengunjungi. Secara istilah
Al-Hajju berarti mengunjung Ka’bah untuk beribadah kepada Allah dengan
syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta beberapa kewajiban tertentu dan
melaksanakannya dalam waktu tertentu.
Haji
adalah rukun Islam yang kelima, oleh karenanya wajib dilaksanakan oleh setiap
muslim yang mampu. Orang yang mengingkari hukum wajibnya adalah kufur dan
murtad dari agama Islam.
Sedangkan
umroh artinya berziarah, secara istilah berziarah mengunjungi Ka’bah untuk
beribadah kepada Allah dengan syarat dan rukun tertentu dan wajib-wajibnya.
Tetapi berbeda dengan ibadah haji, karena umrah boleh dilaksanakan sepanjang
tahun, baik di musim haji atau di luar musim haji.
Kembali
kepada persoalan haji, bahwa haji itu dilaksanakan bagi orang Islam yang mampu
/ kuasa (Istitho’ah), sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Al-Haj 27
:
Artinya
: “Siarkanlah (khabar) diantara manusia tentang (wajib) Haji” (QS.
Al-Haj : 27).
Firman
Allah lagi dalam Al Qur’an pada surah Ali Imran 97 :
Artinya
: “Karena Allah, wajib atas manusia mengerjakan haji ke Baitullah
(yaitu) siapa yang mampu pergi ke sana” (QS. Ali Imran : 97).
Berdasarkan
dua ayat Al Qur’an tersebut nyatalah, bahwa haji itu diwajibkan oleh Allah atas
kita, dan wajibnya adalah atas orang yang mampu pergi kesana itu tentulah orang
cukup belanja dan sehat badan.
Istilah
mampu (istitho’ah) disini para ulama menafsirkannya dengan membagi pada 4
(empat) kategori, sebagai berikut :
(1)
Sehat badannya. Jika ia tidak sanggup menunaikan haji disebabkan tua, cacat,
atau karena sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, hendaklah diwakilkan
kepada orang lain, jika ia mempunyai harta. Jika tidak mempunyai harta, tetapi
mempunyai anak yang patuh dan mampu melakukan haji untuknya, ia wajib
memerintah anak itu untuk melakukannya.
(2)
Tersedianya bekal untuk perjalanan pergi dan kembali serta selama berada di
tanah suci.
(3)
Tersedianya kendaraan, baik dengan memiliki ataupun menyewa dengan harga dan
sewa yang pantas.
(4)
Aman di perjalanan, artinya tidak ada ancaman yang berarti terhadap jiwa,
kehormatan dan harta. Khusus untuk perempuan, diperlukan orang yang
mendampinginya : suami, mahram, atau beberapa perempuan lainnya. Namun bila
perjalanan betul-betul aman, perempuan pun dibenarkan berhaji tanpa teman.
(5)
Memungkinkan melakukan perjalanan : artinya setelah seorang mendapatkan biaya,
masih tersedia cukup waktu untuk melakukan perjalanan haji.
Adapun
wajib haji itu sekali saja, dengan dalil dari Sabda Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam :
“Alhajju
marrotan, faman zaada fahuwa tathawwu’un“.
Artinya
: “Haji itu (wajib) sekali saja; dan barang siapa tambah, maka yaitu
jadi sunat” (H.S.R. Ahmad).
Mengingat
wajib haji itu hanya sekali seumur hidup bagi orang mampu dan sunnat saja
beribadah haji dalam beberapa kali. Maka kiranya, seyogialah bagi kita yang
mampu / kaya mencukupkan naik haji itu sekali saja, kecuali dengan dalih ingin
membawa isteri, anak perempuan dan orang tua yang masih belum haji. Karena apa
masih banyak kewajiban-kewajiban kita dalam hal urusna ummat, seperti
mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan dan lain-lainnya.
Pelaksanaan
ibadah haji dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga cara, ialah :
(1)
Ifrad ialah mengerjakan haji lebih dahulu, baru mengerjakan umrah. Cara ini
tidak wajib membayar dam.
(2)
Tamattu, ialah mengerjakan umrah lebih dahulu, baru mengerjakan haji. Cara ini
wajib membayar dam nusuk (ibadah). Bagi jamaah haji Indonesia kebanyakan
menggunakan cara ini.
(3)
Qiran, ialah mengerjakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu pekerjaan
sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam nusuk (ibadah).
Bagi
jama’ah yang memgambil Haji Ifrad dan Haji Qiran disunnatkan mengerjakan tawaf
Qudum. Tawaf Qudum bukan tawaf umrah dan bukan tawaf haji. Tawaf qudum ini
boleh disambung dengan sa’i dan boleh tidak. Tetapi apabila disambung dengan
sa’i, maka sa’inya sudah termasuk sa’i haji. Oleh sebab itu, waktu tawaf ifadah
dia tidak perlu lagi melakukan sa’i.
Mengenai
syarat, rukun dan wajib haji dan umrah (terlampir tabel ibadah haji dan umrah).
Dalam melaksanakan ibadah haji, haruslah betul-betul Lillahi Ta’ala. Artinya
bukan karena yang lain, seperti ingin menambah nama di depannya dengan sebutan
haji atau hajjah atau ingin merobah songkok hitam menjadi putih dan bisa pakai
surban atau ingin berdagang / pelesiran. Tetapi harus benar-benar karena Allah.
Sebelum
menutup tentang uraian singkat pokok-pokok ibadah, patut juga dikemukakan para
fuqaha besar atau imam mazhab, sebagai berikut :
a)
Imam Abu Hanifah, lengkapnya Abu Hanifah Nu’man Bin Tsabit at-Taimi lahir di
Kufah (80 – 150 H = 699 – 767 M)
b)
Imam Malik bin Anas (95 – 179 H = 713 – 789 M) berdiam dan hidup di Madinah.
c)
Imam Asy-Syafi’i (150 – 204 H = 757 – 820 M). Lahir di Gaza.
d)
Imam Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H = 780 – 855 M) lahir di Bagdad.
Sebagaimana
kita ketahui dalam syari’at Islam 2 (dua) bentuk hubungan, yaitu ibadah dan
muamalah yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun muamalah yang
dimaksud adalah hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam
sekitarnya. Inilah yang disebut dengan kemasyarakatan.
Sehubungan
dengan muamalah itu, Islam telah mempunyai konsep-konsep dasar mengenai
kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan, perekonomian, sosial politik dan lain
sebagainya yang erat hubungannya dengan pergaulan dan hubungan antar manusia.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ajaran Islam itu
lengkap, tinggi, sempurna, integral dan universal dan mampu memecahkan segala
persoalan hidup sehingga Islam sebagai way of life (pandangan hidup).
Oleh
karena itu barang siapa yang memilih agama selain dari agama Islam, sungguh dia
rugi dunia dan akhirat. Dan rugi di negeri akhirat adalah rugi yang paling
besar atau rugi yang sebenar rugi, karena tempat kediaman adalah api neraka.
c.
Akhlak
Dalam
pembahasan masalah akhlak ini, kita mencoba menguraikan mulai dari pengertian
akhlak, tujuan akhlak, dasar-dasar akhlak dan akhlak mahmudah serta akhlak
madzmuumah, sebagai berikut :
1)
Pengertian Akhlak
Akhlak,
jama’ dari pada khuluq artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan.
Secara definisi ada berbagai pendapat.
a)
Ibnu Maskawaih
Akhlak
adalah keadaan jiwa yang mendorong (mengajak) untuk melakukan
perbuatan-perbuatan, tanpa dipikir dan dipertimbangkan lebih dahulu.
b)
Imam Al-Gazali
Akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa daripadanya lahirlah perbuatan-perbuatan
yang mudah dan gampang tanpa perlu dipikirkan dan dipertimbangkan lagi.
Selanjutnya Imam Gazali mengatakan : Apabila sifat itu sekiranya melahirkan
perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syara’ itu dinamakan akhlak yang
baik. Dan apabila menimbulkan perbuatan-perbuatan tercela, sifat yang menjadi
sumbernya dinamakan akhlak yang buruk. Disini ada 4 faktor yang harus diketahui
:
-
Perbuatan baik dan buruk
-
Kriterianya
-
Mengetahuinya
-
Sifat yang cenderung kepada satu dari dua hal yang berbeda dan menyukai salah
satu diantara keduanya, adakalanya itu kebaikan atau keburukan.
c)
Drs. H. Abu Ahmadi
Akhlak
ialah kualitas tingkah laku, ucapan, dan sikap seseorang yang punya nilai utama
dan hina atau nilai tinggi dan rendah.
(Dalam
kata lain halus kasarnya perasaan yang tercermin pada tutur kata dan sikap
seseorang).
Ilmu
akhlak berbeda dengan akhlak, ilmu akhlak sifatnya teoritis sedangkan akhlak
sifatnya praktis. Akhlak ini mempunyai jangkauan yang lebih luas, meliputi
hubungan manusia dengan Kholiqnya dalam wujud ibadah. Hubungan manusia dengan
manusia, bahkan hubungan manusia dengan semesta, dalam bentuk hubungan kerja
sama, gotong royong, bantu membantu dan sebagainya dalam rangka memenuhi
kebutuhan masing-masing.
Pantulan
akhlak mahmudah, baik bersifat vertikal maupun horizontal adalah berupa ihsan.
Orang Islam diharapkan dapat menjadi saksi kebaikan daripada Islam. Sebab jika
tidak, akan menutup nilai Islam itu sendiri.
Apabila
seorang mukmin kurang memperhatikan perilakunya, terutama dalam bergaul dengan
kelompok masyarakat lain akan berakibat kesan negatif terhadap Islamnya.
Iman
dan akhlak sangat erat hubungannya. Ukuran iman dan ibadah itu yang hanya dapat
menyaksikan hanyalah intern umat Islam sendiri, sedangkan akhlak oleh siapa
saja.
2)
Tujuan Akhlak
Tujuan
akhlak adalah agar manusia dapat menjadi baik dan terbiasa dengan pada yang
baik itu. Baik akhlaknya dapat mempermudah membiasakan kebaikan-kebaikan yang
lain. Secara terperinci tujuan akhlak sebagai berikut :
a)
Untuk dapat menghormat Allah dengan semestinya. Hal ini terangkum pada
pengertian Ihsan, Sabda Rasul Allah :
“Al-ihsaanu
anta’budallaha kaanaka taraahu, faillam takun taroohu fainnahu yarooka“.
Artinya
: “Ihsan itu bahwa engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat Dia, maka bilamana tidak, Dia melihatmu” (HR. Muslim)
b)
Meniru perilaku Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam. Sebab Rasul Allah
adalah suri teladan utama.
“Kaana
Rasulullah Shallallahu alaihi wassallama ahsanannaasi khuluqun“.
Artinya
: “Adalah Rasul Allah Shallallahu alaihi wassallam itu sebaik-baik
manusia budi pekertinya” (HR. Bukhari Muslim).
c)
Memperbaiki akhlak sangat menentukan beratnya timbangan amal baik. Lantaran
akhlak baik / bagus dapat menentukan bobot amal baik (mizan). Sabda Rasul Allah
Shallallahu alaihi wasallam :
“Maamin
syaiin filmiizaani atsqolu min khusnul khuluqi“
Artinya
: “Tak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya daripada kebaikan
budi pekerti” (HR. Abu Daud).
d)
Sebagai konsekuensi kelengkapan potensi fisik dan moral. Hal ini sesuai dengan
isi do’a yang selalu dibaca oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang artinya
sebagai berikut :
“Ya
Allah Tuhan kami, sebagaimana Engkau telah baguskan kejadian kami, maka
baguskanlah perangai kami“.
e)
Mengurangi, meniadakan perangai buruk. Karena perangai / akhlak yang buruk
sangat merugikan baik diri sendiri, keluarga atau masyarakat.
3)
Dasar-dasar Akhlak
Mendidik
akhlak hampir setiap orang dapat melakukan. Apalagi jika diidentikkan dengan
istilah morality. Melatih membiasakan dan mendidik akhlak sama halnya
dengan mendidik (mengajarkan) ilmu yang lain.
Hanya
saja menemukan dasar-dasar moral (akhlak) tidaklah mudah. Ahli pendidikan dari
Barat mengatakan : mengajar moral itu mudah, tetapi menemukan dasar-dasar moral
adalah sangat sulit (to teach a morality is easy, but to find foundation of
morality is hard). Bagi orang Islam tidaklah sulit sebab pedoman hidup
orang Islam adalah Al Qur’an dan di dalam Al Qur’an segala-gala ada. Bahkan
akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah Al Qur’an.
Jadi
akhlak Nabi Shallallahu alaihi wassallam adalah manifestasi dari keseluruhan
isi Al Qur’an, karena fondasinya Al Qur’an. Karena akhlak Nabi Shallallahu
alaihi wasallam adalah manifestasi dari kandungan Al Qur’an, maka derajat
akhlak Nabi dapat mencapai tingkatan tertinggi.
Firman
Allah Subhanahu Wata’ala :
“Wa
innaka la’alaa khuluqin a’dhiimin“.
Artinya
: “Sesungguhnya kami benar-benar berbudi pekerti yang agung“.
Dengan
2 (dua) alasan di atas maka dasar akhlak bagi kita ummat Islam, berupa :
a)
Al Qur’an Karim
b)
Perbuatan, pernyataan dan ucapan Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Adapun
produk-produk yang mendasari akhlak sebagai berikut :
a)
Firman Allah
Artinya
: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari qiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab : 21).
b)
Dalam ucapan tutur kata (keteladanan) Rasul diterangkan juga dalam Al Qur’an
ayat 6 surah Al-Mumtahanah :
Artinya
: “Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik daripada sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan si penerima, Allah Maha
Kaya lagi Penyantun” (Al-Baqarah : 263).
c)
Tiap kepala keluarga (orang harus mendidik akhlak anak-anaknya), sabda Nabi
Shallallahu alaihi wasallam :
“Akrimuu
aulaadakum waahsinuu aadaabahum“
Artinya
: “Muliakan anak-anakmu semua dengan menjadikan baik adab (sopan
santun) mereka” (R. Anas).
d)
Dasar bersikap
Firman
Allah :
Artinya
: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia, (karena sombong) dan
janganlah kamu kerjakan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang membanggakan dirinya” (QS. Luqman : 18).
e)
Dasar sifat amanah
Firman
Allah :
Artinya
: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya” (QS. Annisa : 58).
d.
Al-Akhlaqul Mahmudah dan Al-Akhlaqul Madzmuumah
Dalam
menguraikan tentang Akhlaqul Mahmudah dan Akhlaqul Madzmuumah ini, dimulai
dengan pembicaraan :
1)
Akhlaqul Mahmudah, diantaranya adalah :
a)
Ash-Shidqatu (Ash-Shiddiq) artinya jujur dan benar
Jujur
atau benar adalah alat untuk mencapai keselamatan dan keberuntungan serta
kebahagiaan. Dengan jujur dan benar orang akan memperoleh popularitas, selalu
dipercaya, dijadikan teladan bagi orang lain, banyak teman dan sahabat,
perintahnya selalu diturut dan segala perkataannya tidak sia-sia. Semua orang
akan senang dan puas berhadapan dan bergaul dengan orang jujur, sebab mereka
tidak khawatir akan dikhianati, dizhalimi dan terpedaya.
Dengan
jujur orang akan menempuh kehidupan dengan selamat, sahabat yang baik adalah
kejujuran, sebab ia berdaya membawa kita kepada kebahagiaan.
Karena
itu wajiblah berikhtiar agar memiliki sifat jujur, jangan mencoba untuk
berdusta, sebab jujur suatu jalan menuju syurga, sedangkan dusta adalah suatu
sebab menjerumuskan kepada neraka.
b)
Ash-Shabru (Shobar) artinya sabar
Keadaan
yang terjadi di dunia ini terbagi dua, yaitu : yang menyenangkan sesuai
keinginan kita dan yang kedua yang menyakitkan yaitu yang tidak sesuai dengan
kehendak kita. Dan yang kedua inilah tempatnya bersabar diri.
Secara
negatif disebut tahan menderita, secara positif disebut berhati-hati atau
selektif dalam bertindak, sebelum bertindak segala akibatnya difikirkan lebih
dahulu.
Kebahagiaan,
keuntungan, keselamatan, hanya dapat dicapai dengan usaha secara tekun, terus
menerus dengan penuh kesabaran, keteguhan hati, sebab sabar adalah asas untuk
melakukan segala usaha, tiang untuk mencapai segala cita.
Sabar
bukan berarti menyerah tanpa syarat, tetapi sabar adalah terus berusaha dengan
hati yang tetap, berikhtiar, sampai cita-cita dapat berhasil dan di kala
menerima cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala, wajiblah ridha dan hati yang
ikhlas.
Sabar
dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, melalui tiga tahapan, yaitu :
-
Tahap pertama, sabar sebelum beribadat, dengan niat yang benar, ikhlas, tidak
ingin dipuji orang.
-
Tahap kedua, sabar ketika beramal, tidak lupa kepada Allah Subhanahu Wata’ala,
sempurna adab dan caranya dari awal sampai akhir.
-
Tahap ketiga, sabar sesudah selesai beramal, tidak riya, tidak ingin dipuji,
menjauhi segala sesuatu yang akan menghapuskan nilai amal.
c)
Al-Ihsaan (berbuat baik)
Ihsaan
adalah berbuat baik dalam ketaatan terhadap Allah, baik dari jumlah perbuatan,
seperti mengerjakan yang sunnat. Di dalam hadist, Ihsan itu, sembahlah akan
Allah seakan-akan melihat Dia, jika anda tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa
Allah melihat anda. Beribadah hendaklah dengan pendirina yang teguh, tanpa ada
perubahan baik dilihat orang, maupun dalam keadaan sendirian. Kita wajib yakin,
bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
d)
Al-Amaanatu (Amanah) = dapat dipercaya
Seorang
mukmin hendaklah selalu berlaku amanah, jujur dengan anugerah Allah Subhanahu
Wata’ala kepada dirinya, menjaga anggota jasmaniah dan rohaniah (lahir dan
batin) dari maksiat serta mengerjakan perintah Allah dengan sempurna, dimana
pada gilirannya nanti baik kawan atau lawan akan menghormati dan menghargai,
menaruh respect dan simpati yang baik.
Sesuatu
yang dipercayakan orang, baik harta atau ilmu pengetahuan, maupun rahasia
pribadi lainnya yang wajib dipelihara / disampaikan kepada yang berhak
menerimanya.
Hartawan
hendaklah menyampaikan / memberikan hak kepada orang lain dari harta yang kita
miliki, pemimpin hendaklah berbuat dan bertindak sesuai dengan tugas kewajiban
yang diamanahkan.
e)
Al-Khairu (Khair) = kebaikan (baik)
Dalam
hidup ini kita tidak saja disuruh berbuat baik sesama manusia, tetapi
juga terhadap makhluk lain ciptaan Allah seperti binatang, tumbuh-tumbuhan,
lingkungan sekeliling. Sebab setiap kebaikan, walaupun kecil, Allah akan
membalas dengan seadil-adilnya.
Sudah
barang tentu tidak layak kita hanya pandai menyuruh orang berbuat kebaikan,
sedangkan kita tidak mengerjakannya. Oleh karena itu mulailah dengan diri kita
lebih dahulu.
f)
Al-Khusyuu’u artinya pemusatan tujuan dengan tekun
Khusyu
dalam perkataan, jika ibadat yang berpola perkataan, hendaklah dibaca dengan
baik dan benar dan tertuju kepada Allah semata, tekun sambil menunjukkan diri
dan pemusatan tujuan yang terbit dari hati.
Mengerjakan
ibadah dengan merendahkan diri, menunjukkan perasaan hati, tekun dan tetap
senantiasa bertasbih, bertahmid, bertakbir dan bertahlil memuji-muji Allah,
hati tertuju kepada-Nya. Lebih khusus lahi dalam sholat.
g)
Al-Aliefah artinya disenangi
Hidup
dalam masyarakat yang beraneka ragam, memang tidak mudah, sebab anggota-anggota
masyarakat itu, bermacam-macam sifat, watak, kebiasaan dan kesenangan yang
berbeda satu sama lain.
Orang
yang bijaksana tentu dalam menyelami aspirasi / kehendak yang hidup di tengah
masyarakat. Peka dan menaruh perhatian kepada segenap situasi dan senantiasa
mengikuti setiap fakta dan keadaan yang selalu berubah.
Pandai
mendudukkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya, bijaksana dalam sikap dan
tindak, perkataan dan perbuatan. Pribadi yang demikian akan disenangi oleh
anggota masyarakat.
h)
Al-Afwu artinya pema’af
Manusia
ini tidak sunyi dari kekhilafan dan kesalahan. Oleh karena itu jika ada orang
yang berbuat kekhilafan dengan kita. Hendaklah kita lemah lembut menyikapinya
dan terus memberikan maaf atas kekhilafannya. Janganlah kita mendendam dan
mintakanlah petunjuk dari Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga ia sadar mengakui
kesalahannya dan selanjutnya kembali ke jalan yang benar.
i)
Annisatun (Aniesah) artinya manis muka
Bermanis
muka adalah tuntunan agama. Bersikap bijaksana dalam menghadapi isu miring /
negatif, menerima berita fitnah yang menjelekkan nama baik, hendkalah disambut
dengan senyum dan bermuka manis. Banyak orang pandai mempunyai sikap bermanis
muka, sehingga selalu memperoleh sukses dan mencapai kemenangan dalam
diplomasi. Dengan muka manis lawan kita akan mengaku kekeliruan mereka dan
menyetujui kebenaran di pihak kita dan mereka terkesan terhadap sikap kita.
j)
Adh-Dhiyaafah artinya menghormati tamu
Tamu
adalah orang yang datang ke rumah kita, baik datang dari dekat maupun dari
jauh. Dengan bertamu bertambah rapatlah rasa persaudaraan dan menyambung
silaturahmi. Menghormati tamu adalah ciri orang yang benar-benar beriman kepada
Allah. Termasuk dalam arti menghormati tamu adalah menyediakan makan minum dan
tempat tidur selama tiga malam jika ia bermalam (maksudnya tiga hari tiga
malam).
k)
Al-Hayaa’u artinya perasaan malu
Perasaan
malu jika melakukan perbuatan pelanggaran agama, khususnya malu kepada
Allah. Perasaan malu ini pembimbing menuju kehidupan yang selamat, perintis
mencapai kebahagiaan dan sebagai alat menghalangi perbuatan tercela. Orang yang
mempunyai sifat ini terhindar dari perbuatan yang hina. Karena setiap ingin
berbuat yang menyimpang, ia ingat Allah dan malu kepada Allah.
l)
Al-Hukmu bil Adli artinya menghukum dengan adil
Adil
dalam setiap sikap, artinya memberi hak kepada yang mempunyai. Adil terhadap
sesama manusia dalam perkataan dan perbutan, adil dalam hal memutuskan hukum.
Menegakkan keadilan harus tegas, berani, teguh pendirian dan konsekuen
menjalankan kebenaran karena Allah semata-mata.
Adil
adalah sikap tegak lurus, tanpa memihak ke kanan dan ke kiri. Tanpa memandang
hubungan famili dan teman karib.
Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam, pernah bersabda : “Jika sekiranya anakku
Fathimah puteriku mencuri, maka akan saya potong tangannya”.
m)
Al-Ikhoo’u artinya persaudaraan
Seorang
mukmin dengan mukmin lainnya adalah persaudaraan. Maka perbaikilah hubungan
sesama mukmin dengan sebaik-baiknya. Persaudaraan Islam tidak terbatas pada
kebangsaan, kesukuan, tetapi sifatnya universal (menyeluruh). Apabila mengaku
beriman kepada Allah dan melaksanakan ajaran Islam, maka kedudukan adalah sama.
Apakah kaya atau miskin, berpangkat, rakyat biasa, kulit hitam atau kulit putih
adalah sama pada sisi Allah. Tidak kelebihan satu sama lain, kecuali taqwanya.
Demikian
hendaknya di setiap dada seorang mukmin terpatri rasa persaudaraan, solidaritas
terhadap yang lain. Senang sama tertawa, susah sama menangis. Persaudaraan yang
hakiki adalah yang terbit dari perasaan, satu Tuhan, satu Rasul, satu kiblat
dan satu Kitab Suci.
n)
Al-Muruu-ah artinya berbudi tinggi
Sifat
muruu-ah adalah mempunyai budi pekerti yang tinggi, kesatria, selalu membela
kebenaran, ulet berjuang untuk mencapai cita-cita mulia. Merasa tidak puas dan
malu kalau sesuatu rencana yang baik belum berhasil. Perasaan selalu ingin
berbuat baik, ingin menanamkan jasa kepada masyarakat. Dirinya merasa kurang
sempurna, kalau ada beban amanah dari masyarakat yang belum terselesaikan.
Sifat
ini sangat luhur bagi pribadi yang ingin berjiwa bersih dari kotoran sifat
keakuan (individualisme). Orang yang mempunyai sifat muruu-ah, akan membawa
harum nama pribadinya, keluarganya, masyarakat dan bangsanya. Dia akan selalu
bahagia dan tenteram dalam situasi serta keadaan yang bagaimanapun juga.
o)
An-Nadzhofah artinya bersih
Membersihkan
badan, pakaian, tempat tinggal adalah suruhan agama. Maka seyogianyalah manusia
membersihkan badannya dengan mandi, menggunting rambut dan memotong kuku,
membersihkan mulut, hidung, telinga dan anggota badan lainnya.
Pakaian
dan juga tempat tinggal juga harus bersih, karena semua ini adalah pangkal
kesehatan, pokok kegembiraan dan apabila badan sehat, akalpun akan sehat pula,
peribahasa Arab mengatakan : “Al aqlus salim fi jismis salim“.
Artinya
: Aqal yang sehat terdapat pada jasmani yang sehat.
Selain
itu juga berarti mempergunakan nikmat yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala.
Jadi anggota badan lahir hendaklah dibersihkan dan dipelihara dari kotoran,
juga hendaklah digunakan dengan sewajarnya, artinya tiada melanggar batas-batas
agama.
p)
Ar-Rahmah artinya belas kasih
Hendaklah
setiap manusia mempunyai belas kasih terhadap yang lemah, yang kecil, yang
faqir, miskin. Orang yang kuat harus dapat memberikan belas kasihnya kepada
yang lemah, yang kaya menyayangi yang miskin, yang muda menghormati yang tua,
demikian seterusnya sebagaimana kata pepatah : yang tua dihormati dan yang muda
disayangi. Sehingga terjalin rasa kasih sayang dan saling bantu membantu.
Tercipta kerukunan dan kebahagiaan hidup antara yang satu dengan yang lainnya.
Ketahuilah
belas kasih yang kita terima sebenarnya lebih banyak daripada belas kasih yang
kita berikan kepada orang lain. Apalagi kalau kita renungkan belas kasih Allah
kepada kita sebagai hamba-Nya, sungguh tidak dapat kita menghitungnya.
q)
As-Sakhoo-u artinya pemurah
Pemurah
adalah memberikan harta sebagai tambahan dari yang wajib. Dan ini adalah sifat
yang sangat baik dan perangai terpuji. Memberikan sesuatu kepada orang lain
yang memerlukan tanpa mengharapkan balasan kembali.
Sebenarnya
yang disebut rizki bagi seseorang tidak lebih dari apa yang ia makan dan apa
yang ia pakai. Sedangkan selebihnya adalah pada hakikatnya rezeki orang lain
yang masih disimpan pada dirinya.
Sesuatu
yang diberikan kepada orang lain yang memerlukan, adalah merupakan tabungan
baginya yang akan diterima kelak di negeri akhirat.
Orang
yang pemurah selalu disenangi, dikagumi dan mendapat simpati. Kewibawaan diri
yang diperoleh seseorang dari sifat pemurah, membawa dampak positif bagi
masyarakat.
r)
Ash-Sholihatu artinya beramal kebajikan
Amal
sholih adalah setiap perbuatan kebajikan. Apapun, bagaimanapun dan dimanapun
kebajikan itu dilaksanakan. Berbuat amal sholih adalah merupakan realisasi dari
mensyukuri nikmat Allah yang diterima.
Orang
yang beramal sholih adalah orang yang memahami bahwa sangu atau bekal yang
dibawa sesudah mati, teman yang paling setia di dalam kubur, adalah perbuatan
kebajikan.
s)
Asy-Syaja’ah artinya berani
Berani
disini adalah keteguhan hati dalam membela dan mempertahankan kebenaran. Tidak
putus asa dan tidak mundur oleh karena dicerca. Tidak patah semangat. Dan gila
hormat dan pujian.
Jika
ia terkhilaf atau salah, maka tidak segan untuk mengakui kesalahan dan berani
meminta maaf dengan penuh kejujuran.
Dia
berani dan tegas dalam memberantas yang bathil. Karena dia berpedoman berani
karena benar dan takut karena salah. Berani mempunyai arti mampu menanggulangi
penderitaan, kesulitan dan segala macam bahaya yang ditimpakan kepadanya
sebagai akibat dari perjuangan harkat kebenaran.
t)
At-Ta’aawun artinya bertolong-tolongan
Bertolong-tolongan
dalam kebajikan dan taqwa adalah suatu kewajiban agama. Bertolong-tolongan
adalah ciri kehalusan budi, kesucian jiwa, ketinggian akhlak dan membuahkan
kasih sayang antara teman, penuh solidaritas dan mempererat silaturrahmi serta
memperkokoh persahabatan dan persaudaraan.
Orang
yang menerima pertolongan dan menyebabkan ia terlepas dari penderitaan,
kesengsaraan, sudah tentu sangat berterima kasih dan selalu ingat terhadap
pertolongan tersebut.
Orang
yang senang memberikan pertolongan, segala rencana yang akan dilaksanakan pada
umumnya mendapatkan kemudahan. Pintu bahagia seakan terbuka lebar dan orang
lain merasa turut bersyukur atas kebahagiaan yang diterima oleh si penolong.
Memberikan pertolongan janganlah karena sesuatu pengharapan, tetapi berikan
dengan ikhlas sebagai penunaian dari kewajiban dan tugas kemanusiaan guna
mendapat ridha Allah Subhanahu Wata’ala.
u)
At-Tadharru’u artinya merendahkan diri kepada Allah
Sikap
merendahkan diri kepada Allah, hendaknya menjadi pakaian yang tidak lepas dari
pribadi seorang mukmin. Lebih lagi kepada beribadah, berdo’a dan memohon kepada
Allah. Ibadah dan do’a dilaksanakan hendaknya dengan cara dan sikap yang
sebaik-baiknya. Do’a diucapkan sepenuh hati, dengan keyakinan bahwa Allah yang
Maha Pemurah, Maha Kuasa akan mengabulkan permohonan hamba-Nya. Satu diantara
seorang mukmin yang bersifat Tadhaarru’, ialah apabila dibacakan ayat suci Al
Qur’an bergetarlah hatinya, imannya tambah mantap, selalu tawakkal dalam usaha
dan kerja.
Kesadaran
terhadap Allah Maha Kuasa mengakibatkan dia tidak sombong, perkataannya
perlahan dan sederhana, tidak menyatakan sesuatu yang akan diperbuatnya kecuali
dengan kalimat Insya Allah.
v)
At-Tawaadhu artinya merendahkan diri sesama manusia
Merendahkan
diri sesama manusia disebut tawadhu, punya arti bahwa memelihara pergaulan dan
hubungan dengan sesama manusia tanpa perasaan bahwa diri pribadi lebih dari
orang lain, serta tidak merendahkan orang lain. Menghormati kepada orang yang
patut untuk dihormati, menyayangi kepada yang patut disayangi dan mengasihi
kepada yang patut dikasihi. Orang tua dihormati, yang kecil disayang dan yang
lemah dikasihi.
Tawadhu
adalah kebalikan dari sifat takabbur (sombong), siapa yang takabur sebenarnya
ia itu kecil, sebab kalau ia merasa kuat, bukankah gajah lebih kuat, kalau ia
merasa berani, bukankah singa lebih berani, kalau ia merasa pandai, bukankah
kancil lebih pandai. Ketahuilah bahwa setiap manusia masing-masing punya
kelebihan, karena itu janganlah menghina orang lain. Maka barang siapa tawadhu
dengan sesama manusia, niscaya akan disenangi, disegani dan dihormati dalam
pergaulan.
w)
Qona-ah artinya merasa cukup dengan apa adanya
Orang
yang disebut kaya menurut hakikat agama adalah orang yang jiwanya kaya (kaya
jiwa). Bukanlah kekayaan itu terletak pada banyaknya harta benda, tetapi dia
tetap merasa selalu kurang dan ingin menumpuk kekayaan.
Demikian
orang yang disebut qona’ah adalah qona’ah hati. Ketenangan hati dalam menerima
rizki dan pemberian Allah. Tetapi bukan qana’ah dalam bidang usaha dan ikhtiar,
dalam segi perjuangan dalam segi perjuangan mencapai sukses; dalam bekerja
haruslah giat, gigih. Karena hidup adalah bekerja / perjuangan dan jangan
sekali-kali ragu dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini.
Qona’ah
modal hidup utama. Oleh karena itu, giat berusaha, tekun bekerja, rajin
berikhtiar dalam segenap aspek hidup dan kehidupan, ditambah dengan percata
kepada takdir Ilahi sebagai hasil akhir dan merasa cukup dengan apa yang ada
itulah … Qona’ah.
Jika
disistimasikan maka qona’ah itu adalah punya enam unsur :
-
Usaha ikhtiar sekuat kemampuan yang ada
-
Memohon tambahan yang layak kepada Allah
-
Ridho menerima apa yang ada
-
Sabar menerima ketentuan Allah
-
Tawakkal kepada Allah
-
Tidak terpengaruh pada rayuan dunia yang menodai iman
x)
Izzatun Nafsi artinya berjiwa kuat
Jiwa
kuat sering disebut dengan ketahanan mental. Orang yang berjiwa kuat membuahkan
kebajikan, sabar, tekun dan ulet, tidak mengenal putus asa, tidak bersikap
apatis, mampu menghormati orang yang memberikan teguran / koreksi, sehingga ia
dihormati oleh manusia dan dianugerahi Allah dengan kebaikan. Segala rintangan
dan halangan, disambutnya / dihadapinya dengan tenang. Dia tidak lari dari
kesukaran dan kesulitan sebagai konsekuensi dari perjuangan. Diatasinya segala
bentuk kesulitan dengan penuh ketabahan hati.
Kesungguhan
hati adalah modal dalam kerja seseorang yang berjiwa kuat. Dia mengerti
kemampuan dirinya. Orang yang mengenal kapasitas dirinya, selalu mendapat
limpahan rahmat Allah. Dengan jiwa yang kuat seseorang akan memperoleh
kehormatan dan kemuliaan di dunia dan di akhirat.
Demikianlah
beberapa diantara sifat-sifat mahmudha atau sifat-sifat terpuji yang hendaknya
dipunyai atau menjadi amalan setiap orang muslim / mukmin. Sifat-sifat terpuji ini
termasuk sebagai modal utama / alat kita untuk melakukan hubungan secara
vertikal dengan Maha Pencipta dan hubungan secara horizontal terhadap sesama
manusia, hewan dan alam sekitar.
2)
Al-Akhlaqul Madzmuumah (tercela)
Al
Akhlaqul Madzmuumah sebagai akhlak yang tercela, diantaranya adalah sebagai
berikut :
a)
Al-Anaaniiah artinya egositis atau keakuan
Manusia
hidup tidaklah menyendiri dan tidak sendirian di alam ini, tetapi berada di
tengah-tengah masyarakat. Manusia harus yakin, bahwa jika perbuatan baik maka
akan menghasilkan sesuatu yang baik dan masyarakat akan turut merasakan hasil
kebaikan tersebut. Demikian juga sebaliknya.
Adalah
tidak layak, kalau seseorang hanya berbuat semata untuk diri pribadinya saja,
tanpa memperhatikan tuntutan masyarakatnya. Sebab keperluan-keperluan
masyarakat salaing mengisi. Tidak mungkin seseorang dapat memenuhi keperluannya
sendiri secara keseluruhan tanpa bantuan orang lain.
Oleh
karena itu, jika ada seseorang ingin mempertahankan sifat egoistis di
tengah-tengah masyarakat, maka sebenarnya ia mempersempit dunianya sendiri.
Orang lain tidak memperdulikannya. Sahabat tidak banyak yang membantu dan
menolongnya jika ia tertimpa musibah.
b)
Al-Bukhlu artinya kikir, bahil, apik
Sifat
kikir, bakhil, apik, apalagi sangat bakhil (tak titik air digenggam bahasa
Banjarnya engken barajut) adalah mempersempit pergaulan. Orang yang kikir /
sangat kikir, sedekah, infaq, hadiah adalah merupakan halilintar bagi
telinganya, musuhnya yang nomor wajid. Istilah-istilah itu tidak pernah ada
dalam kamus hidupnya.
Kikir
adalah suatu sifat buruk, tertutup tangannya dari memberi padahal harta yang
dimilikinya itu tiada kekal dan apabila ia meninggal dunia, tak satupun yang
dibawanya serta, hanyalah pembungkus kain kafan, maka tinggallah semua milik,
semua kekayaan tak ada yang dibawa ke kubur. Biasanya pintu rezeki bagi orang
yang kikir akan sering tertutup dan ia juga tiada banyak mempunyai sahabat.
c)
Al-Buhtan artinya berbohong
Mengada-ada
sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dengan maksud menjelekkan orang lain disebut
dengan Al-Buhtan. Kadang-kadang ia sendiri yang mengerjakan dosa, tetapi karena
sangat lincah dan olah-polahnya dikatakan orang lain yang menjadi pelakunya,
juga ada kalanya secara positif lagi ia bertindak, yaitu mengadakan tuhmah
kejelekkan terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Orang
semacam ini setiap perkataannya tidak dapat dipercaya. Menghadapi orang semacam
ini, apabila ia membawa berita hendaklah hati-hati, jangan mudah
diperdayakannya. Sebab ia suka membuat fitnah, bohong, serta mengada-ada.
d)
Al-Khianah artinya khianat
Khianat
suatu sifat yang sangat tercela, ia adalah sebagai batu ujian bagi kehidupan.
Karena sekali saja kita berkhianat atas kepercayaan orang, akhirnya seumur
hidup orang tidak akan percaya.
Kalau
sudah orang tidak percaya lagi, maka akan sempitlah pergaulan kita dan juga
akan membawa kepada rezeki yang sempit pula. Jadi khianat adalah
menyalahgunakan kepercayaan orang lain atau setiap perbuatan selalu berlaku
curang.
e)
Al-Khamru artinya peminum khamar
Khamar
dalam agama Islam dilarang meminumnya, sebab mengakibatkan mabuk. Orang di kala
mabuk hilang pertimbangan akalnya. Karena hilang akalnya ia lupa dengan Allah,
lupa sama ajaran agama, setelah itu hilang malunya dan pada gilirannya iapun
melakukan hal-hal yang negatif yang meresahkan masyarakat.
Oleh
karena itu, jauhilah sifat peminum khamar dan sejenisnya seperti narkoba.
Karena ia sangat membahayakan bagi kesehatan, lingkungan keluarga dan
masyarakat. Disamping itu dosa bagi pelakunya.
f)
Az-Zhulmu artinya aniaya
Aniaya
adalah meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, atau mengurangi hak
seseorang yang seharusnya diberikan. Sifat aniaya ini merugikan orang lain,
merugikan masyarakat. Sehingga tidak ada ketenangan, kedamaian, akibat
terjadinya penganiayaan.
Penganiayaan
bukan saja terhadap benda, atau orang seorang, tetapi lebih dari itu, baik
bersifat penganiayaan fisik atau mental, dan juga terjadi penganiayaan terhadap
hak dan kewajiban diri pribadi sendiri.
Penganiayaan
dan kedzaliman menimbulkan rasa permusuhan, hilangnya nilai persaudaraan.
Hendaklah kita bersama berusaha agar tidak menganiaya, tetapi juga harus
menghindarkan diri dari penganiayaan orang lain.
g)
Al-Jubnu (Al-Jubun) artinya pengecut
Pangkal
dari segala kegagalan adalah karena pengecut. Seorang yang pengecut, dia sudah
kalah sebelum berjuang. Tidak berani menghadapi kenyataan. Takut mencoba dan
ragu-ragu dalam berusaha. Sifat ini sangat terhina.
Janganlah
kita selalu punya pengharapan terhadap seorang pengecut, karena sulit diberi
amanat, dia sebenarnya mati sebelum mati atau disebut bangkai berjalan.
Dua
sifat buruk yang hampir menjadi satu ialah kikir dan pengecut. Kikir yang
keterlaluan dan pengecut yang terlampau penakut. Sifat pengecut menyebabkan
kebinasaan, mempersulit diri sendiri, menghambar kerja, menghilangkan semangat,
menghapuskan tujuan dan cita.
h)
Al-Fawaahisyu artinya dosa besar
Seorang
yang beriman haruslah berusaha untuk tidak melakukan dosa besar. Karena
pelanggaran terhadap dosa besar adalah membahayakan diri pribadi dan menodai
iman yang ada di dalam hati. Hikmat dilarangnya berbuat dosa besar adalah
kebaikan, ketentraman pribadi. Jiwa akan tenang. Terlepas dari perasaan gelisah
untuk menerima siksa.
Ada
beberapa dosa besar yang harus bersih dari diri seorang mukmin, seperti :
syirik, sihir, membunuh orang di luar ajaran agama, memakan riba, memakan harta
anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita mukminah berbuat keji dan
lainnya.
i)
Al-Ghasysyu artinya menipu timbangan / takaran
Menipu
dimaksud disini adalah orang yang apabila menerima timbangan dari orang lain
minta cukup, tetapi apabila ia menimbang untuk orang lain ia kurangi. Atau jika
menjual barang tidak terus terang menyatakan cacatnya kepada si pembeli.
Pekerjaan ini tercela dan haram hukumnya.
j)
Al-Ghodob artinya pemarah
Agama
memberikan tuntunan, jika seorang sedang / akan marah. Kalau kita marah sedang
keadaan berdiri, maka segeralah duduk. Jika belum juga reda bawalah berbaring.
Dan jika belum juga maka ambillah air wudhu, karena marah dari syaithon,
syaithon dari api dan api dapat dipadamkan dengan air. Perbuatan marah
mendatangkan kemudhorotan bagi setiap orang yang dimarahi, baik secara fisik
atau psikis (jiwa).
Kata
orang : orang pemarah itu lekas tua dan apabila marah memuncak, pikiran tidak
dapat dikendalikan dan perbuatan lepas kontrol, setelah damai dari marah akan
timbullah rasa penyesalan.
Di
dalam pengertian agama marah itu terbagi dua, ada yang baik ada yang buruk.
Contoh yang baik misalnya kita memarahi anak, karena ia tidak mau sholat, suka
minum minuman yang terlarang.
k)
Al-Ghiibah artinya mengupat
Mengupat
adalah menyebut atau memperkatakan seseorang dengan apa yang dibencinya. Ini
antara lain disebabkan karena dengki, mencari muka, berolok-olok,
mengada-adakan dengan maksud ingin mengurangi respek orang terhadap yang
diumpat.
Mengatakan
sesuatu yang tidak kita setujui mengenai kelakuan seseorang, sebaiknya secara
berhadapan muka dengan nasihat dan kata-kata yang baik. Mengumpat, mencari-cari
keburukan orang lain, hanyalah menanam benih permusuhan belaka serta mengurangi
relasi yang baik.
l)
Al-Ghina artinya merasa tidak perlu pada orang lain
Orang
yang merasa cukup apa yang dimilikinya, ia kaya, ia mulia, ia pandai, dus merasa
tidak perlu pada yang lain adalah suatu sifat yang tercela, karena ini namanya
bangga dan menganggap rendah pada orang lain, sedangkan sebenarnya ia
mengecilkan diri dari pergaulan.
Setiap
orang mempunyai kelebihan sendiri-sendiri, tak ada orang yang didapat mencukupi
kebutuhannya sendiri secara komplit, karena itu hendaknya kita menghormati
setiap orang dengan keahliannya, orangpun akan menghormati kita, kita sayangi
orang, orang-orang pun akan menyayangi kita, kita muliakan orang, orangpun akan
memuliakan kita.
Artinya
kita jangan bangga dengan segala yang ada pada kita, baik harta, pangkat dan
jabatan atau status sosial lainnya. Karena keberadaan kita, tidak akan bahagia
tanpa bantuan dan solidaritas orang lain. Contoh kecil saja, jika kita mati,
bagaimanapun kayanya kita, namun yang menggali lobang tetap orang miskin.
m)
Al-Ghuruur artinya memperdayakan
Memperdayakan
atau mengelabui / mengibuli mata orang lain daripada apa yang dikerjakannya,
atau juga terpedaya, misalnya diperdaya oleh ilmu, semata-mata hanya mencari
ilmu karena itulah yang baik katanya, padahal itu harus diamalkan.
Kejelekan
yang timbul dari sifat ini adalah takabur yang membutakan mata hati dengan
kedzaliman yang jahat, sebab hatinya gelap maka ia menurutkan hawa nafsunya
pemimpinnya adalah syaithon serta menyebabkan tertolak dari surga.
n)
Al-Hayaatud dunya artinya kehidupan dunia
Kehidupan
dunia disini maksudnya adalah hanya hidup mencari kesenangan dunia semata dan
lupa akan ibadah, lupa akan akhirat yang kekal abadi.
Padahal
di dunia ini hanya sebentar dan merupakan kebun untuk menanam benih amal dimana
akan dipetik hasilnya di akhirat kelak.
o)
Al-Hasad artinya dengki
Dengki
adalah membenci nikmat Allah yang dianugerahkan kepada orang lain dengan
keinginan agar nikmat itu hilang atau terhapus.
Sifat
dengki akan merusak amal kebaikan, sama halnya dengan api memakan kayu besar.
Akan sia-sia amal kebajikan jika kita selalu bersifat dengki kepada seseorang.
Pendengki
itu akan selalu mendapat celaan masyarakat, karena ia menumbuhkan benih
permusuhan, memperoleh kemurkaan Allah, tertutup hidayah dan taufik kepadanya.
Kedengkian membawa bencana dunia akhirat.
p)
Al-Ifsaad artinya berbuat kerusakan
Orang
yang berbuat kerusakan di muka bumi ini sangat banyak ragamnya, seperti mengundul
hutan dengan sengaja, membakar hutan dengan sengaja. Pokoknya orang yang
bersifat Al-Ifsaad ini kerjanya hanya merusak, senang mengadu domba, senang
menghasut dan membuat fitnah atau bahasa sekarang senang melakukan provokasi,
sehingga masyarakat, golongan satu sama lain berbenturan.
Kalau
sudah terjadi benturan, tidak menolak kemungkinan terjadinya sabotase dan
lain-lainnya. Orang yang bersifat seperti ini membahayakan masyarakat, serta
tidak dapat dipercaya.
q)
Al-Intihaar artinya menjerumuskan diri
Menjerumuskan
diri ke lembah kenistaan atau kehinaan dan dosa seperti mengikuti hawa nafsu
yang dibisikkan syaithon, dendam kesumat, mengambil tanggung jawab di luar
batas kemampuan dan kapasitas diri sendiri, bekerja ingin nama dan dipuji atau
riya, berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri.
Termasuk
kategori orang yang menjerumuskan diri yaitu mencari rezeki sebanyak-banyaknya
baik haram dan halal. Sebab orang mencari rezeki di dunia ini ada juga yang
halal saja. Intihaar berarti juga membunuh diri dan biasanya disebabkan karena
putus asa menghadapi hidup yang ia alami, tidak rela ia menerima ketentuan
Allah, tidak sanggup mengatasi persoalan sehingga mengambil langkah dengan
jalan mengakhiri riwayat hidupnya di dunia ini.
r)
Al-Israaf artinya berlebih-lebihan
Al-Israaf
ialah menyia-nyiakan sesuatu tanpa ada guna dan manfaatnya, melebihi batas di
setiap perbuatan, misalnya : menyia-nyiakan harta, ini dilarang dalam agama dan
merupakan penyakit hati, mengeluarkan harta tanpa faedah, seperti makan, minum
di kala masih kenyang dan belum merasa haus atau makan minum yang berlebihan,
berpakaian yang terlalu menyolok serta keterlaluan.
Dalam
agama, makan, minum, berpakaian hendaklah sekedar cukup saja, jangan
berlebih-lebihan, sebab sifat semacam ini timbul atau ada pada mereka yang
bodoh, karena tak pandai mengatur, padahal masih banyak persoalan yang urgent
yang masih atau patut dan ini umumnya terjadi di kalangan para hartawan.
s)
Al-Istikbaar artinya takabbur
Takabbur
adalah membesarkan diri, menganggap diri lebih dari orang lain dan menolak
kebenaran. Ada dua macam takabbur, yaitu (1) takabbur dzhahir dan (2) takabbur
bathin.
Takabbur
dzhahir ialah perbuatan-perbuatan yang dapat terlihat dilakukan oleh anggota,
sedangkan takabbur bathin ialah tidak dapat dilihat ada di dalam jiwa dan ini
dinamakan kibr.
Takabbur
merupakan hijab / dinding yang menutupi seseorang ke syurga, karena takabbur
berarti tidak mencintai saudaranya yang mukmin, seperti ia mencintai dirinya
sendiri dan jauh dari sifat tawadhu yang merupakan puncak akhlak terpuji bagi
orang yang bertakwa.
Jika
kita melihat orang yang takabbur, kita akan bertanya sendiri, apa yang ia
sombongkan ? Padahal ia terjadi dari tanah dan ia akan kembali menjadi tanah.
Orang
takabbur sangat benci akan nasihat dan peringatan dan anjuran orang lain,
bahkan kalau bisa orang semua harus tunduk kepadanya.
Orang
takabbur kesenangannya suka mencela, menghina, mengejek orang, merendahkan
teman, semuanya ini menyebabkan ia terasing menyendiri dari pergaulan manusia
ramai dan memperkecil diri pribadinya sendiri.
t)
Al-Kadzib artinya dusta
Orang
yang sudah sering berdusta dan sudah menjadi kebiasaannya, apalagi sudah
dikenal sebagai pendusta, maka seorangpun tidak akan mempercayainya, walaupun
ia berkata benar.
Orang
yang berdusta ini menunjukkan kelemahan dirinya dan dusta adalah salah satu
tanda orang munafiq.
u)
Al-Makru adalah penipuan
Apapun
pekerjaan yang dilakukan yang bersifat khianat, tidak jujur, merugikan orang
lain dalam bentuk penipuan, sebenarnya juga merugikan diri pribadi sendiri.
Masyarakat tidak mempercayai lagi. Sekali lancung ke ujian seumur hidup orang
tidak percaya.
Penipuan
adalah usaha untuk memperoleh keuntungan secara tidak jujur. Tipu muslihat,
membujuk rayu, menaruh nama palsu, tanda tangan palsu, memperdayakan, juga
dalam bidang jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya.
Seorang
mukmin hendaknya terus terang dalam tindakan dan perbuatannya, jangan
sembunyi-sembunyi untuk maksud yang tidak baik, sebab penipuan akhirnya akan
terbongkar juga.
v)
Al-Kufraan artinya mengingkari nikmat
Nikmat
yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala itu sangat banyaknya dan manusia tidak
sanggup untuk menghitungnya. Dan nikmat yang sangat berharga sekali adalah
nikmat akal, ilmu pengetahuan, iman dan Islam.
Nikmat
Allah itu tentunya harus kita pergunakan sesuai kehendak yang memberi yaitu
kehendak Allah. Kehendak Allah kepada kita adalah kita wajib beribadah. Nikmat
itu haruslah disyukuri jangan sampai kita ingkar nikmat atau kufur nikmat.
Allah
Subhanahu Wata’ala telah menjelaskan barang siapa yang bersyukur atas nikmat
Allah yang telah diberikan, maka nikmat itu akan ditambah, tetapi jika kufur
nikmat, sesungguhnya siksa atau azab Allah amat pedih.
Oleh
karena itu janganlah kita menjadi seorang yang kufur dari nikmat Allah
Subhanahu Wata’ala.
w)
An-Namiemah artinya mengadu domba
Namiemah
adalah perbuatan menyampaikan perkataan seseorang atau menceriterakan keadaan
seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud
mengadu domba kedua orang tersebut agar hubungan baik antara mereka jadi retak.
Perbuatan
mengadu domba sumber dari kejelekan dan kejahatan dalam masyarakat. Agama
memberikan bimbingan agar waspada terhadap berita yang sifatnya berdenten
menjelekkan seseorang dan hendaklah bersikap :
(1)
Tidak mempercayai berita tersebut.
(2)
Melarang si pembara berita dengan nasihat bahwa hal itu tidak baik dan
berbahaya bagi diri pribadi dan masyarakat.
(3)
Jangan menyangka buruk terhadap orang yang diberitakan.
(4)
Tidak mencontoh perbuatan tersebut.
x)
Qotlun Nafsi artinya membunuh
Melakukan
pembunuhan terhadap saudara kita mukmin adalah larangan agama. Membunuh adalah
dosa besar dan berarti memesan tempat di neraka. Tetapi di dalam hukum Islam
adalah istilah hukum qishah, yaitu siapa yang membunuh akan dibunuh juga. Oleh
karena jika terjadi perselisihan faham hendaklah diselesaikan dengan baik.
y)
Ar-Riba artinya memakan riba
Riba
adalah suatu bentuk pemerasan dan menimbulkan kemudharatan. Perbuatan ini tidak
halal. Perbuatan riba adalah mengambil kesempatan dalam kesempitan,
kelihatannya menolong, tetapi pada hakikatnya adalah memeras, yang miskin tetap
menderita dan si kaya tambah berjaya. Riba adalah membawa bencana bagi
masyarakat.
z)
As-Sariqah / As-Sirqoh artinya mencuri
Mencuri
artinya mengambil suatu barang kepunyaan orang lain, tanpa idzin yang punya.
Perbuatan ini biasanya didorong oleh keinginan memperoleh barang tanpa berusaha
lebih dahulu.
Orang
yang mencuri bukan hanya merugikan bagi masyarakat, tetapi juga merugikan diri
sendiri. Tidak ada seorang pencuri yang bisa tenang hidupnya, dia selalu
gelisah, karena takut diketahui oleh orang lain.
aa)
Ar-Riya artinya mencari muka
Riya
adalah syirik kecil, beribadah bukan karena Allah tetapi ingin dipuji oleh
orang lain. Pujian adalah sumber motivasi dari amal ibadahnya. Dia merasa sedih
jika amal perbuatannya tidak dipuji oleh orang lain.
Sarana
dari sifat riya adalah :
(1)
Badan, secara fisik ia mengagungkan kehebatan bentuk tubuhnya. Gagah dan aksi,
genit dan lain sebagainya. Tetapi ada juga yang bersikap lemah gemulai dalam
melaksanakan sholat, jika di hadapan umum dan apabila kebetulan sendirian,
sholatnya cepat dan tangkas.
(2)
Perhiasan, memakai emas, intan berlian yang berlebihan dengan niat pamer,
supaya orang lain memuji.
(3)
Perbuatan, rukuk dan sujud dalam sholat sangat lama, agar dilihat ahli ibadat.
(4)
Pergaulan, menonjolkan diri dan menyebut-nyebut kebaikan pribadi. Banyak
pengikut yang tunduk patuh kepadanya. Semua itu untuk dipuji orang.
ab)
As-Sikhriyaah artinya berolok-olok
Maksudnya
berolok-olok disini adalah suka menghina keaiban atau kekurangan orang lain
dengan mentertawakannya, dengan memperkatakannya atau dengan menirukan
perbuatannya atau dengan isyarat.
Orang
yang suka menghina atau memperolok-olok orang lain, boleh jadi orang yang
dihina dan diolok-olok lebih baik dari dirinya.
Orang
yang selalu berbuat demikian adalah berjiwa kera, senangnya hanya suka mengejek
perbuatan orang lain, kritikus tanpa kompas, orang bekerja diejek, tidak
bekerjapun diejek pula, sifatnya sinis, selalu merendahkan orang lain,
meremehkan orang lain, terbiasanya mulut berkata sambil mencibirkan orang.
ac)
Asy-Syahwah artinya pengikut hawa nafsu
Setiap
manusia pasti mempunyai nafsu syahwat. Tetapi bagi seorang mukmin nafsu harus
dikendalikan jangan memperturutkan menjadi pengikut hawa nafsu.
Nafsu
yang tidak dikendalikan, ia tidak kenal batas, tak pandai membedakan antara
kawan dengan lawan. Maka oleh karena itu harus dituntun dengan akal yang sehat.
Akal harus dapat membimbing hawa nafsu. Jangan sebaliknya nafsu mengendalikan
akal.
Kalau
nafsu yang berkuasa, kehancuran tak dapat dielakkan. Manusia berubah sikapnay
menjadi hewan. Lenyap pertimbangan akal, ilmu pengetahuan kehilangan pengaruhnya,
keyakinan akan kebenaran luntur. Akhirnya kesimpulannya adalah kendalikan hawa
nafsu, jangan sebaliknya.
ad)
At-Tabdzir artinya menyia-nyiakan
Tabdzir
adalah berlebih-lebihan dalam menggunakan harta, berarti menghambur-hamburkan
harta benda tanpa guna. Harta tidak boleh dipergunakan secara sia-sia, artinya
harus digunakan secara wajar, tidak berlebih-lebihan dari keperluan semestinya.
Agama
memberikan bimbingan dalam menggunakan harta, hendaklah menggunakan kepentingan
yang utama (primair). Jangan terjadi pengeluaran yang sia-sia yang membawa
mudharat.
Orang
yang melakukan perbuatan mubadzir adalah shahabatnya syaithon.
ae)
At-Tanaabadzu bil Alqaab artinya gelar yang berlebihan
Nama
dan gelar hendaklah dipilih yang baik. Si pemilik nama atau gelaran harus
berusaha dengan sungguh agar pribadinya dapat sesuai dengan nama atau gelaran
yang dipunyainya.
Tetapi
pada zaman modern sekarang ini, nama dan gelar mendapat perubahan yang drastis.
Pergeseran tata nilai masyarakat kota pada umumnya mengenai nama dan gelar
sudah berlebihan.
Misalnya
seorang yang bernama Maryam, dirinya sendiri lebih senang dipanggil dengan nama
MERY. Begitu pula Fathimah lebih senang dipanggil EMA, Halimah lebih senang
jika dipanggil dengan IMA, Zalecha lebih senang dipanggil dengan EZA, Ibrhaim
lebih senang dipanggil dengan ABRAHAM dan Muhammad dipanggil dengan MEMED.
Hal
seperti diatas termasuk larangan agama dalam menggunakan nama dan gelaran.
Padahal nama-nama diatas nama orang-orang hebat, seperti Maryam nama ibu Nabi
Isa Alaihissalam, Fathimah nama anak Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam,
Halimah nama perempuan yang menyusukan Baginda Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam, Ibrahim nama nabi Ibrahim Alaihissalam dan Muhammad adalah nama Nabi
Muhammad Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
Adalagi
yang tergila-gila dengan gelaran, kalau seseorang bergelar RADEN, GUSTI, tetapi
ada yang tidak memanggilnya dengan Raden, ia tersinggung atau mempuntai titel
DR, Ir dari luar negeri, sewaktu-waktu orang tidak menulis namanya dengan DR
atau Ir dia menjadi marah atau nama hajinya tertinggal ia tersinggung.
Tetapi
ketahuilah, bahwa nama dan gelar yang paling baik sangat tepat adalah ABDULLAH
artinya hamba Allah yang mengabdi.
Ajaran
agama Islam memberikan anjuran agar seorang ayah membuat nama untuk anaknya
(tasmiyah) dengan nama yang baik. Karena masalah nama ada unsur tafa’ulnya atau
ada unsur psikologisnya. Jika nama itu baik semoga akan menjadi do’a dan
sebagai dorongan agar ia selalu berbuat baik.
Memberikan
nama anak cukup berhati-hati, karena :
(1)
Nama membawa pengaruh secara tak langsung, karena kelak si anak akan tersentuh
psychologisnya begitu mengetahui apa arti nama yang diberikan orang tuanya.
(2)
Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya untuk diberi nama
yang baik (sunnah Rasul).
(3)
Nama adalah identitas paling awal dan paling utama.
(4)
Sebagai identitas paling utama maka kelak di hari akhir Allah akan memanggil
manusia sesuai dengan namanya, bukan jabatan atau status sosialnya atau gelar
yang diperolehnya dari luar negeri dan dalam negeri.
(5)
Nama anak kita masuk dalam daftar silsilah keluarga. Nama yang buruk seolah
mencemari daftar nama di keluarga kita.
e.
Tasawuf
Dalam
membicarakan masalah tasawuf ini, untuk mudahnya dibuat klasifikasi uraian,
yaitu pengertian tasawuf, latar belakang timbulnya tasawuf, maqamat dan ahwal
serta aliran-aliran dalam tasawuf. Untuk jelasnya sebagai berikut :
1)
Tasawuf
Kata
tashawwuf dalam Bahasa Indonesia ditulis tasawuf berasal dari kata Shofa yang
berarti bersih. Jadi, shufi artinya orang yang hatinya tulus dan bersih di
hadapan Tuhannya.
Pendapat
lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata Shuffah yang berarti
Serambi Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para shahabat Nabi yang
miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut Ahlu Suffah. Yaitu orang-orang
yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah yang karena kehilangan harta, mereka
berada dalam keadaan miskin, tidak memiliki apa-apa. Pendapat lain mengatakan
bahwa kata Shufi dalam ejaan Bahasa Indonesia ditulis Sufi – diambil dari kata
suf, yaitu kain yang dibuat dari bulu (wool) dan kaum sufi memilih memakai wool
yang kasar sebagai simbol kesederhanaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa orang
yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang Zahid yang bernama Abu
Hasyim Al-Kufi (w. 150 H) di Irak.
Menurut
para ahli berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang tasawuf ini,
bergantung sudut pandang yang digunakan, Nicholson misalnya memaparkan sekitar
78 definisi sedang Ibrahim Basuni mencatat sebanyak 40 definisi.
Di
dalam mempelajari definis-definisi tasawuf yang telah pernah diberikan oleh
para ahli sufi sendiri. Definisi yang dianggap sesuai dengan maksud tasawuf
yang sebenarnya (H. Laily Mansur, Lph).
Di dalam
hal pengertian ini, dikemukakan 4 (empat) orang para ahli, sebagai berikut :
a)
Abu Said Al-Harraz (w. 268 H) memberikan definisi tasawuf adalah : “Seorang
yang hatinya dibersihkan Tuhan, sehingga penuh hatinya dengan Nur Tuhan, dan
masuk di dalam ain lezatnya mengingat Allah”.
b)
Abu Bakar Al-Kattany : “Tasawuf adalah kebersihan (Ash-Shofa) dan penyaksian
(Al-Musyahadah)”.
c)
Ja’far Al-Choldy (w. 348 H) : “Menempatkan diri dalam sifat kehambaan dan
keluar dari sifat kemanusiaan, meningkat dengan pandangan keseluruhan kepada
Allah”.
d)
Asy-Syibli ditanya orang, apakah yang dimaksud dengan tasawuf itu, beliau
menjawab dengan dua kalimat : “Permulaannya ma’rifatullah, dan akhirnya
mentauhidkan Allah”.
2)
Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
Fakta
sejarah menunjukkan bahwa selama hayat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam, perilaku beliau adalah tumpuan dan perhatian masyarakat Islam, segala
sifat terpuji terhimpun pada diri beliau. Amal ibadah beliau tidak ada
bandingannya. Dalam bermunajat kepada Allah perasaan khauf dan raja’ selalu
dinampakkan Rasul Allah dengan tangis dan sedu-sedannya. Aisyah Rodhiallahu
anha mengatakan bahwa keluarga beliau dalam sehari tidak pernah makan sampai
dua kali. Makanan yang disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk
dimakan tiga orang.
Rasulullah
yang pertama kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima
apa adanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi ketimbang hidup materistik
penuh kemewahan.
Pola
hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri teladan
(uswah) bagi shahabatnya. Shahabat beliau terdekat diantaranya Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali, walaupun menjadi khalifah, namun cara hidup tidak sedikitpun
mencerminkan kemewahan. Beliau-beliau itu tetap hidup sederhana, wara’,
tawadhu, zuhud sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam.
Hidup
sederhana dari shahabat yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali)
dilanjutkan oleh para shahabat yang lain. Bahkan tidak saja hidup sederhana,
tetapi juga menentang hidup yang penuh kemewahan.
Berdasarkan
penjelasan di atas, ajaran tasawuf muncul secara eksternal karena maraknya kaum
elit pemerintahan di masa itu yang bangga dengan kemewahan dunia, seperti yang
ditampakkan oleh oknum penguasan Bani Umayah. Secara internal, tasawuf muncul
karena ajaran Islam sendiri, baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits, praktek
para shahabat, banyak isyarat tentang keharusan untuk hidup sederhana dalam
upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan
demikian tidaklah mengada-ada kalau kaum sufi mengklaim bahwa dalam
melaksanakan tasawuf, mereka hanya mengikuti jejak spiritual Nabi Shallallahu
alaihi wasallam dalam dimensi dan format yang sesuai dengan kemampuan mereka.
3)
M a q a m a t
Maqamat
adalah jama’ dari maqam, mengandung arti tingkatan-tingkatan hidup sufi yang
telah dicapai oleh para sufi untuk dekat kepada Tuhan. Menurut Al-Sarraj,
maqamat adalah tingkatan-tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhan dalam hal
ibadah, mujahadah dan riadhah (memerangi dan menguasai hawa nafsu).
Jumlah
maqam yang harus ditempuh oleh para sufi, berbeda-beda, sesuai dengan
pengamalan pribadi yang bersangkutan. Maqam-maqam itu ialah taubat, wara’,
zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan keridhaan. Ada juga yang mengatakan
: taubat, zuhud, shabar, al-faqr, tawadhu, taqwa, tawakkal, ridho, ma’rifat dan
mahabbah.
4)
A h w a l
Ahwal
– bentuk jama’ dari kata hal – adalah sikap rohaniah (mental) seorang sufi
dalam perjalanan tasawufnya. Perbedaan antara maqam dan hal adalah kalau maqam
merupakan sikap hidup yang harus diusahakan dengan kesungughan dan latihan,
sedangkan ahwal merupakan anugerah Allah bagi yang dikehendakinya. Ahwal itu
banyak macamnya, seperti :
a)
Khauf
Khauf
artinya merasa takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada masa yang
akan datang. Imam Al Ghazali membagi khauf itu kepada dua : khauf kehilangan
nikmat dan khauf karena siksa.
Khauf
karena hilangnya nikmat, menyebabkan orang agar selalu memelihara nikmat dan
khauf karena siksa mendorong seseorang untuk selalu mengerjakan perintah dan
menjauhi larangan.
b)
Taqwa
Taqwa
berasal dari kata wiqayah, berarti terpelihara dari kejahatan (memelihara diri
dari kemurkaan Allah). Ta’rif yang lumrah adalah mengerjakan apa yang
diperintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
c)
Tawadhu
Tawadhu
dapat diartikan merendahkan diri dan berlaku hormat kepada siapa saja. Adapun
tawadhu yang menjadi sikap mental sufi adalah merendahkan diri baik kepada
manusia maupun kepada Allah.
d)
Ikhlas
Secara
umumnya artinya hilangnya rasa pamrih atas segala sesuatu yang diperbuat.
Menurut kaum sufi orang ikhlas tidak akan mengharap apa-apa lagi. Jadi ikhlas
itu bersihnya motif dalam berbuat, semata-mata mengharap ridha Allah.
e)
Syukur
Syukur
adalah pengakuan terhadap nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Syukur itu ada
3 (tiga) yaitu dengan lisan, tubuh dan hati. Lisan artinya pengakuan dengan
ucapan, tubuh artinya penggunaan nikmat dengan mentaati Allah dan hati artinya
pengakuan dan membesarkan nikmat Allah.
5)
Aliran dalam Tasawuf
Aliran
dalam tasawuf itu ada 6 (enam), yaitu : Al-Ittihad, Hulul, Al-Ittishal,
Al-Isyraq, Wahdatul Wujud dan Ahlu Sunnah Waljama’ah.
Dalam
uraian ini penekanan hanya pada aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sesuai dengan
pemahaman dan ikutan. Perkembangan tasawuf ahlu sunnah wal jama’ah dimulai dari
perkembangan teologi. Perlu dicatat adanya 3 (tiga) gerakan sebagai penegak
ajaran ahlu sunnah wal jama’ah, yaitu :
a)
Dibawah pimpinan Al-Haris Al-Muhasiby sebagai reaksi atas perkembangan aliran
Ghulatus Syi’ah.
b)
Dibawah pimpinan Junaidi Al-Bagdadi sebagai reaksi atas perkembangan aliran
Albisthami dan Al-Hallaj.
c)
Dibawah pimpinan Al-Gazali dan Imam Sazali sebagai reaksi atas aliran Al-Hallaj
dan Ibnu Arabi.
Ajaran
tasawuf ahlu sunnah wal jama’ah bersumber dari beliau-beliau itu, yang di dalam
hidup berfikir adalah berdasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah.
Jadi
jelasnya yang wajib dipelajari dan diketahui oleh ummat Islam tercantum dalam
garis-garis besar ajaran Islam, yaitu Aqidah / Tauhid, Fiqih / Syari’ah /
Ibadah, dan Akhlak / Tasawuf. Penjelasan secara sederhana sebagaimana
keterangan terdahulu.
Agama
Islam adalah sebagai agama yang sempurna. Dari keterangan berbagai sumber yang
ditulis dari para ahli dan ulama, dapat diketahui bahwa ajaran-ajaran Islam itu
memiliki karakteristik, antara lain :
a.
Komprehensif
Ajaran
Islam membentuk suatu ummat dalam satu kesatuan ummat, tidak membedakan suku,
warna kulit. Dalam hal menghadapi masalah yang umum, ummat Islam ini bersatu,
walaupun dari segi kebudayaan itu berbeda-beda.
b.
Moderat
Ajaran
Islam mengambil jalan tengah, atau dalam istilah teori wasathiyah. Maksudnya
jalan seimbang antara kepentingan jasmani dan rohani. Menyelaraskan diantara
kenyataan danfakta dengan ideal dan cita-cita.
c.
Dinamis
Ajaran
Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dapat
membentuk diri sesuai perkembangan dan kemajuan, ajaran Islam terpencar dari
sumber yang dalam dan luas.
d.
Universal
Ajaran
Islam berlaku bukan untuk kelompok tertentu, tetapi adalah sebagai Rahmatal lil
‘alamin. Ajaran Islam diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia.
e.
Elastis atau Fleksibel
Ajaran
Islam berisi hukum-hukum yang dibebankan kepada setiap individu dan berdo’a
apabila dilanggar. Namun dalam keadaan tertentu ada kelonggaran atau rukhshah.
f.
Sesuai dengan fitrah manusia
Fitrah
secara umum berarti ciptaan, suci dan seimbang. Dalam konteks ini fitrah
berarti watak hakiki dan asli yang dimiliki oleh setiap insan atau sifat alami
manusia. Ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah manusia memberikan keterangan
yang pasti tentang kepercayaan yang asli dan hakiki yang ada pada diri manusia.
Karakteristik
ajaran Islam yang tersebut di atas, selanjutnya melahirkan karakteristik kepada
pemeluknya / ummatnya, seperti yang sering diungkapkan oleh para ahlinya,
antara lain sebagai berikut :
- Ummat Islam adalah sebagai
ummat yang satu (ummatau wahidah).
- Ummat Islam sebagai ummat
multi ras, suku dan bangsa.
- Ummat Islam menekankan
kesamaan dan kesetaraan.
- Ummat Islam mendorong
tegaknya masyarakat dalam segala urusan Islam.
- Ummat Islam mencintai
keadilan.
- Adanya pemimpin yang
berwibawa.
- Saling menghargai
(demokratis)
Selanjutnya
kita berbicara masalah sumber hukum Islam dan tujuannya. Sumber hukum Islam,
telah disepakati, yaitu : Al Qur’an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas.
a.
Al Qur’an itu secara harfiah artinya bacaan. Secara definisi adalah :
“Kalamullah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam dan membacanya adalah ibadah”.
Pokok-pokok
yang terkandung dalam Al Qur’an :
1)
Tauhid
2)
Ibadah
3)
Janji dan ancaman
4)
Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat
5)
Riwayat dan ceritera
b.
Al Hadits / As Sunnah
Artinya
segala yang dinukil dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, baik berupa
perkataan, perbuatan ataupun pengakuan (taqrir).
Sunnah
menurut bahasa, artinya :
-
Jalan yang terpuji
-
Jalan atau cara yang dibiasakan
-
Kebalikan dari bid’ah
c.
Ijma, artinya kebulatan pendapat ahli ijtihad pada suatu masa atas sesuatu
hukum syara’.
d.
Qiyas, arti dari segi bahasa mengukur sesuatu atas lainnya dan
mempersamakannya. Secara istilah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum
ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
Adapun
tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan
mendatangkan maslahat bagi mereka, mengarahkan kepada mereka kebenaran untuk
mencapai kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat dengan mengambil segala
manfaat dan mencegah yang mudharat yakni tidak berguna bagi manusia.
Abu
Ishaq As-Shatibi, merumuskan 5 (lima) tujuan hukum Islam yang disebut Maqashid
al-Khamsah, yaitu memelihara : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
ad.
1. Memelihara Agama
Agama
Islam harus dipelihara dari ancaman dari orang-orang yang merusak akidah,
syari’ah, dan akhlak atau mencampur adukan ajaran Islam dengan aliran yang
bathil.
ad.2.
Memelihara Jiwa
Menurut
hukum Islam jiwa harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam wajib memelihara hak
manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang
pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai
sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan
hidupnya.
ad.3.
Memelihara Akal
Akal
adalah memegang peranan penting, oleh karena ia harus dipelihara. Dengan akal
pula ia dapat memahami wahyu Allah, baik yang terdapat dalam Kitab Suci maupun
di alam ini. Dengan akal manusia dapat mengembangkan ilmu dan teknologi.
ad.4.
Memelihara Keturunan
Keturunan
adalah sangat penting. Itu Islam mengatur masalah perkawinan, hukum keluarga
dan hukum waris.
ad.5.
Memelihara Harta
Harta
adalah pemberian Allah untuk kelangsungan hidup manusia. Manusia sebaga
khalifah diberikan amanah untuk mengelola alam ini, sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki. Dilindunginya hak untuk mendapatkan harta yang halal secara sah.
Artinya sah menurut hukum dan benar menurut moral.
Dari
uraian diatas, baik garis-garis besar agama Islam seperti Aqidah / tauhid,
fiqih / syari’ah / ibadah dan akhlak / tasawuf, karakteristik ajaran Islam,
sumber hukum Islam / tujuan hukum Islam, kita dapat menyimpulkan tentang
kebenaran dan sumber kebenaran Islam itu. Kebenaran datang dari Allah dan
Rasul-Nya. Secara tegas Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam yang artinya
secara terjemah bebas, “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan selama-lamanya
engkau tidak akan sesat apabila berpegang kepada keduanya, yaitu Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah (Al Hadits)”.
Pengertian
tidak sesat disini berarti Qur’an dan Al Hadits adalah sumber kebenaran, Qur’an
adalah wahyu Allah dan Al Hadits adalah perkataan, perbuatan dan taqrir
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
D.
ISLAM DAN KESEHATAN
1.
Pengertian Kesehatan dan Sumber Kesehatan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa kesehatan itu artinya keadaan
(hal) sehat, kebaikan keadaan (badannya dsbnya). Kesehatan berasal dari kata
sehat yang salah satu artinya adalah baik seluruh badan dan bagian-bagiannya
(bebas dari sakit).1
Drs.
Kaelany HD, MA dalam bukunya Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, bab
Prinsip Islam dalam Masalah Kesehatan, mengatakan, kesehatan itu berasal dari
kata sehat yang ditransfer dari bahasa Arab “Suhhah” artinya sehat, tidak
sakit, selamat. Pengertian baku dapat dilihat dari rumusan WHO yang menyatakan
bahwa sehat itu adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang baik, tidak saja
karena tidak ada penyakit dan cacat.2
Berdasarkan
rumusan diatas, dapat ditarik satu kesimpulan betapa indah dan dalamnya
pengertian sehat itu, ia mencakup berbagai aspek, seperti fisik, mental,
sosial, tidak cacat dan tidak mengidap penyakit. Dari pengertian itu juga, kita
tahu bahwa arti sakit adalah lawan dari sehat, yaitu gangguan fisik, mental,
sosial serta penyakit dan kecacatan. Faktor-faktor diatas saling mempengaruhi.
Pepatah Arab mengatakan “Al-Aqlus salim fii jismis salim wal jismus salim
fi’l aqlis salim” (akal yang sehat ada pada badan yang sehat dan badan yang
sehat terdapat pada orang bermoral akal yang waras).
Adalagi
pendapat, kata sehat digandeng dengan kata afiat, sehingga menjadi sehat wal
afiat. Ini artinya sehat jasmani dan rohani. Sehat berhubungan dengan fisik /
jasmani (raga) sedangkan afiat berhubungan dengan segala bentuk perlindungan
Allah kepada hamba-Nya dari segala musibah, bencana dan tipu daya. Jadi jika
kita bertemu dengan shahabat / teman dan sebagainya, kita berkata semoga anda
selalu sehat wal afiat, ini maknanya cukup dalam mencakup kesehatan fisik,
rohani dan perlindungan Allah dari segala hal yang tidak diinginkan.
Menurut
MUI dalam putusannya tahun 1983, merumuskan tentang kesehatan itu, adalah
ketahanan jasmaniah dan ruhaniah, serta sosial yang dimiliki manusia sebagai
karunia Allah yang wajib untuk disyukuri dengan mengamalkan, memelihara dan
mengembangkannya.3
Selanjutnya
berbicara tentang masalah sumber kesehatan para pakar kesehatan, tidak berbeda
dengan pandangan ajaran Islam, yaitu kebersihan, bahkan Islam sejak awal menegaskannya.
Kebersihan adalah faktor utama dan agama Islam mempertegas bahwa kebersihan
sebagian dari iman. Perhatian Islam terhadap kebersihan dapat dilihat pada
kitab-kitab fiqih, bahasan pertama mengenai bah thoharah (bab bersuci). Kita
diperintah untuk bersuci sebelum melakukan ibadah sholat dan beberapa ibadah
lainnya. Dalam arti yang kongkrit bersuci membersihkan badan dari hadast besar
dengan mandi wajib, menghilangkan hadast kecil dengan berwudhu, serta
menghilangkan najis-najis di pakaian, badan dan tempat. Akan tetapi dalam makna
yang abstrak bisa berarti penyucian diri memakan harta yang tidak halal,
memakai perkakas dan perlengkapan hidup dengan perolehan secara bathil, atau
juga bisa pemupusan jiwa dan mental yang kotor, seperti hasut dan dengki, ria,
takabur, congkak, ingkar, syirik dan penyakit jiwa lainnya.
Jadi
jelaslah dapat diambil kesimpulan kebersihan adalah pangkal kesehatan dan
kekotoran adalah sumber penyakit. Mengutamakan kebersihan adalah tindakan
preventif, agar terhindar dari segala penyakit yang diakibatkan karena kotor.
2.
Hubungan Kesehatan dan Agama
Hubungan
kesehatan dan agama sangat jelas sekali, artinya agama juga berbicara tentang
kesehatan. Islam adalah sebagai agama yang ajaran adalah menyangkut masalah
duniawi dan ukhrowi. Tidak hanya terbatas pada hubungan vertikal (antara hamba
dengan Allah) tetapi juga hubungan horizontal. Dengan demikian Islam adalah
satu-satunya agama yang juga berbicara masalah politik, hukum, ekonomi,
kemasyarakatan, termasuk juga masalah kedokteran, pengobatan dan kesehatan
masyarakat. Pada saat ini disebut dengan istilah At-Tibbul Wiqo’i.
Adapun
masalah-masalah pokok yang terkandung dalam syari’at Islam tentang kesehatan,
sebagai berikut :
- Sanitation
and personal hygiene (kesehatan lingkungan dan
kesehatan perorangan) meliputi kebersihan badan, tangan, gigi, kuku dan
rambut. Demikian juga kebersihan lingkungan, jalan, rumah, tata kota,
saluran irigasi, sumur serta tebing-tebingnya.
- Epidemiologi
(preventif penyakit menular). Cara ini melalui karantina, preventif
kesehatan, tidak memasuki daerah yang terjangkit wabah penyakit, tidak
lari dari tempat itu, mencuci tangan sebelum menjenguk orang sakit dan
sesudahnya, berobat ke dokter dan mengikuti semua petunjuk preventif dan
terapinya.
- Memerangi binatang melata,
serangga dan hewan yang menularkan penyakit kepada orang lain. Oleh karena
itu diperintahkan untuk membunuh tikus, kalajengking dan musang serta
membunuh serangga yang berbahaya seperti cecak, kutu, lalat serta
diperintahkan untuk membunuh anjing liar dan anjing gila. Sedangkan babi
mutlak masuk kategori binatang yang haram.
- Nutrition
(kesehatan makanan)
Masalah
ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu :
1)
Menu makanan yang berfaedah terhadap kesehatan jasmani, seperti
tumbuh-tumbuhan, daging binatang darat, daging binatang laut, segala sesuatu
yang dihasilkan dari daging, madu, kurma, susu, dan semua yang bergizi.
2)
Tata makanan, maksudnya cara makan. Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal
makan atau makanan, makan bukan karena lapar hingga kekenyangan, diet ketika
sedang sakit, memerintahkan berpuasa agar usus dan perut besarnya dapat
beristirahat dan tidak berbuka dengan berlebihan atau melampaui batas. Pakar
kesehatan mengatakan, apabila seseorang makan dan minum yang berlebihan dapat
menyebabkan berisiko obesitas (kegemukan). Berbagai penyakit penyerta akan
muncul bila seseorang keadaan obesitas, salah satu diantaranya yaitu diabetes
tipe II, diabetes ini juga sebagai penyebab impotensi. Impotensi ini berakibat
infertilitas (kemandulan) bagi isteri.
Infertilitas
sering menjadi masalah besar dalam keluarga, terutama untuk kaum wanita, karena
mereka takut dicerai atau dimadu, seterusnya bisa berakibat stres. Jika ditarik
akar masalahnya adalah berpangkal tata makan yang menyimpang atau salah. Tepat
sekali ajaran Islam menganjurkan untuk makan dan minum, tetapi janganlah
berlebihan atau melampaui batas.
3)
Mengharamkan segala sesuatu yang membahayakan bagi kesehatan seperti bangkai,
darah, daging babi, khamar / minuman keras dan narkoba.
- Sex Hygiene
(kesehatan seks)
Dimaksud
kesehatan seks ini adalah meliputi hal sepert embrio dan perkembangannya,
pendidikan seks, cara memilih isteri, bahkan program pendidikan tentang
hubungan seks yang aman. Demikian pula tentang kebersihan seks, seperti mandi
setelah berhubungan, istinja setelah kencing dan berak, tidak berhubungan
ketika isteri sedang haid, diharamkan zina, homoseks dan masturbasi (onani).
- Body built
(binaraga)
Islam
mendorong untuk memiliki keterampilan dan olahraga, seperti menunggang kuda,
renang, memanah, gulat dan segala macam olahraga yang bermanfaat dengan catatan
tidak melanggar syari’at.
- Mental and
Psychic Hygiene (kesehatan mental dan jasmani)
Agama
Islam mengajarkan percaya kepada Allah dan bersabar dalam menghadapi berbagai
penyakit yang kritis. Oleh karenanya haruslah kita saling tolong menolong,
kasih mengasihi antara sesama untuk meringankan bebannya dalam kehidupan ini.
Islam melarang segala sesuatu yang merusak tatanan kehidupan masyarakat,
seperti judi, riba dan yang menimbulkan keributan. Di samping itu Islam juga
melarang semua benda yang menimbulkan kelemahan dan menghilangkan kesadaran,
seperti khamar, minuman keras dan narkoba (narkotika dan obat-obat terlarang).
- Occupational
Medicine (kesehatan kerja)
Para
pekerja, apakah ia petani, buruh, nelayan dan lainnya, seperti pembantu rumah
tangga, ia haruslah dijaga dari hal-hal yang membahayakan dalam bekerja,
mengganti kerugian terhadap musibah (kecelakaan) kerja, termasuk proses
pengobatan, penyembuhan, tempat tinggal yang sehat, batas jam kerja, uang
lembur dan memberikan upah sebelum keringatnya kering.
- Geriatris (memelihara
manula)
Geriatris
adalah merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran modern. Sebenarnya masalah
ini, kedokteran Islam yang pertama kali mempromosikannya. Banyak ayat Al Qur’an
dan hadist yang memerintahkan agar kita memelihara ayah dan ibu, nenek dan
orang yang lanjut usia (jompo), menghormati kekurangan mereka, sabar terhadap
mereka terlebih jika mereka dalam keadaan sakit. Orang yang pertama yang
menulis dan membahas masalah ini adalah Ibnu Sina dalam karyanya “Al-Qanun”.
- Maternal
and Child Healt (kesehatan ibu dan anak)
Kesehatan
ibu dan anak diatas, maksudnya adalah pemeliharaan kesehatan secara umum, ibu
yang sedang hamil atau menyusui anaknya, tidaklah semestinya ia diberikan beban
dan tugas-tugas yang berat. Islam menganggap menyusui anak merupakan suatu
perjuangan, bahkan perempuan yang mati ketika melahirkan termasuk kategori mati
syahid. Oleh karena itu dalam rangka kesehatan ibu dan anak, seorang wanita
yang hamil atua menyusui dibolehkan untuk tidak puasa dengan
catatan :
1)
Wanita yang hamil dan menyusui, jika keduanya merasa khawatir dirinya menjadi
mudhorot dalam berpuasa, maka ia wajib mengqhodo puasanya.
2)
Wanita yang hamil dan yang menyusui, jika keduanya khawatir akan anaknya
mudhorot kalau berpuasa, maka ia wajib mengqhodo dan membayar fidyah.
(Terjemah
Fathul Qorib oleh Drs. Imron Abu Amar dan Fiqh Islam oleh
H. Sulaiman Rasyid).
3)
Ada juga pendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, jika tidak berpuasa, cukup
membayar fidyah saja.
(A.
Hassan dalam bukunya Pengajaran Sholat bab Wajib Puasa Ramadhan,
Adil bin Yusuf Al-Azazi dalam bukunya Hamil Siapa Takut ?)
Demi
kesehatan anak dan ibu sekaligus, metode untuk menjarangkan kelahiran adalah
menyusui anak sepanjang dua tahun penuh.
- Peraturan-peraturan untuk
Melayani Kesehatan dan Dispensasi Pelayanan
Islam
adalah sebagai agama yang pertama memerintahkan agar tidak menyerahkan
perawatan kesehatan kecuali kepada yang ahlinya (profesional). Barang siapa
yang merawat kesehatan sedang ia bukan ahlinya, tidak menguasai ilmunya, maka
ia disalahkan dan harus bertanggung jawab atas kesalahannya. Islam menghendaki
keahlian, mendorong untuk mengutamakan ilmu medis, pengobatan dan dokter serta
tidak membatasi dengan do’a untuk menyembuhkan penyakit.
- Metode Teologis untuk
Menciptakan Masyarakat yang Sehat
Islam
adalah agama yang menciptakan dan yang pertama melaksanakan metode teologis
ini, tetapi kemudian justru diambil alih oleh masyarakat Cina dan dianggap
khazanah budayanya. Dengan metode ini Cina berhasil menjadi negara pertama
dalam kemajuan kebersihan dan kesehatan di dunia. Metode teologis merupakan
metode yang menghubungkan antara pendidikan kesehatan dengan akidah ummat,
memanfaatkan pengaruh akidah dan ketaatan seseorang serta mengharap pengorbanan
mereka tetap konsisten mengikuti perintah kesehatan.
3.
Anjuran Menjaga Kesehatan dan Dampak Kesehatan pada Makanan yang Haram
Anjuran
Islam dalam menjaga kesehatan / kebersihan dapat dirumuskan dalam
bentuk-bentuk, sebagai berikut :
a.
Bersuci dari Hadast
Bersuci
dari hadast adalah seperti mandi wajib, karena sebab-sebab yang mewajibkannya
(hadast besar) dan wudhu jika masih mengandung hadast untuk mengerjakan sholat
dan tawaf.
b.
Membersihkan badan dan tempat dari najis.
1)
Firman Allah :
وَثِيَا
بَكَ فَطَهِّرْ
Artinya
: “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. 56 : 4).
2) Ketika A’rabi (orang desa) kencing dalam
masjid, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam berkata, “Tuangi olehmu kencing
itu dengan setimba air” (HR. Buchari dan Muslim).
3)
Istinja (Cebok)
Istinja
adalah membasuh saluran kencing dan anus setelah kencing dan berak. Cara yang
baik dan menurut / mengikuti sunnah adalah menggunakan air untuk menghilangkan
najis terlebih dahulu, kemudian dikeringkan dengan sesuatu yang bersih dan
kering walaupun dengan ketas. Sebelum diperkenalkan kertas, umumnya orang
menggunakan batu yang kering.
Kebiasaan
ini banyak memberikan manfaat bagi kesehatan utamanya dalam kondisi sakit. Air
kencing pada penderita penyakit gula atau kencing manis, mengandung kimia yang
banyak dari gula.
Jika
bekas air kencing itu dibiarkan saja melekat di bagian organ jasmani setelah
kencing maka akan menyebabkan jamur, lalu menjadi bakteri dan berpindah kepada
orang lain, ketika orang itu kencing dan selanjutnya menyebabkan bengkak (pada
alat kelamin). Dari bakteri inilah kemudian banyak yang berpindah kepada isteri
ketika berhubungan dengan mengakibatkan inflammantio pada faraj dan rahim,
bahkan dapat menyebabkan kemandulan.
Seorang
muslim dilarang istinja (membasuh dubur dan qubul) dengan tangan kanan, tetapi
harus dengan tangan kiri, karena tangan kanan dipakai untuk makan dan
bersalaman dengan orang lain. Begitu pula jika kita masuk ke tempat buang air
(WC) dianjurkan pakai sandal atau alas kaki, supaya bakteri penyakit tidak
masuk melalui telapak kaki. Ini adalah hikmah syari’at Islam yang sangat
memperhatikan kebersihan.
4)
Anjuran untuk Membersihkan Gigi
Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam, jika hendak tidur, ketika bangun malam dan
ketika hendak sholat senantiasa menggosok giginya. Syara melarang seseorang
melakukan sholat sedang pada mulutnya masih terdapat sisa-sisa makanan
melainkan lebih dahulu dibersihkan dan berkumur tiga kali. Gigi-gigi
dibersihkan dan sisa makanan yang tertinggal dikeluarkan, karena sisa-sisa
makanan yang tertinggal di dalam mulut akan membusuk dan apabila masuk ke
sela-sela gigi akan menimbulkan infeksi yang pada gilirannya disebut dengan
sakit gii. Itulah hikmahnya Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam mendorong
kita untuk menggunakan siwak (sikat gigi). Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam bersabda :
اَلسِّوَاكُ
مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Artinya
: “Siwak itu adalah membersihkan mulut dan mendapat keridhaan
Tuhan“.
Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam :
لَوْلاَ
اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى َلاَ مَرْتَهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
Artinya
: “Jika tidak memberatkan bagi ummatku, tentu aku akan memerintahkan
mereka bersiwak setiap hendak sholat“.
5) Disunnahkan membersihkan tangan,
berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan sebagainya ketika berwudhu.
Membersihkan tangan dan berkumur-kumur ini sudah jelas untuk kebersihan tangan
dan mulut. Adapun memasukkan air ke hidung adalah memiliki nilai medis, sebab
penyakit-penyakit seperti influenza, poliemmyclitis, difteri dan lain-lain yang
disebabkan oleh bakteri dan virus bisa dibasuh atau dikeluarkan melalui
memasukkan air ke hidung, kemudian mengeluarkannya.
c.
Allah mencintai orang bersih, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an (QS. 2 :
222) yang artinya :
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang selalu bertaubat dan mencintai orang-orang
yang selalu membersihkan diri“.
d.
Perintah menyamak kulit dan membersihkan bejana.
“Dari
Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, berkata : telah bersabda Rasul Allah Shallallahu
alaihi wasallam “Apabila disamak kulit binatang, maka menjadi suci” (HR.
Muslim).
“Dari
Abu Hurairah Radhiallahu anhu, berkata : telah bersabda Rasul Allah Shallallahu
alaihi wasallam “Bersihnya bejana kalian apabila dijilat anjing ialah dengan
mencuci tujuh kali dan salah satu diantaranya dengan tanah” (HR. Muslim).
Itulah
masalah anjuran kesehatan dan selanjutnya kita berbicara tentang dampak
kesehatan pada makanan yang haram. Ajaran Islam telah memberikan patokan kepada
manusia agar memakan makanan yang halal dan baik yang ada di permukaan bumi
ini. Firman Allah dalam Al Qur’an (QS. 2 : 168) :
Artinya
: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena
sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu“.
Di
dalam Al Qur’an (QS. 2 : 172 – 173) dan (QS. 6 : 145) ada 4 (empat) jenis
makanan yang diharamkan yaitu bangkai, darah, daging babi dan binatang
disembelih disebut (nama) selain Allah.
Sedangkan
dalam Al Qur’an (QS. 5 : 3) dinyatakan yang haram itu ada lebih empat jenis
yaitu seperti bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih selain
nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang
diterkam binatang buas serta yang disembelih untuk berhala. Drs. Kaelany HD, MA
menjelaskan bahwa baik yang terpukul, tercekik, ditanduk, maupun diterkam
binatang buas seluruhnya termasuk bangkai. Begitu juga binatang yang disembelih
untuk berhala adalah semakna dengan binatang yang disembelih selain nama Allah.
Jadi garis besarnya makanan yang diharamkan itu ada empat jenis dan jika
diperinci lebih itu.
Menurut
Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi dalam bukunya Kamus Halal Haram 86 Binatang,
masih banyak lagi binatang yang diharamkan diantaranya seperti burung hantu,
musang, tikus dan lainnya (dapat dilihat pada bukunya).
Mengenai
makanan yang haram ini jelas sekali punya dampak terhadap kesehatan seseornag.
Oleh karena itu makanan yang diharamkan haruslah kita jauhi. Dalam kajian
ilmiah mengapa diharamkan ? Ulama diantaranya, sebagai berikut :
a.
Bangkai
Bangkai
adalah hewan yang mati tanpa disembelih, baik disebabkan oleh suatu penyakit,
maupun peristiwa lain, misalnya terjatuh, tercekik dan lain-lain. Suatu
penyakit bisa saja membuat seekor hewan ke alam maut. Sesudah itu tinggallah
bibit penyakit tersebut dalam darahnya, jika bangkai itu dimakan orang ini
sangat berbahaya, karena dalam darahnya ada racun dan bibit penyakit. Hewan
apabila telah mati maka terjadilah perubahan seperti aliran darah berhenti dan
mengering, kemudian otot-ototnya kaku, akibat terbentuknya asam-asam tertentu,
terus terjadi pembusukan dan berproseslah bibit penyakit. Jadi bangkai adalah
daging yang berbahaya, selain rupanya menjijikkan dan agama Islam mengharamkan
untuk memakannya.
b.
Darah
Maksud
darah disini adalah darah yang tertumpah. Darah adalah cairan merah padam yang
mengalir pada saluran-saluran tubuh, baik itu pembuluh nadi (arteri), pembuluh
balik (vena), maupun pipa kapiler. Sel-sel darah itu ada dua macam, sel darah
merah dan sel darah putih yang tugasnya adalah menolak bibit penyakit dari
tubuh. Akan tetapi darah juga merupakan tempat paling subur bagi pertumbuhan
bibit penyakit.
Hewan
yang disembelih saja ia masih bisa menjadi sasaran tersebarnya bibit penyakit.
Jika darahnya diminum ataupun dimakan artinya ia makan / minum sumber penyakit.
Sementara ini telah terbukti bahwa darah sulit dicerna. Apabila binatang sakit
biasanya bakteri-bakteri berkembang biak di dalam darahnya. Dari karena itu,
Islam mewajibkan penyembelihan secara syar’i yang akan memelihara darah
binatang itu setelah disembelih.
c.
Daging Babi
Daging
babi adalah pemindah penyakit yang terburuk, penyakit itu :
1)
Berupa cacing yang hanya mau tinggal di usus, yaitu cacing pita.
2)
Berupa gelembung-gelembung yang tampak di berbagai tempat di tubuh manusia.
Jadi
jelasnya dalam tubuh babi mengandung cacing pita. Cacing pita panjangnya dua
meter, tiga meter, bahkan kadang-kadang ada yang sampai delapan meter
panjangnya.
d.
Binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas.
Kiranya
masuk akal dan logis, jika makhluk hidup dicekik akan terhalang masuknya
oksigen ke dalam paru-paru, berakibat membekunya karbondioksida dalam tubuh
yang akan teracuni.
Sedangkan
hewan yang mati dipukul, yakni hewan yang dipukul hingga mati, juga akan
merusak sel-sel dalam tubuh dan urat-uratnya. Demikian pula binatang yang
ditanduk, hewan mati karena tabrakan atau jatuh dari tempat yang tinggi, juga
akan merusak dagingnya, sebagaimana yang mati terpukul. Hewan yang diterkam
binatang byas termasuk yang diharamkan, sebab binatang-binatang darat ini
kemungkinan menderita penyakit yang terlihat dari mulut dan air liurnya. Jika
bekasnya pada bekas gigitannya, maka akan menimbulkan penyakit bagi yang
memakan dagingnya.
Islam
mengharamkan daging yang disembelih atas nama selain Allah. Hal ini dimaksudkan
untuk memuliakan dan tidak menyiksa binatang tersebut. Disamping itu memakan
hewan yang disembelih atas nama selain Allah, bagi seorang muslim akan
diartikan mencampur adukkan antara akidah dengan syirik.
e.
Khamar
Menurut
medis dilihat dari segi komposisinya khamar adalah segala sesuatu yang mengalir
yang mengandung alkohol dalam kadar tertentu dan sangat sedap rasanya dalam
minuman. Alkohol dalam bir tidak lebih dari 3% dan pada minuman-minuman yang
lebih keras lagi kadar alkohol lebih 25% atau 50% pada jenis minuman yang
spesial kenikmatannya.
Khamar
dalam pengertian agama adalah setiap benda yang memabukkan atau yang
menyebabkan kecanduan, walaupun bukan khamar. Termasuk dalam hal ini minuman
keras (minuman keras disingkat dengan miras). Sedangkan narkoba sebagian
ulama menyamakannya dengan khamar berdasarkan dalil : “Akan datang suatu
zaman dimana manusia menamakan khamar dengan nama lain” (HR. Baihaqi).
Ketika
pertama kali Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam memproklamirkan pengharaman
khamar (QS. 5 : 90-91), beliau tidak melihat dari bahan apa khamar itu dibuat.
Adapun yang beliau perhatikan ialah pengaruh yang ditimbulkannya, yaitu mabuk.
Maka apa saja yang menimbulkan atau yang mengandung kekuatan yang memabukkan,
itulah khamar, apapun cap, merk dan namanya dan dari bahan apapun dibuat.
Pernah
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah ditanya tentang minuman yang
dibuat dari madu atau dari jagung dan gandum yang diperas sampai pekat. Namun
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah dianugerahi kemampuan untuk
mengucapkan kata-kata yang bersifat umum, beliau bersabda :
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Artinya
: “Setiap yang memabukkan itu khamar dan setiap khamar itu haram“.
Sayyidina
Umar bin Khattab Radhiallahu anhu berkata “Khamar adalah apa saja yang bisa
mengubah akal pikiran“.
Apabila
Islam mengharamkan khamar, maka pengharaman itu bukanlah tidak beralasan.
Haramnya khamar itu dapat dibuktikan secara sains modern. Bahwa di dalamnya
terkandung bahaya-bahaya bagi seluruh organ tubuh manusia. Akibat khamar
manusia jadi binasa, keluarga jadi berantakan dan masyarakat jadi rusak. Khamar
adalah zat alkohol yang tidak saja merusak jasad / jasmani, tetapi juga bahaya
psychologis, antara lain :
1)
Lumpuh alkohol (paralysys alkoholic) dibarengi dengan getaran
pendengaran, yaitus eolah-olah ada suara-suara, ada kegaduhan entah dari mana
asalnya.
2)
Gila alkohol (hangover), menyerupai apa yang dinamakan tidak utuhnya
kepribadian.
3)
Cemburu buta (delirium) yang sering membawa orang melakukan pembunuhan.
4)
Sedih alkohol (drug addiction) dan sering berakhir dengan bunuh diri.
5)
Radang saraf akibat alkohol yang dibarengi dengan terjadinya kondisi-kondisi
abnormal pada ingatan (mental illness) dan penghamburan.
6)
Mabuk dibarengi dengan berputar-putar biji mata secara liar dan bicaranya tidak
karuan-karuan.
4.
Berobat dan Pengobatan
Berobat
asal katanya adalah obat (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya
bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit atau menyembuhkan seseorang dari
penyakit. Mendapat awalan “ber” menjadi berobat yang artinya menggunakan obat.
Dalam
rangka mempertahankan kesehatan disamping tindakan preventif, Islam
menganjurkan agar penderita untuk berobat. Keharusan untuk berobat ini sesuai
dengan anjuran Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang
diceriterakan oleh Usamah bin Syarik, ia berkata yang artinya :
“Pada
waktu saya bersama Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam datanglah beberapa
orang Badui (pegunungan) lalu mereka berkata : Ya Rasul Allah, apakah kita
mesti berobat ? Maka beliau menjawab, wahai hamba Allah, berobatlah kamu,
karena Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga Dia menurunkan obatnya,
kecuali suatu penyakit. Mereka bertanya lagi, penyakit apakah itu ? Beliau
menjawab, tua” (HR. Ahmad).
“Abu
Darda berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, sesungguhnya
Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikannya setiap penyakit obatnya,
maka berobatlah kamu, tapi janganlah berobat dengan yang haram” (HR. Abu
Daud).
Pengobatan
artinya, proses, cara, perbuatan mengobati. Pengobatan yang baik hendaknya pula
didukung oleh para ahli pengobatan (dokter), paramedis, bidan dan rumah
sakit-rumah sakit tempat perawatan pengobatan serta apotik dan apoteker yang
menyediakan obat-obatan.
Dalam
hal berobat, ajaran Islam menganjurkan untuk berobat kepada para ahlinya
(dokter), hal ini sesuai dengan sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam
yang diriwayatkan oleh Amar bin Dinar dari Hilal bin Yasar :
عَنْ
هِلاَلِ بْنِ يَسَارٍقَالَ : دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَمُ عَلَى ا مَرِيْضِ يَعُوْدُهُ فَقَالَ : اَرْسِلُوْا اِلىَ طَبِيْبٍ,
فَقَالَ قَائِلُ وَاَنْتَ تَقُوْلُ ذَالِكَ يَا رَسُوْلَ الله ؟ قَالَ : نَعَمْ.
اِنَّ اللهَ عَنَّ وَجَلَّ لَمْ ليُنْزِلْ دَاءً اِلاَّ اَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً.
Artinya
: “Dari Hilal bin Yasar, ia berkata : Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam mengunjungi orang sakit yang telah dibesuknya, lalu beliau berkata :
Kirimkan (bawalah) dia (si sakit) kepada dokter. Maka seorang berkata :
Engkaukah yang mengatakan demikian, ya Rasulullah ? Nabi menjawab : ya.
Sesungguhnya Allah Azza wa jalla tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia
menurunkan pula obat penyakit tersebut” (HR. Amar bin Dinar.
Hadist
ini menunjukkan keharusan berobat dan berobat itu sedapat-dapatnya kepada orang
yang ahlinya. Keharusan berobat ini sudah merupakan ketetapan baik ditinjau
dari segi syara’, rasio (akal) maupun fitrahnya.
Islam
tidak memberikan uraian secara terperinci bagaimana cara pengobatan mesti
dilakukan, perkembangan sistem pengobatan mulai dari sistem tradisional sampai
modern dengan peralatan teknologi canggih didorong oleh Islam yang menyatakan
urusan kebudayaan manusia (dunia), kita diberi kebebasan untuk berkembang : “Antum
a’lamu bi umuri dunyakum” (kamu lebih tahu tentang masalah dunia kamu)
demikian sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam. Akan tetapi perlu
diperhatikan masalah pengobatan ini adalah jangan berobat dengan barang yang
haram. (Fa tadaawau walaa tadaawau bilharam) berobatlah tapi jangan
berobat dengan yang haram.
Suatu
ketika Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya oleh seorang
laki-laki tentang khamar, namun beliau tetap melarangnya. Maka laki-laki itu berkata
: “Saya ini membuatnya untuk obat”. Tetapi beliau menjawab : “Innahu laisa
bi dawaain walakinnahu daa-un (sesungguhnya khamar itu bukan obat tetapi
penyakit)”.
Sistem
pengobatan yang dilakukan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, menurut
riwayat ada 3 (tiga) cara :
- Dengan pengobatan alamiah
- Dengan pengobatan
kerohanian, yaitu dengan do’a dan bacaan tertentu disebut dengan ruqiyyah
- Penggabungan kedua cara di
atas
Untuk
melengkapi penjelasan tentang berobat dan pengobatan ini, kami anggap perlu menjelaskan
hal-hal sebagai berikut :
a.
Mengadukan Sakit dan Berobat
Orang
yang sakit diperkenankan oleh Islam untuk mengadukan sakitnya kepada teman atau
kerabatnya, barangkali mereka mempunyai obat yang telah mereka alami
kemanjurannya, atau untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk buat memakai obat
ataupun pantangan-pantangan. Semua itu boleh dikerjakan asal saja tidak
disertai dengan kemarahan, kejengkelan dan kekesalan ditambah dengan perasaan
cemas yang berlebihan. Karena hal ini bertentangan dengan sifat shabar dan
tabah yang diperintahkan Allah kepada orang yang sakit. Lebih ditekankan lagi
pengaduan ini ditujukan kepada ahlinya (dokter, paramedis dan bidan).
b.
Berobat kepada Dokter Non Muslim
Orang
yang sakit dianjurkan oleh Islam agar berobat kepada dokter yang ahli dan
berpengalaman dan si sakit tidak boleh membiarkan saja penyakitnya menjalar
dalam tubuhnya karena semata-mata bersandar kepada takdir Ilahi padahal ia
mampu untuk berobat. Jika sakit itu termasuk takdir Ilahi, maka berobat itu pun
termasuk takdir Ilahi juga, maka takdir sakit ditolak dengan takdir pengobatan,
yaitu dengan memilih dokter yang ahli dan pandai mengobati tanpa memandang
kebangsaan dan agamanya. Jika seandainya ada dua dokter, yang satunya ahli dan
berpengalaman dari yang lainnya tetapi ia non muslim, maka memilih yang non
muslim adalah suatu keharusan. Kalau kedua dokter itu sama-sama ahli dan mahir,
maka lebih utama berobat kepada dokter yang muslim.
Kedatangan
pasien atau orang yang sakit untuk berobat adalah sudah tepat, apakah ia datang
ke Puskesmas, balai pengobatan, rumah sakit, rumah bidan, rumah praktek dokter.
Ini berarti pasien memilih orang yang ahli. Berobat kepada orang yang tidak
ahlinya adalah menunggu kerusakan dan kehancuran.
Namun
demikian perlu dicamkan, pasien berobat adalah ikhtiar, para dokter dan perawat
juga … ikhtiar. Obat dan pelayanan yang baik, juga ikhtiar. Pada hakikatnya
yang menentukan kesembuhan hanya Allah yang Maha Kuasa. Karenanya marilah
sama-sama memohon.
Allah
akan mengabulkan permohonan mereka yang memohon. Oleh karenanya senantiasa bagi
kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun diantara cara mendekatkan diri
kepada Allah adalah sholat dan berdo’a sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun
sholat itu jangan ditinggalkan, dan sudah barang tentu dengan cara menurut
kemampuannya masing-masing.
Menggarisbawahi
uraian diatas, sebagai tanggung jawab sosial terhadap ummat, maka seyogianyalah
kita bangkit dan masih belum terlambat untuk bangkit, bahkan semestinya tidak
ada istilah terlambat dalam menggali ilmu, khususnya pada bidang kesehatan
sehingga lahir ahli-ahli kesehatan yang didambakan ummat (ummat Islam).
5.
Kehamilan dan Pranatal Education
Hamil
artinya adalah mengandung janin di dalam rahim, karena sel telur dibuahi oleh
spermatozoa. Kehamilan artinya keadaan hamil. Sesuai makna di atas yang
dikandung seorang ibu adalah janin. Sekarang timbul pertanyaan, apakah yang
dimaksud dengan janin ? Menurut Dr. Adil bin Yusuf Al-Azazi dalam
bukunya “Fathu al-Karim bi Ahkam al-Hamil wal Janin” kata janin berarti
anak yang masih dalam perut ibu karena keberadaanya masih tertutup.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua makna, yaitu (1) bakal
bayi (masih di kandungan), (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan.
Setiap
wanita yang bersuami pada umumnya sangat mendambakan dan sangat gembira apabila
dapat hamil dari benih suaminya yang tercinta, walaupun ada juga oknum wanita
yang agak kurang senang hamil karena ingin mengejar karir atau tidak ingin
direpotkan oleh hadirnya sang bayi.
Wanita
hamil secara sah, memang banyak alasan untuk bangga, karena, pertama ia
dapat membuktikan kepada suaminya bahwa ia adalah wanita yang subur. Suami
layak mencurahkan seluruh perhatian, kasih sayang dan kerinduan kepadanya,
karena buah hati bersamanya kini telah bersemayam di dalam rahim kekasihnya. Kedua,
ia dapat berharap bahwa kelak kemudian hari akan memiliki pelanjut nama
keluarga yang menjadi dambaan setiap keluarga. Ketiga, ia akan menjadi
wanita yang dapat memperoleh pahala dari Allah selama masa hamilnya yang
panjang itu. Bila ia selamat beserta bayinya, maka ia merasakan kesejukan hati
tiada tara. Tetapi sebaliknya bila ia ditakdirkan Allah menyambut ajal ketika
melahirkan, maka ia mati sebagai syahidah. Mati sebagai tentara penegak agama
Allah yang dijanjikan akan masuk syurga.
Selanjutnya
untuk mengulas masalah kehamilan ini dalam pandangan agama, menurut ulama dalam
hal ini (Drs. M. Thalib) menggarisbawahi 40 (empat puluh) masalah hamil /
menyusui, dan kami mencoba untuk mengutip beberapa hal saja, antara lain :
a.
Sikap Menjalani Kehamilan
Setiap
wanita hamil jelas mengalami perubahan fisik yang hari demi hari semakin lemah,
hal ini secara tegas Allah terangkan dalam Al Qur’an surah Luqman ayat 14 :
Artinya
: “… ibunya mengandungnya dengan lemah bertambah lemah” (QS.
Luqman ayat 14).
Kelemahan
fisik yang berjalan berbulan-bulan pasti berpengaruh pada emosi wanita hamil.
Bukanlah suatu hal yang dianggap aneh kalau seorang wanita hamil mudah marah
karena beban berat yang dikandungnya sepanjang waktu selama hamil. Tiada detik
dan tiada menit tanpa penderitaan.
Wanita
hamil tentunya menghendaki ketentraman dan kedamaian. Hal ini bukan hanya
berguna bagi ibu yang mengandung tetapi juga bagi bayi yang dikandungnya.
Penderitaan-penderitaan
yang dialami adalah merupakan ujian. Begitu juga masalah kenyamanan, sehingga
ibu hamil hampir-hampir tidak menikmati nyenyaknya tidur, enaknya makan dan
segarnya beristirahat.
Alhasil,
kondisi fisik dan mental dalam keadaan penderitaan haruslah disikapi dengan penuh
ketabahan, kesabaran, keimanan yang mantap, selalu mendekatkan diri kepada
Allah.
b.
Lama Masa Hamil
Menurut
Drs. M. Thalib dalam bukunya 40 Masalah Hamil dan Menyusui,
menyatakan bahwa mengenai persoalan diatas tidak didapati keterangan yang tegas
di dalam Al Qur’an maupun Al Hadist. Di dalam Al Qur’an ada dua ayat yang
berkenaan dengan masalah hamil dan menyusui.
Pertama,
firman Allah dalam Al Qur’an surah Luqman ayat 14 :
Artinya
: “Dan telah Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti) kepada
ibu bapanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah
dan menyapihnya (sesudah) menyusui dua tahun …“.
Ayat
ini menyebutkan lamanya menyusui, yaitu dua tahun tanpa menyebutkan lama masa
hamil yang menjadikan keadaan wanita yang bersangkutan lemah fisiknya.
Kedua,
firman Allah dalam surah Al-Ahqaaf ayat 15 :
Artinya
: “Dan telah Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti) kepada
ibu bapaknya dengan baik. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya dengan susah payah pula. Dia mengandungnya dan menyapihnya selama
30 bulan …“.
Ayat
kedua ini menjelaskan bahwa bilangan lamanya mengandung ditambah menyusui
sampai saat penyapihan adalah 30 bulan. Kalau saja mengandung itu lamanya 9
bulan, maka lama menyusui berarti selama 21 bulan. Pada ayat pertama telah
disebutkan lama masa menyusui adalah dua tahun penuh. Jadi jumlah masa hamil
dan menyusui seluruhnya 33 bulan. Jika begitu, berapa sebenarnya masa menyusui
yang baik dan masa hamil yang sempurna ?
Tentang
masa hamil ini, Imam Syafi’i mengambil ayat 15 surah Al-Ahqaaf sebagai pokok
dengan dikurangi masa menyusui yang sempurna pada ayat 14 surah Luqman. Dengan
demikian, lama masa hamil adalah enam bulan, yaitu 30 bulan dikurangi 24 bulan.
Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menetapkan masa hamil. Oleh
karenanya kita berpegang kepada kebiasaan umum yang berlaku. Pada pokoknya
janin yang telah berumur 120 hari telah mendapatkan ruh. Karenanya bayi yang
telah berada dalam kandungan berumur 6 (enam) bulan kemudian lahir, tidak
menyalahi hukum Islam, juga tidak dipandang sebagai suatu kelainan. Istilah
adat atua pembicaraan yang berlaku umum, bahwa masa hamil itu adalah 9
(sembilan) bulan 9 (sembilan) hari.
c.
Perilaku Suami terhadap Isteri yang Hamil
Bagaimana
perilaku suami terhadap isteri yang sedang hamil. Apakah ada ketentuan khusus
dari syari’at Islam tentang hal ini. Ketentuan khusus yang bertalian dengan
perilaku suami terhadap isteri yang sedang hamil, nampaknya tidak ada. Secara
umum seorang suami harus berbuat baik atau berlaku ma’ruf dengan isteri, baik
dalam keadaan biasa lebih lagi isteri dalam keadaan hamil.
Seorang
isteri yang sedang hamil perlu sekali mendapatkan perlakuan yang menyenangkan,
menggembirakan, membesarkan hatinya dalam memikul beban dan kesusahan hamil,
sehingga isteri tidak merasa sendirian dalam berjuang mempertahankan
kandungannya hingga bayinya lahir.
Segala
bentuk tingkah laku, ucapan atau gerak-gerik suami hendaklah jangan ada yang
menyebabkan beban mental isteri yang sedang hamil. Suami hendaklah berusaha
membantu semangat isteri dengan cara membesarkan hatinya. Sudah tentu tindakan
suami dalam membesarkan hati isteri ini sesuai dengan akhlak Islam. Karena
isteri sedang hamil kadangkala ada saja permintaannya yang aneh-aneh, sewaktu
ngidam mungkin ada saja permintaannya yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ada
lagi satu masalah, yaitu menunggu isteri ingin melahirkan, hal ini tidaklah
wajib dan tidaklah sunnat, tetapi mubah. Artinya terserah kemauan yang
bersangkutan. Jika peluang ada, pekerjaan tidak terganggu dan persediaan
belanja serta materi cukup tersedia, maka sebaiknya seorang suami harus berada
di rumah / di rumah sakit / di rumah bersalin untuk menunggu isterinya
melahirkan.
d.
Memelihara Kandungan sampai Lahir
Seorang
wanita yang telah hamil ia harus memelihara kandungannya sampai melahirkan.
Karena ada yang berpendapat bayi yang telah berumur lebih dari 120 hari telah
mempunyai status, sebagai manusia yang hidup di luar kandungan. Bayi tersebut
mempunyai haq untuk hidup, yaitu keselamatan jiwanya wajib dihormati.
Karenanya
memelihara kandungan secara baik adalah suatu kewajiban setiap isteri atau
wanita sholihah. Maka dari pemeliharaan bayi secara umum supaya terhindar dari
hal yang tidak diinginkan. Dalam istilah lain bisa disebut dengan prinsip
kesadaran pra lahir.
Pada
tahun 1989, tim Pranatal University telah mengadakan The 9th
Internasional Congres of Fre and Pranatal Psychology diselenggarakan di
Yerussalem untuk menyikapi berbagai agenda permasalahan yang terkait dengan
penyiksaan janin. Menurut mereka bahwa setiap bayi pra lahir mempunyai hak-hak,
antara lain :
1)
Hak saat janin menjadi sesuatu yang berjiwa untuk mengalami perkembangan pra
lahir tanpa gangguan.
2)
Hak untuk mendapatkan gizi yang memadai untuk membangun akal dan tubuh yang
sehat.
3)
Hak untuk dilindungi dari racun dan toksin yang dapat menghambat perkembangan
saraf dan fisik.
4)
Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat di dalam rahim, bebas trauma fisik atau
tingkat kebisingan, cahaya atau stimulasi berlebihan dan membahayakan.
5)
Hak untuk diterima sebagai individu yang hidup dan sadar sebelum dilahirkan.
Dalam
perspektif Islam, sejak 15 abad yang lalu, hak-hak janin sebagaimana yang
tertulis di atas telah ada dan hingga kini berjalan, bahkan lebih jauh dari
itu. Syari’at Islam memberikan hak-hak janin itu lebih luas bagi keberadaannya,
yaitu :
1)
Hak memiliki silsilah (nasab) keturunan yang jelas (pasti) dari orang tuanya
secara sah.
2)
Hak terlindungi dan terpelihara dari iklim keburukan fisik dan psikis serta
godaan syetan.
3)
Hak terhindar dari penyakit menular baik akut maupun kronis.
4)
Hak mendapatkan pelayanan asuhan, cinta, kasih dan sayang dari orang tuanya.
5)
Hak mendapatkan imaniyah asasiyah / fitrah tauhidiyah.
6)
Hak mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan baik.
7)
Hak pemeliharaan dari bahaya yang mengancam dan mengganggu perkembangan janin,
seperti pengaruh obat-obatan yang berlebihan, obat terlarang, racun, toksin,
minuman keras, dan lain-lainnya.
8)
Hak untuk mendapatkan hidup yang layak, termasuk terlindungi dari bahaya yang
mengancam kehidupan, seperti pengaruh hukuman haq dan qishash yang mengenai
ibunya.
9)
Hak ahliyah (kelayakan / eksistensial) kehadiran sebagai individu dari janin
dapat diperhitungkan. Seperti mendapatkan warisan dari orang tuanya atau
saudaranya yang meninggal dunia.
10)
Hak pendidikan sejak dini (sejak dalam kandungan ibunya).
11)
Hak-hak lainnya dalam persepsi syari’ah Islamiyah.
Adanya
hak-hak tersebut memberikan kesadaran penuh tentang fungsi dan peran orang tua
dalam pemeliharaan anak-anaknya sejak terjadinya kehamilan.
e.
Meninggal Saat Hamil
Bagi
wanita yang hamil kemungkinan meninggal karena hamil memang ada. Akan tetapi
tidak perlu dikhawatirkan sekali. Karena kita wajib percaya atau yakin bahwa
ajal itu ketentuannya ada dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wata’ala. Meninggal
saat hamil bisa terjadi karena beberapa sebab. Mungkin karena sakit perut,
mungkin karena kecelakaan lalu lintas, karena darah tinggi, kencing manis dan
lain sebagainya.
Untuk
itu secara teori medis dan kebidanan, maka bagi seorang yang hamil dianjurkan
agar selalu periksa kandungan, memelihara kesehatan fisik dan jiwa, makan
makanan yang bergizi dan juga dianjurkan untuk senam. Lebih dari itu dianjurkan
agar antisipasi hamil risiko tinggi (risti).
Karena
perempuan hamil dalam keadaan risti bisa membawa kematian. Disini kami
menambahkan tentang ciri perempuan hamil berisiko tinggi, sebagai berikut :
1)
Muka pucat
2)
Tekanan darah lebih dari 140 mmHg
3)
Batis bangkak
4)
Awak kakarujutan
5)
Kaluar darah di hadapan
6)
Tatuban kasungsungan pecah
7)
Anak dalam parut tahalang
8)
Baranak kada cukup bulan
9)
Baranak kembar
10)
Anak dalam parut kaganalan
11)
Anak dalam parut tasungsang
12)
Baranak nang tadahulu ngalih tarus
13)
Rancak kaguguran
14)
Ibu hamil umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
15)
Baisi anak lebih dari 4 orang
16)
Selisih anak nang tadahulu lawan nang tadudi kada sampai 2 (dua) tahun
17)
Tinggi awak kurang dari 145 cm
18)
Berat awak kurang dari 38 kg
19)
Riwayat keluarga ada nang bapanyakit kencing manis, darah tinggi dan cacat
mulai lahir
20)
Nang batianan ada kelainan cacat anak
Di
dalam ajaran Islam, seorang wanita hamil apabila ia meninggal dunia, maka ia
termasuk kategori mati syahid. Dimaksud mati syahid disini adalah bagi wanita
hamil apabila mati, kelak di akhirat pahalanya sama besarnya dengan orang yang
mati terbunuh di medan perang dalam membela agama Allah.
Oleh
karena itu, wanita hamil tidak perlu sedih, duka cita dan takut mati karena
kehamilannya. Pandangan kehamilan ini adalah sebagai pintu menuju kebahaghiaan
di dunia, karena nantinya punya keturunan, pewaris atau penyambut tongkat
estafet, tetapi juga sebagai jalan menuju surga yang Allah sediakan bagi
hamba-hambanya yang bertaqwa. Pandangan diatas adalah sebagai dorongan positif bagi
wanita untuk bersedia hamil, hamil siapa takut ?
Berbicara
masalah kehamilan memang sangat luas, ia berkaitan dengan hal-hal lain baik
sebelum, maupun kondisi sedang hamil, baik masalah pasangan, makanan, fisik,
mental dan lingkungan. Akan tetapi tumpuan harapan agar masa kehamilan sampai
melahirkan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tak
kalah pentingnya salah satu yang berhubungan dengan kehamilan yang perlu juga
untuk diangkat adalah masalah pranatal education atau pendidikan anak
dalam kandungan. Apa itu pranatal education ? Satu pertanyaan yang perlu
untuk dijawab. Pendidikan anak dalam kandungan adalah usaha sadar seorang suami
isteri untuk mendidik bayi dalam kandungan isterinya.
Islam
adalah suatu ajaran yang sempurna, berbeda paham dengan teori dari Barat yang
mengatakan bahwa batas pendidikan setelah anak ada dan sampai tercapainya
kedewasaan. Tetapi ajaran Islam menganut suatu paham tentang pendidikan seumur
hidup (long life education), bahkan lebih dari itu, yaitu pranatal
educational. Apakah ada pendidikan dalam kandungan ? Ini pertanyaan jitu.
Mari kita renungkan hadist Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam :
اُطْلُبُواْلعِلْمَ
مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّهْدِ
Artinya
: “Tuntutlah ilmu mulai sejak al-Mahdi hingga liang lahat” (Al-Hadist).
Kata
Al-Mahdi dalam terjemahan Ulama Khalaf kini diartikan sebagai masa bayi dalam
kandungan ibunya, masa kehamilan. Karena masa periode ini telah ditakini
sekaligus dibuktikan dengan adanya fakta empiris dan Ilahiah terdapat suatu
kondisi khas pada bayi pra lahir, yaitu adanya proses kemajuan instrumen
jasmani dan rohani. Bahkan ditenkankan lagi agar kita menghindarkan bayi dalam
kandungan dari mara bahaya yang bersifat fisik dan psikis. Dalam kaitan ini
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, bersabda :
اَلشَّقِيُّ
مَنْ شَقَى فِى بَطْنِ اُمِّهِ (رواه مسلم عن ابن مسعد)
Artinya
: “Anak yang sengsara adalah anak yang telah mendapatkan kesensaraan
semenjak ia dalam kandungan ibunya” (HR. Imam Muslim dan Imam Ibnu Mas’ud).
Kata
Asy-Syaqiyyu adalah mengandung makna yang umum, yang artinya penyiksaan yang
dilakukan sengaja untuk si bayi dalam rahim, tidak mendapatkan kehidupan yang
layak, atau pembunuhan janin, melakukan penyiksaan kepada orang tua yang hamil
yang berdampak pada bayi atau melakukan kesalahan dalam makanan atau minuman
atau penerimaan udara yang dihidup oleh si ibu hamil dan atau lain-lainnya yang
berakibat fatal kepada kelangsungan hidup dan kehidupan bayi dalam kandungan.
Menurut
Ny. Aisyah Dahlan, bahwa pendidikan sebelum lahir itu (pranatal education)
memang ada. Karena pendidikan yang dimaksud bukan pendidikan dalam arti sempit,
tetapi dalam pengertian yang luas : Berupa pengadaan lingkungan yang baik,
persiapan mental dan menghidupkan naluri keibuan serta kehidupan rumah tangga
dan suami isteri yang bahagia dan rukun, yang memungkinkan manusia
mempersiapkan diri menjadi ayah dan ibu yang bertanggung jawab dan melahirkan
anak-anak yang sholeh sebagai benih muda subur dan sehat dicintai dan
diharapkan kehadirannya (wanted children).
Menurut
Freud seorang ahli ilmu jiwa dari Barat, mengatakan bahwa bayi pada umur 24 jam
setelah kelahirannya sudah mampu belajar, bahkan sejak masa dalam kandungan,
bayi telah responsif terhadap adanya rangsangan dari luar yang ibunya malah
tidak menyadarinya.
Sekarang
apa saja yang dilakukan pada fase dalam kandungan ini yang berorientasi pada
pendidikan. Sebelum mengarah pembahasan kesana, alangkah baiknya terlebih
dahulu dengan bahasan proses kehamilan yang disebabkan adanya persenggamaan
atau bertemunya ovum dengan sperma dan pada gilirannya terjadilah nuthfah,
alaqah dan mudghah. Di dalam ajaran Islam, sebelum melakukan senggama hendaklah
kita berdoa dengan harapan agar saat bersenggama terhindar dari gangguan
syaithon dari segi paedagogis orang berdoa ingin selalu dekat dengan Allah dan
sebagai pengakuan bahwa dia tidak mampu membuat dan membentuk anak. Firman
Allah dalam Al Qur’an surah Ali Imran ayat 6 :
Artinya
: “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana yang
dikehendaki-Nya ….“
Hal-hal
yang perlu dilakukan pada bayi dalam kandungan sebagai manifestasi dalam
pendidikan, menurut seorang ahli pendidikan Haji Mahmud, M.Si dalam
artikelnya berjudul Pola Asuh pada Keluarga dalam Perspektif Islam,
sebagai berikut :
- Membina hubungan yang
harmonis dan meningkatkan kasih sayang antara suami isteri dalam rumah
tangga.
- Menjaga kesehatan fisik dan
mental bayi yang ada dalam kandungan.
- Mendoakan bayi yang ada
dalam kandungan.
Sesuai
dengan patokan diatas, apa yang harus dilakukan ketika bayi dalam kandungan, penulis
mencoba untuk menguraikannya, sebagai berikut :
a.
Membina Rumah Tangga yang Harmonis
Selama
bayi dalam kandungan, maupun setelah lahir, ciptakan suasana kerukunan dan
kedamaian dalam artian yang lebih luas, yaitu pergauli isteri dengan baik. Disamping
itu sewaktu isteri dalam keadaan ngidam, apa yang diinginkan isteri sedapat
mungkin harus dikabulkan, amal keinginan dimaksud menyangkut masalah yang
haram, khurafat dan berbau kemusyrikan.
b.
Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental Bayi dalam Kandungan
Secara
langsung pemeliharaan fisik dan mental bayi dalam kandungan ini pemeliharaan
kesehatan ibu sendiri. Secara tidak langsung adalah bayi dalam kandungan.
Kesehatan bayi dalam kandungan Imam Al-Gazali adalah hak anak pra lahir.
Pemikiran Imam Al-Gazali ini mengandung pengertian bahwa kesehatan itu
merupakan prasyarat bagi pendidikan.
Disamping
itu hak bayi dalam kandungan baik sejak awal pembuahan menjadi atau yang
disebut nuthfah sampai ia berumur 120 hari dimana ruh ditiupkan, hak hidupnya
harus dipelihara, kesehatan jiwanya harus dihormati oleh semua manusia. Tentang
hak dan keselamatan jiwa ini Allah berfirman dalam surah Al-Isro ayat 33,
sebagai berikut :
Artinya
: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar” (QS. Al-Isro ayat
33).
Maksud
ayat diatas, pembunuhan secara hak itu adalah qishash, membunuh orang murtad,
rajam dan sebagainya. Jadi tidak ada alasan bagi orang yang membunuh anaknya
melalui pengguguran kandungan sekalipun anak dimaksud hasil perzinahan. Itulah
hak bayi dalam kandungan disamping hak lainnya, yaitu :
1)
Ibu harus banyak makan makanan yang bergizi, menjaga kebersihan, kecantikan,
kebugaran dan lebih mutlak lagi makanan bergizi itu baik dan halal, karena
setiap tubuh yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih aula
baginya.
2)
Ibu harus secara rutin memeriksakan kehamilannya, semakin dekat kelahiran,
semakin sering pemeriksaan dilakukan. Tujuan dari pemeriksaan ini agar proses
persalinan dapat berjalan lancar, anak lahir selamat dan ibunya tetap sehat
sehingga dapat mengurangi angka kematian ibu dan anak.
3)
Bayi dalam kandungan punya hak untuk memiliki silsilah (nasab) keturunan yang
jelas (pasti) dan sah dari orangtuanya.
c.
Mendo’akan Bayi dalam Kandungan
Ibu
yang sedang hamil hendaklah selalu berdo’a agar Allah selalu memberikan
perlindungan dan rahmat-Nya, sehingga mendapatkan kekuatan lahir dan batin dan
janin yang dikandungnya akan lahir sempurna sehat jasmani dan rohani dan
menjadi anak yang sholeh di kemudian hari.
Masalah
do’a ini bisa saja dimanifestasikan melalui sholat malam (tahajjud), tilawatil
Qur’an dan memperbanyak amal kebajikan lainnya. Hal ini dilakukan agar
mempertebal iman dan bekal dalam menghadapi risiko melahirkan.
Mendidik
anak dalam kandungan merupakan suatu pekerjaan besar yang membutuhkan motivasi
yang kuat, pemikiran, ketelatenan dan pengorbanan serta kesungguhan yang nyata
dari pihak pendidiknya yaitu orang tuanya. Karena mendidik anak dalam kandungan
sungguh berbeda dengan mendidik anak yang sudah lahir atau sudah memasuki usia
sekolah dasar formal, dimana metode dan langkah-langkah untuk mendidiknya sudah
banyak diketahui dan berkembang serta dapat diaplikasikan dengan baik.
Metode
pendidikan anak dalam kandungan telah lama dipraktikkan melalui pelaksanaan
ritual-ritual ibadah, namun secara formal dan sistematis baru dikenal
belakangan ini, tepatnya pada awal tahun delapan puluhan.
Mendidik
anak dalam kandungan bukan berarti mendidik anak tersebut agar pandai terhadap
apa yang diajarkan orang tuanya. Melainkan sekedar memberi stimulus yang
diproses secara edukatif kepada bayi atau anak dalam kandungan melalui ibunya.
6.
Keluarga Berencana dan Aborsi
Keluarga
Berencana dalam istilah asingnya disebut dengan planning family
maksudnya adalah merencanakan keluarga setelah melangsungkan perkawinan, bahkan
orang yang memperlambat untuk kawin pun bisa dikatakan ikut mensukseskan
program keluarga berencana. Keluarga berencana dimaksud untuk mengatur jarak
kelahiran, bukan membatasi kelahiran atau mematikan kelahiran sama sekali.
Agama Islam membenarkan adanya program keluarga berencana ini sesuai dengan
maksud yang tersebut di atas.
Untuk
lebih jelasnya kami kutipkan Keputusan Musyawarah Naisonal Ulama Indonesia
tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan pada 10 Muharram 1404 H s/d 13
Muharram 1404 H bertepatan dengan 17 Oktober 1983 s/d 20 Oktober 1983, khusus
mengenai Keluarga Berencana, sebagai berikut :
- Keluarga Berencana adalah
suatu ikhtiar atau usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga
secara tidak melawan hukum agama, Undang-Undang Negara dan Moral
Pancasila, demi untuk mendapat kesejahteraan keluarga khususnya dan
kesejahteraan bangsa pada umumnya.
- Ajaran Islam membenarkan
pelaksanaan Keluarga Berencana untuk menjaga kesehatan ibu dan anak,
pendidikan anak agar menjadi anak yang sehat, cerdas dan sholih.
- Pelaksanaan program Keluarga
Berencana termasuk pelaksanaan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
hendaknya didasarkan atas kesadaran dan sukarela dengan mempertimbangkan
faktor agama dan adat istiadat serta ditempuh dengan cara yang bersifat
insani.
- Pelaksanaan Keluarga
Berencana hendaknya menggunakan cara kontrasepsi yang tidak dipaksakan,
tidak bertentangan dengan hukum syari’at Islam dan disepakati oleh suami
isteri.
- Penggunaan alat kontrasepsi
dalam rahim (IUD) dalam pelaksanaannya dan pengontrolannya dilakukan oleh
tenaga medis dan / atau paramedis wanita, atau jika terpaksa dapat
dilakukan oleh tenaga medis pria dengan didampingi oleh suami atau wanita
lain.
- Melakukan vasektomi (usaha
mengikat / memotong saluran benih pria (vas deferena), sehingga
pria itu tidak menghamilkan) dan tubektomi (usaha mengikat atau memotong
kedua saluran telur, sehingga wanita itu pada umumnya tidak dapat hamil
lagi) bertentangan dengan Islam (haram) kecuali dalam keadaan darurat
(sangat terpaksa) seperti menghindarkan penurunan penyakit dari ibu /
bapak terhadap anak keturunannya yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa
si ibu bila ia mengandung atau melahirkan lagi.
- Untuk memantapkan program
Keluarga Berencana, khususnya penggunaan alat kontrasepsi, hendaknya pada
setiap klinik Keluarga Berencana dilengkapi tenaga yang memahami ajaran
Islam.
- Menganjurkan kepada
pemerintah untuk melarang pelaksanaan vasektomi dan abortus bagi ummat
Islam, serta meningkatkan pengawasan terhadap penyalahgunaan alat-alat
kontrasepsi yang ada kemungkinan dipergunakan untuk perbuatan maksiat.
- Pengguguran kandungan
(abortus) termasuk MR (menstrual regulation) dengan cara apapun
dilarang oleh jiwa dan semangat ajaran Islam (haram) ataupun di kala janin
belum bernyawa (belum berumur 4 bulan) dalam kandungan, karena perbuatan
itu merupakan pembunuhan terselubung yang dilarang oleh syari’at Islam,
kecuali untuk menyelamatkan jiwa si ibu (pembahasan lebih lanjut bisa
dibaca tentang aborsi).
- Menganjurkan kepada ummat
Islam untuk meningkatkan pembentukan keluarga yang sejahtera dan bahagia,
penuh sakinah, mawaddah dan rahmah agar tercapai keberhasilan pendidikan
dan pembinaan anak yang sehat, cerdas, terampil dan sholih.
Adanya
keputusan MUI di atas merupakan pegangan dan panduan bagi ummat Islam, ini
sebagai salah stau bukti kepeloporan para Ulama telah menghantarkan program KB
sehingga dapat diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Barangkali kita masih ingat, ketika KB mulai dicanangkan
menjadi program nasional pro-kontra dan polemik masih merebak. Karena program
pengaturan kelahiran ini bersinggungan dengan budaya dan juga dipandang oleh
sebagian masyarakat berseberangan dengan pandangan agama.
Sungguh
beruntung para ulama tampil ke permukaan. Tokoh agama dari berbagai organisasi
seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dan lainnya bahu membahu memberikan
penerangan tentang pengaturan kelahiran untuk mewujudkan keluarga sakinah,
mawaddah dan rahmah.
Peran
ulama dan tokoh agama ini dalam mendukung program KB telah diwujudkan melalui
beberapa keputusan penting diantaranya Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah
tahun 1968, Syuriah Nahdhatul Ulama tahun 1969 dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia
(MUI) tahun 1983.
Keputusan-keputusan
tersebut merupakan payung hukum Islma terhadap penyelenggaraan KB di Indonesia.
Nampaknya sangat sulit mendorong masyarakat untuk menjadi peserta KB tanpa
didukung dan restu ulama.
Kini
sampailah uraian kita tentang aborsi, sebagai penutup dari berbagai catatan
sederhana tentang Islam dan Kesehatan. Jika menilik secara historis ada
pendapat yang mengatakan bahwa aborsi / pengguguran kandungan adalah masalah
kontroversial sejak zaman dahulu. Ia telah dikenal sejak awal sejarah manusia.
Hipocrates, bapak kedokteran dunia yang hidup ribuan tahun yang silam
menyarankan agar wanita tak ingin hamil lagi, harus lari kencang selama mungkin
setelah melakukan hubungan badan dengan suaminya. Lebih dari 5000 tahun yang
lalu di negeri Cina para wanita dianjurkan minum air raksa untuk menggugurkan
kandungan. Di negeri kita Indonesia, ada relief pada candi Borobudur yang
menggambarkan cara seorang dukun menggugurkan kandungan dengan memijat perut pasiennya.
Secara logika berarti sejak dahulu tahun 850 M (abad ke-9) orang dahulu telah
mengenal masalah praktik pengguguran kandungan.
Aborsi
berasal dari bahasa Latin “Abortus” yang artinya gugur kandungan atau
keguguran. Dalam Kamus Bahasa Arab disebut dengan Isqhotul Janin atau
Isqotul Hamli yang artinya pengguguran bayi dalam kandungan.
Adapun
menurut para pakar, pengertian aborsi sebagai berikut :
- Menurut Sadikin Ginaputra
(Fak. Kedokteran UI) aborsi adalah pengakhiran kehamilan.
- Menurut Maryono Reksodiputra
(Fak. Hukum UI) aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim
sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).
- Menurut Nan Soendo, SH.,
aborsi adalah pengeluaran buah kehamilan pada waktu janin sedemikian
kecilnya, sehingga tidak dapat hidup.
- Menurut Prof. Dr. Abu
Hanifah, memberikan arti tentang keguguran dengan istilah melahirkan anak
sebelum temponya sudah datang. Jadi sebelum perempuan cukup mengandung
sembilan bulan.
- Menurut Prof. Dr. Hj.
Chuzaimah Tahido Yanggo, MA (Guru Besar UIN Jakarta) mengambil kesimpulan
setelah menganalisa beberapa dari pengertian tentang aborsi oleh beberapa
pakar, beliau memberikan pengertian, aborsi adalah pengguguran kandungan
sebelum lahir secara alamiah berapapun umurnya dengan maksud merusak
kandungan tersebut.
Perihal
macam-macam aborsi, ia terbagi menjadi 2 (dua) macam sebagai berikut :
- Abortus spontan (spontanneus
abortus), yaitu abortus yang tidak disengaja. Abortus spontan bisa
terjadi karena disebabkan penyakit syphilis umpamanya atau kecelakaan dan lain
sebagainya. Aborsi spontan oleh Ulama disebut dengan istilah “Al-isqoth
al-afwu”, artinya aborsi yang dimaafkan, karena keguguran yang seperti
ini tidak menimbulkan akibat hukum.
- Abortus provocatus, abortus
ini pun terbagi lagi menjadi 2 (dua) sebagai berikut :
1)
Abortus artificialis thearaficus, adalah aborsi yang dilakukan oleh
seorang dokter atas dasar indikasi medis, dengan tindakan mengeluarkan janin
sebelum lahir secara alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam apabila
kelangsungan kehamilan dipertahankan menurut pemeriksaan medis. Aborsi ini
menurut kalangan Ulama disebut dengan “Al-isqoth ad-darury” atau “Al-isqoth
al-’ilajiy” yang berarti aborsi darurat bisa juga disebut aborsi
pengobatan.
2)
Abortus provocatus criminalis, yaitu pengguguran yang dilakukan tanpa
indikasi medis dengan tindakan mengeluarkan janin untuk meniadakan atau
menghilangkan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri
kehamilan yang tidak dikehendaki dengan dalih sosial, ekonomi dan sebagainya.
Pendapat
Ulama Islam tentang aborsi, sebagai berikut :
- Aborsi kategori spontan atau
aborsi tidak sengaja, karena penyakit atau kecelakaan adalah aborsi yang
dimaafkan atau tidak berakibat hukum.
- Aborsi yang disengaja (abortus
provokatus), sebagai berikut :
1)
Abortus artificialis theraficus, yakni abortus yang dilakukan dengan
indikasi medis. Artinya berdasarkan analisa dokter ahli, amanah dan terpercaya,
bahwa ibu yang mengandung ini mempunyai risiko besar yang bisa mengancam
keselamatan diri dan nyawanya, maka janin / bayi dalam kandungan dikorbankan
demi keselamatan ibu. Abortus semacam ini dibolehkan bahkan ada yang mengatakan
wajib.
2)
Apabila abortus dilakukan setelah ruh ditiupkan (umur 120 hari) abortus semacam
ini sepakat ulama mengatakan haram. Ini termasuk pembunuhan dan tindak kriminal
(abortus provocatus kriminalis). Orang Islam tidak halal melakukan
pembunuhan tanpa hak.
3)
Apabila aborsi dilakukan sebelum ruh ditiupkan, hal ini ada beberapa pendapat
(Ulama berbeda pendapat), sebagai berikut :
a)
Ada yang membolehkan melakukan pengguguran kandungan (aborsi) sebelum janin
berumur 120 hari atau sebelum ruh ditiupkan, dengan alasan bahwa janin sebelum
berumur 120 hari belum ada ruh, sedang manusia terdiri dari jasad dan tuh.
Kalau yang bukan manusia tidak boleh digugurkan / dihilangkan, mestinya sperma
(mani) yang mau masuk ke dalam rahim pun tidak boleh dibuang karena di dalamnya
ada bibit hidup yang akan menjadi janin. Padahal mengeluarkan sperma dalam arti
tidak dimasukkan ke dalam rahim di dalam agama dibenarkan dengan istilah Azl (coitus
interuptus). Janin sebelum berumur 121 hari masih merupakan daging. Jadi
jika terjadi aborsi / pengguguran kandungan, berarti menggugurkan daging, bukan
menggugurkan manusia.
b)
Ada pendapat yang mengatakan aborsi (pengguguran kandungan) sebelum ditiupkan
ruh, hukumnya juga haram, karena :
(1)
Berdasarkan penelitian ilmiah dalam ilmu anatomi dan embriologi lewat alat-alat
penemuan modern mengungkapkan bahwa kehidupan dimulai ketika terjadinya
pembuahan (ketika sperma membuahi sel telur wanita). Ungkapan inilah yang
menjadikan ulama memandang hukum yang sama (haram) melakukan aborsi baik
sebelum atau sesudah ditiupkannya ruh.
(2)
Menyangkut masalah hak asasi, artinya merampas hak hidup janin. Artinya
eksistensi janin yang berkembang harus dihormati dan dilindungi.
(3)
Kita harus menghidupkan education of law (pendidikan hukum). Sebab nanti
dikhawatirkan orang (oknum) main-main saja dengan aborsi, apalahi jika
kehamilan itu terjadi dari perbuatan yang melawan hukum.
c)
Berpijak kepada beberapa pendapat tentang hukum aborsi diatas, bahkan ada
perbedaan pendapat, maka untuk kehati-hatian seorang ulama besar dari Saudi
Arabia Syaikh Utsaimin mengambil keputusan bahwa aborsi baik sebelum atau
sesudah ruh ditiupkan hukumnya adalah haram.
Disamping
pandangan hukum Islam diatas tentang aborsi, perundang-undangan hukum positif
di Indonesia juga memberikan sanksi hukum terhadap pelaku maupun yang membantu
terjadinya abortus, sebagai tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
misalnya :
-
Pasal 346 : “Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 4 tahun”.
-
Pasal 348 ayat 1 : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seorang perempuan dengan ijin perempuan itu, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan”.
-
Pasal 348 ayat 2 : “Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati ia dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun”.
Demikian
uraian sederhana tentang Islam dan Kesehatan ini kami tutup dengan satu natijah
bahwa sejak awal Islam telah berbicara tentang kesehatan. Bahkan penganjur /
pembawa risalah Islam, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai
manusia tersehat di dunia sejak zaman prasejarah, zaman sejarah dan sampai
akhir zaman. Ini terbukti dalam riwayat bahwa selama 63 tahun usia beliau hanya
dua kali saja pernah sakit.
Jadi
manusia tersehat di dunia adalah Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam. Ini
berarti sumbangsih besar dari Rasul dalam bidang kesehatan yang harus
diteladani oleh ummat manusia. Memang jika berbicara masalah kesehatan,
sumbangsih Islam tidak bisa dimungkiri, banyak tokoh-tokoh cendekiawan muslim
yang terkenal dan diakui dunia, seperti :
- Sulaiman bin Hasan
Al-Andalusi, wafat 377 H, bukunya yang terkenal Thobaqootul Athiba Wal
Hukuma.
- Ibnu Baithar yang lahir pada
abad ke 12 di Andalusia dengan bukunya : Himpunan Istilah Obat dan Makanan
dan Mufradat Ibnu Baithar.
- Ibnu Abi Usaibaiyah yang
lahir di Damaskus tahun 1194 dengan bukunya Uyunnul anba Fi Thabaqatil
Athiba (Informasi Tingkatan Dokter).
- Zeber (Geber) dari Kuba
adalah bapak Kimia Modern.
- Al-Kindi dari Basrah adalah
Farmakolog (ahli obat-obatan).
- Ar-Eazie (Rhazaes) dari
Persia ahli bedah legendaris.
- Ibnu Sina dari Bukhari
adalah dokter legendaris.
- Ibnu Abul Qasim Al-Zahrawi
(936 – 1013) atau Abulcasis adalah satu dari beberapa ahli bedah muslim
yang berpengaruh di Eropa, di era pasca Perang Salib. Bukunya yang
terkenal Al-Tasrif Liman ‘Ajiza ‘an Al-Ta’lif, merupakan buku ajar di
Salerno Sekolah Tinggi Kedokteran pertama di Eropa.
Nama-nama
diatas adalah nama-nama tokoh muslim yang berjasa dan ahli di bidang kesehatan,
sebelum bangsa Eropa atau Barat menjadi orang andalan dunia, baik secara
teoritis, praktis dan teknologi di bidang kesehatan.
Dimana
ada manusia, pasti ada penyakit. Dimana ada penyakit pasti ada kebutuhan akan
tenaga medis (dokter, paramedis dan bidan). Ini berarti para ahli medis
berpeluang untuk operasional atau bekerja. Bekerja disini tentu ada aturan /
etika atau akhlak dalam bidang kesehatan.
Sebelum
kita melangkah kepada uraian dimaksud, dirasa perlu diuraikan tentang manajemen
kerja secara umum. Manajemen kerja secara umum itu ada 5 (lima), yaitu : 1)
Berdo’a, 2) Bekerja bersungguh-sungguh, 3) Siap belajar dengan ilmu dan
pengalaman orang lain, 4) Siap berkorban, 5) Berserah diri (bertawakal) kepada
Allah.
Apabila
ke 5 (lima) hal tersebut dalam manajemen kerja dapat dilaksanakan, para pekerja
apapun statusnya akan mendapat kepuasan kerja bagi dirinya dan bagi orang lain.
Jika diuraikan jabarannya adalah, sebagai berikut :
1.
Berdo’a
Sebagai
seorang muslim / ummat beragama yang menyandang status sosial apapun dalam
kerja. Seyogianya jangan meninggalkan / melupakan berdo’a dalam memulai
pekerjaan. Karena do’a adalah ruhnya ibadah dan do’a sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan. Karena kita sebagai manusia, makhluk yang dhoif,
kesuksesan kerja adalah atas idzin, rahmat dan pertolongan Allah Subhanahu
Wata’ala. Jika Allah menolong pekerjaan berat jadi ringan. Oleh karenanya do’a
harus selalu dipanjatkan.
2.
Bekerja Bersungguh-sungguh
Peribahasa
Arab mengatakan “Man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh
niscaya akan tercapai. Artinya kerja penuh semangat, penuh ke hati-hatian,
sesuai dengan panduan teoritis yang pernah dipelajari.
3.
Siap Belajar dengan Ilmu dan Pengalaman Orang Lain
Sebagai
manusia, ilmuwan janganlah kita membanggakan diri dengan apa yang dimiliki
apakah ilmu dan keterampilan / pengalaman. Manusia punya kelebihan disamping
punya kekurangan. Untuk mengatasi kekurangan yang ada pada diri, kitapun harus
mau belajar dengan orang lain sebagai solusi.
4.
Siap Berkorban
Secara
sosiologi, manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang hidup bermasyarakat,
saling tolong menolong satu sama lain. Ada kalanya menolong dan ada kalanya
nanti kita minta tolong. Oleh karena itu profesi apa yang kita sandang,
hendaklah bertekad siap berkorban tenaga, pikiran dan materi. Tanpa pengorbanan
tidak mungkin kerja akan sukses sebagaimana diharapkan.
5.
Berserah Diri (Bertawakal kepada Allah)
Manusia
diberi fikiran dan tenaga serta penunjang lainnya. Bekerjalah, tetapi hasil
kerja, memuaskan, berhasil atau tidak. Sebagai manusia beragama serahkan saja
kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai tawakkal yang benar.
Berpijak
kepada manajemen kerja diatas adalah merupakan muqaddimah dari akhlak / etika
dalam bekerja, termasuk pekerja yang bekerja sebagai pelayan kesehatan, apakah
ia dokter, paramedis, bidan dan lainnya. Berbicara masalah akhlak dalam
kesehatan, apakah ia disebut dengan istilah etika / kode etik. Disini kami
kutipkan sepenuhnya uraian dari Ustadz Hussein Bahreisi
dalam bukunya Kamus Lengkap Pengetahuan Islam Populer (2003 : 246 – 247)
:
Karena
itulah setiap dokter Islam tetap kembali kepada kode etik kedokteran Islam
yaiutu berlandaskan Qur’an dan Hadist dan kedua pedoman itu telah diakui
sepenuhnya oleh segenap kaum muslimin. Sedangkan mengikuti kode etik dan ajaran
Islam secara konsekwen adalah akan membawa kepada beberapa kebaikan yang
banyak. Kode etik kedokteran Islam diantaranya adalah :
- Dokter, Tabib, perawat dan
dukun yang beragama Islam harus bersifat peri kemanusiaan serta penyayang
kepada semua pasien yang sedang dihadapinya. Nabi bersabda yang artinya : Tidaklah
kamu beriman kecuali dengan saling berkasih sayang dengan sesamamu
(HR. Thabrani).
- Bertutur kata yang baik,
dilarang bermasam muka dalam menghadapi setiap pasien. Nabi bersabda : Perkataan
yang baik seperti bersedekah (HR. Tirmidzi).
- Memejamkan mata atau
menundukkan pandangannya terhadap pasien yang berlainan jenis agar tetap
berwibawa dirinya kecuali dalam keadaan darurat. Allah berfirman, yang
artinya : Katakanlah pad alaki-laki yang beriman hendaklah mereka
merendahkan pandangannya dan menjaga kelamin mereka, hal itu lebih
menyucikan diri mereka (QS. An-Nur : 30)/
- Menyembunyikan rahasia
pasien dan tidak menyebarluaskan rahasia penyakit yang sedang diderita
olehnya. Nabi bersabda : Barang siapa menutupi rahasia seorang Islam
maka Allah akan menutupi rahasianya di dunia dan akhirat (HR. Muslim).
- Dokter tidak boleh berduaan
dengan pasien yang sedang dirawatnya jika keduanya berlainan jenis kecuali
bersama dengan muhrimnya. Nabi bersabda, yang artinya : Tidak
Berdua-duaan laki-laki dengan wanita kecuali bersama muhrimnya (HR.
Bukhari). Pengertian muhrimnya ayah atau saudara laki-laki dari pasien
wanita itu atau suaminya.
- Setiap dokter / tabib yang
akan memeriksa pasien disunnatkan untuk membaca Bismillah atau menyebut
nama Allah, Nabi bersabda yang artinya : “Semua amalan penting yang
tidak didahului dengan pujian pada Allah, maka amalan itu akan terputus
(dari rahmat Allah)” (HR. Abu Daud).
- Dilarang memberikan
pengobatan yang haram atau mengandung syirik (menyekutukan Allah dengan
sesuatu) Nabi bersabda yang artinya : “Allah tidak akan menjadikan
kesembuhan padamu terhadap apa yang diharamkan bagimu” (HR. Bukhari).
- Dokter tidak boleh merahasiakan
ilmu yang kemungkinan bermanfaat bagi pasien. Nabi bersabda, yang artinya
: “Barang siapa yang menyembunyikan suatu ilmu dari ahlinya maka akan
terkekanglah mulutnya pada hari kiamat dengan kekang (kendali) api neraka”
(HR. Sayuti).
Kode
etik kedokteran Islam telah tersimpul yang lainnya dalam ayat-ayat Al Qur’an
dan beberapa hadist Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Kode etik kedokteran
Islam telah mengangkat para dokter muslim untuk melebihi para dokter lainnya,
karena kedudukannya yang lebih dekat hubungannya pada Allah karena taqwanya
semata. Demikian juga jabatan atau dinas yang diperoleh dilaksanakan dengan
penuh keikhlasan karena Allah akan mendapat ganjaran yang besar dan manfaat
bagi masyarakat.
Sebagaimana
diketahui masalah peralatan kesehatan zaman dahulu jelas berbeda dengan zaman
sekarang, karena kemajuan teknologi. Teknologi adalah termasuk kebudayaan /
duniawi. Ajaran Islam tidak melarangnya. Silahkan saja menggunakan teknologi
modern, selama dalam penggunaannya tidak melanggar rambu-rambu syari’at.
E.
KEADILAN, KEPEMIMPINAN DAN KERUKUNAN
Ketiga
istilah diatas berkaitan satu sama lain, ia bisa berhubungan dengan politik,
kemasyarakatan dan agama. Dalam hal ini, sesuai dengan pembidangan, peninjauan
bahasan tentu banyak berorientasi pada agama.
1.
Masalah Keadilan
Keadilan
berasal dari kata adil, dalam istilah / ta’rif bahasa Arab, “Wadh’u syai’in
fi mahalliha“. Artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Artinya keadilan
adalah suatu sikap dan tindakan proporsional. Keadilan suatu nilai yang selalu
didambakan dan sekaligus diperjuangkan kehadirannya. Keadilan harus dijabarkan
dalam semua keadaan. Sebab keadilan adalah kebajikan utama ummat manusia yang
keberadaannya mutlak diperlukan sepanjang sejarah.
Agama
Islam adalah agama yang menegakkan keadilan, keadilan yang tidak pandang bulu,
siapa yang bersalah dihukum, yang berjasa diberi imbalan, tangan mencencang,
bahu memikul, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan
dan seterusnya.
Masalah
keadilan ini Allah berfirman dalam Al Qur’an ayat 8 surah Al-Maidah :
Artinya
: “Wahai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu menjadi pembela
bagi Allah, menjadi saksi dengan keadilan, janganlah kebencian kamu kepada
suatu kaum menyebabkan kamu menyimpang dari keadilan, berlaku adillah kamu,
itulah lebih dekat kepada taqwa, dan takutlah kamu kepada Allah, bahwasanya
Allah membalasi apa-apa yang kamu perbuat“.
Dan
di dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam : “Al-adlu hasanun
walakin fil umaraa’i ahsanu, as-sakhoo’u hasanun walakin fil ghinaa’i ahsanu,
al-wara’u hasanun walakin fil ‘ulamaa’i ahsanu, ash-shobru hasanun walakin fil
fuqoroo’i ahsanu, at-taubatu hasanun walakin fis syababi ahsanu, al-hayaa’u
hasanun walakin fin-nisaa’i ahsanu“.
Artinya
: “Keadilan itu baik, tetapi lebih lagi pada para pemimpin. Kedermawanan itu
baik, tetapi ia lebih baik lagi pada orang-orang kaya, wara’ itu baik, tetapi
ia lebih baik lagi pada para ulama, shabar itu baik, tetapi ia lebih lagi pada
orang-orang faqir. Taubat itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para pemuda,
malu itu baik, tetapi lebih baik lagi pada para perempuan” (HR. Dailami).
Sesuai
petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits diatas, maka keadilan hendaklah ditegakkan.
Rasa keadilan adalah situasi naluriyah yang tumbuh pada diri manusia.
Perjuangan menegakkan keadilan berakar pada fitrah manusia dan karenanya
menjadi kepedulian setiap orang. Dari itu pula dapat dikatakan semua orbit
perjuangan manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kezaliman.
Konsekuensinya situasi kemanusiaan tidak boleh berpihak kepada ketidakadilan.
Hukuman yang keras akan ditimpakan kepada manusia yang berpihak kepada
orang-orang yang dzalim.
Firman
Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Qur’an surah
Hud ayat 113 :
Artinya
: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai
seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi
pertolongan“.
Lawan
daripada keadilan adalah kezaliman. Islam memandang kedzaliman sebagai
kemungkaran yang akan menghancurkan tata kehidupan. Jagat politik akan terus
menerus diwarnai kesewenangan, kediktatoran dan penindasan yang diidentikkan
dengan kerusakan. Kehidupan sosial diwarnai kerusakan, kekejaman dan krisis
sosial.
Kita
tidak boleh terjebak ke dalam bentuk tindakan kezaliman, bahkan setiap individu
harus terlibat dalam merespon seruan untuk melawan kezaliman, apapun bentuknya.
Legalitas perlawanan terhadap kezaliman tersebut begitu jelas dan pasti sebagaimana
dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Afdholul jihaadi
kalimatu adlin (wa fi riwayatin kalimatu haq) ‘imda sulthoonin jaairin“.
Artinya
: “Seutama-utama jihad adalah mengatakan yang haq kepada penguasa yang zalim”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Said Al-Khudri
Radhiallahu anhu).
Tegaknya
keadilan bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang tetapi melainkan untuk
lintas generasi. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung keadilan, setiap
manusia dapat terbebas dari segala bentuk tirani dan akan membuahkan
kesejahteraan sejati.
Di
sinilah letak kepentingan membangun institusi-institusi yang adil. Secara
teoritis pembangunan institusi yang adil harus dimulai dengan komitmen
penerapan keadilan prosedural sebagai hasil persetujuan melalui prosedur
tertentu dalam bentuk aturan, hukum atau undang-undang.
Selain
itu Islam memandang keadilan tidak hanya sebagai hak melainkan juga kewajiban
untuk saling menopang antar individu dan sekaligus menjadi tonggak utama bangunan
masyarakat, apapun agama. Keadilan menjadi tulang punggung kehidupan sosial
politik. Atas dasar itu Islam memberi bekal bagi setiap individu berupa
perangkat kaidah yang tidak hanya mengarahkan perilaku, yang menentukan
hubungan manusia dan dapat menjamin dihormatinya HAM atas dasar keadilan,
tetapi juga perangkat keadilan prosedural yang mampu mengontrol dan
menghindarkan semaksimal mungkin perilaku manusia dari ketidakadilan. Sebab
keadilan tidak hanya diserahkan kepada individu, melainkan juga dipercayakan
kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik. Dengan
demikian keadilan distributif, komutatif dan keadilan sosial akan terwujud.
Konsep
keadilan dalam Islam dipandang lebih tinggi dan luas cakupannya daripada
ide-ide dan konsep-konsep buatan manusia. Dalam Al Qur’an cakupan penggunaan
kata “adl” berlaku bagi segala bentuk hubungan manusia : antar penguasa dengan
rakyat, antar golongan, antar bangsa, antar orang-orang bersengketa, antara
orang-orang yang melakukan perjanjian, di bidang muamalah, antara seseorang
dengan kerabatnya, antara suami dengan isteri-isterinya, antara orang tua
dengan anak-anaknya, dan lain sebagainya.
2.
Masalah Kepemimpinan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka “Kepemimpinan”
artinya, perihal pemimpin; cara memimpin. Dalam bahasa Inggris pemimpin itu
disebut leader, kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership. Ada lagi
istilah kepemimpinan secara spiritual dan empiris. Pengertiannya, spiritual
adalah kepemimpinan yang mampu mentaati pemerintah dan larangan Allah dan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan. Secara
empiris kegiatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (H. Nawawi Hadari, 2001
: 17 & 27).
Berdasarkan
Al Qur’an As Sunnah sebagai rujukan utama ummat Islam telah menampilkan 5
(lima) terminologi tentang kepemimpinan, yaitu :
- Al-Imam (QS, 25 : 74),
bentuk jamaknya adalah al-aimmah, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Shahih Bukhari Muslim. Imam artinya pemimpin yang berada di depan (amaam).
Istilah ini disamping populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan
politik dan intelektual, ia juga dipakai untuk kepemimpinan dalam sholat
berjama’ah.
- Al-Khalifah, bermakna
pemimpin yang mewakili, menggantikan dan siap diganti oleh pelanjutnya
(QS, 2 : 30). Karena para Khulafaur Rasyidin selain menggantikan Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, mereka juga
melanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya
dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Dari terminologi diatas,
seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya,
melainkan ia selalu beraktivitas bijak termasuk mempersiapkan
keberlanjutan kepemimpinannya ke generasi berikutnya.
- Al-Malik, artinya raja.
Hanya saja Al Qur’an mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan
sepenuhnya milik Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan
kepada manusia hanyalah bersifat nisbi, yang semestinya digunakan untuk
merealisir kemaslahatan kehidupan. Diantara kemaslahatan tersebut adalah
memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya, dengan
sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah. Karenanya Allah
menegaskan bahwa Dia lah Raja dari para Raja. Oleh karenanya para raja di
dunia ini haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka
miliki dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan kezaliman
bagi kemanusiaan. Hal ini jelas diungkap dalam QS. 3 : 26.
- Al-Amir artinya adalah
seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf’ul (ojek)
sehingga bermakna pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya atau
diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam
terminologi ini adalah seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat
efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat, ketika
perintahnya itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah
dari rakyat melalui koreksinya.
- Ar-Ra’i artinya adalah
pemimpin yang senantiasa memberikan perhatian kepada ra’iyah (rakyat) (HR.
Bukhari Muslim). Dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam
sering mengingatkan bahwa peran kepemimpinan yang selalu peduli kepada
rakyatnya itu adalah di seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan
langsung korelasi positif timbal balik antara’i dan ra’iyahnya. Keakraban
semacam inilah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan menciptakan
iklim kepemimpinan yang penuh empati, kepedulian dan kedekatan dengan
rakyat. Oleh karenanya sang pemimpin tidak akan berlaku zalim, aniaya dan
semena-mena dalam kebijakannya kepada rakyat (Dr. HM. Hidayat Nur Wahid,
tt : 166).
Jika
berbicara tentang kepemimpinan secara mendalam, memang banyak ragam yang harus
diurai, tetapi dalam hal ini kita hanya membatasi pada macamnya pemimpin,
potensi kepemimpinan, budaya menjadi pemimpin dan kepemimpinan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
a.
Macamnya Pemimpin
1)
Pemimpin Formal
Pemimpin
formal ini adalah orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan,
teratur dalam suatu organisasi pemerintahan secara hiarki, tergambar dalam
suatu gambar bagan yang tergantung di kantor-kantor kepemimpinan ini lazimnya
tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa orang yang diangkat menjadi
pemimin formal tersebut akan dapat diterima juga oleh anggota organisasinya
sebagai pimpinan yang sesungguhnya. Hal ini masih diuji dalam praktek.
2)
Pemimpin Non Formal
Kepemimpinan
ini adalah seperti dalam organisasi non pemerintah tetapi juga punya hiarki.
Pengangkatannya tergantung pada musyawarah misalnya HIPMI, IWAPI dan lain
sebagainya.
3)
Pimpinan Informal
Kepemimpinan
ini tidak mempunyai dasar pengangkatan resmi, tidak jelas tergambar dalam
hiarki. Pemimpin informal ini (informal leader) adalah seorang individu
(pria atau wanita) yang walaupun tidak mendapat pengangkatan secara yuridis
formal sebagai pemimpin, memiliki sejumlah kualitas (objektif dan subjektif),
yang memungkinkan mencapai kedudukan sebagai orang yang dapat mempengaruhi
kelakuan serta tindakan sesuatu kelompok masyarakat baik dalam arti positif
maupun negatif.
Dalam
kalangan Islam kepemimpinan informal mendapat tempat tersendiri di hati ummat,
misalnya dengan banyaknya ulama, ustadz, dan lainnya (Dra. Hj. Mahmudah, 2003 :
19).
b.
Potensi Kepemimpinan
Kepemimpinan
dalam Islam adalah tanggung jawab dan pelayanan yang utuh untuk dinullah.
Keberhasilan dakwah banyak bergantung banyak tumbuhnya shaf pendukung yang
memiliki kejelasan dan tanggung jawab pembagian tugas dan sistem perekrutan
yang baik (organisasi yang teratur), karena hal ini sangat menentukan
tercapainya tujuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Saidina Ali Karramallahu
wajhah : “Al-Haqqu billa nidzom sayaglibuhul bathilu binnidzom“. Artinya
: “Kebenaran yang tidak terorganisir secara rapi dapat dikalahkan oleh
kebathilan yang terorganisir dengan rapi“.
Dari
sini semua membutuhkan pemimpin yang adil, berilmu dan terampil dan menguasai
permasalahan, sebagaimana Nabi Yusuf Alaihissalam, tersebut dalam Al Qur’an
surah Yusuf ayat 55 :
Artinya
: Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan“.
Menurut
H. Agus Hidayat Nur dalam bukunya “Urgensi Tarbiyah dalam Harokah
Islamiyah”, halaman 41, ada beberapa ciri yang menunjukkan kemampuan
memimpin seseorang :
1)
Mampu untuk mengikat dengan pemikiran dan kepribadiannya.
2)
Kerja yang terus menerus dan berlanjut serta sabar dan tidak mudah putus asa.
3)
Lembut bukan karena lemah dan kuat bukan karena nekat / kalap serta tidak
ceroboh dan mampu berbicara sesuai dengan kebutuhan.
4)
Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi saudaranya dan selalu
memperhatikan saudaranya.
5)
Mampu mengarahkan seorang menjadi dinamis dan rukun.
6)
Mendidik, mengarahkan dan menjaga kader-kadernya dari kebinasaan.
7)
Pandai membagi waktu, waspada, cerdik (cepat dan tepat merespon setiap
kejadian) serta memiliki bashirah (mata hati) dengan segala potensinya inilah
seorang pemimpin dengan idzin Allah mampu membawa organisasinya melangkah benar.
Uraian
diatas dapat ditarik natijahnya sebagai gambaran calon dan pemimpin yang ahli
atau pemimpin yang berbudaya. Karena apa, ada juga istilah banyak orang tidak
berbudaya menjadi pemimpin. Dimaksud budaya disini ialah perbuatan manusia yang
didasarkan pada akhlak mulia dan ilmu pengetahuan. Bila manusia dalam berbuat
dan bertindak meninggalkan akhlak dan ilmu pengetahuan, hanya karena
dorongan nafsu semata, dia dikatakan tidak lagi berbudaya. Hadist Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Abdullah ibn Abbas,
ujarnya : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Kalau engkau telah
menyaksikan budak perempuan melahirkan anak majikannya dan orang-orang gunung
yang berkaki telanjang menjadi pemimpin masyarakat, itu pertanda datangnya
kiamat” (HR. Ahmad). Pada akhir riwayat Ahmad menambahkan : (Ibnu Abbas)
bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang gunung yang berkaki
telanjang itu ?” Sabdanya : “Orang Arab (Badui)”.
Dalam
hadist tersebut Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa kelak
akan terjadi budak akan melahirkan anak majikannya dan muncul orang-orang
gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin ummatnya atau bangsanya.
Munculnya orang gunung berkaki telanjang memimpin ummat atau bangsanya pertanda
munculnya zaman edan. Orang gunung berkaki telanjang adalah orang Arab (Badui),
sikap orang Badui antara seperti : keras kepala (penantang), tidak teguh
pendirian, suka tergesa-gesa dan tidak memperdulikan akhlak.
Istilah
orang Badui bisa bermakna hakiki, bisa juga bermakna simbolik, yaitu orang yang
tidak berbudaya, tidak berakhlak dan tidak berilmu pengetahuan.
Hakikat
pemimpin tidak berbudaya yang diantaranya lahir dari orang-orang gunung berkaki
telanjang dan oleh Rasul Allah disebut sebagai orang Badui, adalah para
pemimpin yang tidak mampu menjalankan roda pemerintahan benar dan hanya main
coba-coba.
Munculnya
pemimpin yang berkepribadian Badui menjadikan masyarakat bingung, karena apa
saja yang dilakukan pemimpinnya tidak dapat memberikan ketentraman dan
ketenangan. Masyarakat menjadi korban ketidakbijaksanaan mereka sehingga
kehidupan mereka menjadi kacay, menderita kelaparan, kekacauan, kesengsaraan.
Sikapnya menjadikan masyarakat tidak lagi mempercayai.
Jika
dihubungkan dengan fenomena, banyak orang yang mencari jabatan ingin jadi
pemimpin. Untuk bermimpi dalam jabatan tidak ada larangan tetapi alangkah
baiknya, membaca lebih dahulu syarat-syarat dari Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam, sebagai berikut :
1)
Pertama, jangan ambisius untuk meraih jabatan / pimpinan, apalahi dengan
kepentingan nafsu (dendam), baik pribadi ataupun golongan. Sebab perilaku
demikian akan menghilangkan jaminan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Nabi
Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah memberikan pandangan : “Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, sebab jika engkau
diberi jabatan karena meminta, maka engkau akan ditinggalkan untuk mengurusinya
sendiri. Dan jika engkau diberi jabatan itu bukan karena meminta, maka engkau
akan dibantu (Allah) untuk menunaikannya” (HR. Bukhari).
Memang
motivasi nafsu pribadi dari calon pejabat / pimpinan, tidak ia sampaikan terus
terang, sebab hal itu berarti fatal. Tetapi Rasul Allah punya alat deteksi dari
pelaku calon yang datang kesana kemari mencari dukungan, mencari rekomendasi ke
berbagai pihak agar terpilih. Beliau bersabda : “Barangsiapa mencari
kekuasaan dan dia meminta rekomendasi / dukungan dari berbagai pihak, maka ia
akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan bila ia dipaksa untuk memegang
jabatan itu, maka Allah akan turunkan malaikat untuk membimbingnya” (HR.
Al-Bazzar).
Oleh
karena itu sebagai ummat Islam tidaklah sepatutnya menyerahkan amanah atau
pilihannya kepada calon pejabat semacam ini. Memang belum disepakati haram,
tetapi moralitas yang tinggi pasti menghadang untuk memilih dengan profil
demikian.
2)
Kedua, capable (mampu). Dalam kondisi dimana seorang muslim melihat
dirinya secara objektif mempunyai potensi untuk menjabat, maka boleh mengajukan
diri dengan syarat betul-betul bebas dari nafsu dan demi menegakkan keadilan.
Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf Alaihissalam dengan
mengajukan diri kepada Raja Rayyan Ibn Al-Walid untuk menjadi bendahara negara,
hingga dapat mendistribusikan kekayaan negara dengan adil.
Untuk
membatasi uraian tentang kepemimpinan ini, dirasa perlu juga menguraikan
tentang kepemimpinan Rasulullah secara kilas, semoga bisa menjadi contoh,
karena memang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai ikutan atau
contoh yang paling baik. Kenyataan yang pertama dalam kepribadian Nabi Besar
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sebagai manusia yang kepemimpinannya
patut diteladani adalah ketangguhan beliau untuk menjadi pribadi yang tidak
dipengaruhi oleh keadaan masyarakat di sekitarnya. Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam, lahir, besar dan dewasa di tengah-tengah masyarakat Arab
jahilliyah, masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia berakhlak buruk.
Tetapi kenyataannya menunjukkan sebaliknya bahwa beliau manusia istimewa dengan
kepribadian yang tidak larut dan tidak pula hanyut di dalam arus yang buruk
itu. Beliau telah mendapat gelar Al-Amin, orang yang jujur dan terpercaya.
Kepribadian seperti itu merupakan dasar atau landasan yang kokoh bagi seorang
pemimpin.
Dalam
sejarah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam maka dilakukan
identifikasi kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai
berikut :
1)
Perwujudan Kepemimpinan Otoriter
Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam adalah pemimpin yang sangat keras dalam menghadapi
orang-orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan
tuntunan Allah Subhanahu Wata’ala lainnya. Tidak ada yang boleh dibantah, jika
telah diwahyukan Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan
pemberian saran, pendapat, kreativitas dan inisiatif, sehingga berarti suatu
perintah harus dilaksanakan dan larangan harus dijauhi / ditinggalkan. Otoriter
adalah mutlak hak Allah Subhanahu Wata’ala, yang bilamana tidak
diperlakukan-Nya di muka bumi ini, maka secara pasti akan dilaksanakan-Nya
adalah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan hukuman sebagai
balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir, atau yang menduakan penciptanya
melainkan neraka jahannam dengan siksa yang sangat pedih. Perbuatan yang
dikatagorikan dosa tidak akan berubah katagorinya, meskipun yang menyampaikan
saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama atau rakyat biasa.
Oleh
karena itu kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk
kongkrit kepemimpinan Allah Subhanahu Wata’ala, maka otoriter yang berlaku di
muka bumi ini selalu dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Untuk itu Allah
Subhanahu Wata’ala telah memberikan petunjuk dan tuntunan yang jelas, dengan
menutup sama sekali pemberian saran, pendapat, inisiatif, kreativitas dan
lain-lainnya.
2)
Kepemimpinan Laissez Faire
Dalam
menyeru ummat manusia terlihat kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam yang bersifat Laissez Faire (bebas). Beliau tidak memaksa dengan kekerasan.
Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam hanya diperintah oleh Allah Subhanahu
Wata’ala untuk menyeru dan memperingatkan keberuntungan bagi yang mendengar dan
kerugian bagi yang berlaku angkuh dan sombong, menolak seruan beliau. Setiap
manusia diberi kebebasan untuk mengimani Kalimat Syahadat. Jika menolak
beriman, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam tidak akan memaksanya, namun
tetap memperingatkan celakalah dirinya yang telah keliru memilih. Termaktub
dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala di dalam surah Al Baqarah ayat 256 :
Artinya
: “Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab sudah jelas
jalan benar dan jalan yang salah. Barangsiapa yang ingkar kepada Thogut, hanya
percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang berbuhul kuat yang
tidak mungkin putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui“.
Kebebasan
memilih itu lebih tegas lagi, sebagaimana firman Allah surah Al-Kahfi ayat 29
sebagai berikut :
Artinya
: “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka
barangsiapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir,
kafirlah“.
Demikian
kepemimpinan Laissez Fair yang diwujudkan oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam, namun apabila seseorang telah menyatakan dirinya beriman, maka
kepemimpinan beliau berkembang menjadi bersifat konsultatif, pengayoman dan
kharismatik. Di dalam kepemiminan tersebut tetap terdapat kebebasan, karena
pengawasan dilakukan langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Pengawasan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersifat menumbuhkan tanggung jawab
pribadi, karena pengawasan otoriter merupakan hak Allah Subhanahu Wata’ala.
3)
Perwujudan Kepemimpinan yang Demokratis
Prinsip-prinsip
demokratis yang dibangun Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pada masa
hidup beliau selalu berhubungan dengan ummat yang dipimpinnya, terutama para
shahabat sangat akrab. Oleh karenanya setiap ummat tidak dibatasi untuk
berkomunikasi dengan beliau sebagai pemimpin. Diantaranya ada yang datang minta
petunjuk, petuah dan nasehat, disamping itu ada juga yang bermaksud
menyampaikan pendapat, masalah-masalah yang dihadapinya dan melaporkan segala
sesuatu yang perlu diketahui oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
Kepemimpinan
yang demokratis dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam terlihat nyata
dalam kehidupan beliau sehari-hari. Beliau sebagai pemimpin yang agung tidak
pernah sekedar duduk di singgasana atau memisahkan diri di istana yang
gemerlapan untuk menjaga wibawa. Tetapi sebaliknya wibawa yang agung justru
timbul dan terpelihara karena beliau menjalani kehidupan bersama ummatnya.
Kepemimpinan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat demokratis terlihat pada
kecenderungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama menghadapi masalah
yang belum ada wahyu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Bersamaan dengan itu beliau
menganjurkan agar ummatnya selalu bermusyawarah, yang dinyatakan agar ummat
Islam tidak meninggalkan jama’ah. Dengan demikian tak seorangpun dalam
mengemukakan pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai
setiap anggota jama’ah wajib menghormati dan melaksanakannya. Kesediaan beliau
sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam
sebuah sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya. Sabda Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah
Radhiallahu anhu, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam membagi rampasan
perang di Jir’anah, tiba-tiba seorang laki-laki berkata kepada beliau :
“Berlaku adillah !” Lalu beliau bersabda kepadanya : “Saya celaka, kalau saya
tidak adil” (H. Nadari Nawawi, 2001 : 282-288).
3.
Masalah Kerukunan
Sebagaimana
telah diketahui, penduduk Indonesia terbesar ke-4 di dunia dengan pulaunya
sebanyak 17.508 dan tidak kurang 390 suku bangsa. Sejak dahulu bangsa Indonesia
terkenal sebagai bangsa yang ramah, hal ini terbukti dengan mudahnya
bangsa-bangsa lain untuk tinggal dan menetap serta mencari mata usaha di negeri
ini. Mereka saling bekerjasama tanpa membedakan etnis, adat dan agama.
Bertahun-tahun mereka hidup dalam satu lingkungan sebagai bersaudara. Mereka
hidup saling tolong menolong, segala permasalahan yang terjadi diselesaikan
dengan musyawarah mufakat. Dalam arti kata bahwa mereka hidup dalam kerukunan.
Kita
adalah sebuah keluarga besar yang tinggal dalam rumah kedamaian Indonesia.
Jangan biarkan keluarga terpecah belah, yang terjadi cukuplah untuk dijadikan
bahan pelajaran, untuk cermin kita menapak masa depan Indonesia yang damai,
tentram dan sejahtera.
Sesuai
pembahasan masalah kerukunan, kerukunan secara bahasa berasal dari kata rukun,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti, baik dan damai, tidak
bertengkar. Kerukunan artinya perihal hidup rukun. Perihal hidup rukun ini,
hidup rukun damai sesama anak bangsa dan sesama ummat beragama. Akar masalah
terjadinya konflik karena masalah yang berkaitan suk, ras dan agama.
Lebih-lebih agama masalah hak asasi manusia dan ia sangat peka, masalah kecil
saja bisa memicu terjadinya pergesekan.
Kerukunan
hidup ummat beragama, istilah ini secara formal muncul sejak diselenggarakannya
Musyawarah Antar Agama tanggal 30 Nopember 1967. Awal permasalahan karena pada
saat itu timbul berbagai ketegangan antar penganut berbagai agama di sementara
daerah dan jika tidak segera diatasi akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Dalam pembukaan musyawarah tersebut Presiden Soeharto telah
berkenan memberikan kata sambutannya, antara lain : “… Pemerintah tidak akan
menghalang-halangi suatu penyebaran agama. Akan tetapi hendaknya penyebaran
agama tersebut ditujukan kepada mereka yang belum beragama yang masih terdapat
di Indonesia, agar menjadi pemeluk agama yang yakin”.
Masalah
agama adalah hak asasi manusia, artinya setiap berhak menentukan pilihan.
Masalah agama juga masalah yang peka / sensitif, maka untuk tidak terjadi
pergesekan / benturan antar pengikut ajaran agama, pemerintah berupaya
menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, diantaranya pembinaan kerukunan antar
ummat beragama.
Adanya
kerukunan hidup antar ummat beragam adalah merupakan salah satu syarat mutlak
terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi. Oleh karena kerja sama pemerintah,
masyarakat beragama dalam mewujudkan iklim kerukunan beragama sangat
diperlukan. Kerukunan yang diistilahkan oleh pemerintah mencakup tiga
kerukunan, yaitu kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat
beragama dan kerukunan ummat beragama dengan pemerintah.
Akan
tetapi perlu disadari, walaupun pemerintah telah membuat program Tri Kerukunan,
namun masalah tanggung jawab pembinaan kehodupan beragama tidak dapat
semata-mata dipikulkan pada bahu pemerintah. Ummat beragama sendirilah yang
pertama dan utama memikul tanggung jawab itu. Pemerintah lebih banyak berperan
sebagai penunjang dan memberikan kesempatan agar pelaksanaan ibadah dan amal
agama itu dapat berjalan dengan tenang dan tenteram.
Bangsa
Indonesia sungguh-sungguh merasa bahagia, bahwa kita mempunyai tradisi yang
baik mengenai toleransi dan kerukunan hidup beragama ini. Tradisi dan kenyataan
inilah yang antara lain menguatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila
kita, dan sebaliknya, dengan Pancasila itu juga kita kembangkan toleransi
beragama (Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967).
“…
Pengertian toleransi agama bagi kita adalah pengakuan adanya kebebasan setiap
warga negara untuk memeluk sesuatu agama yang menjadi keyakinannya dan
kebebasan untuk menjalankan ibadahnya …” (Sambutan Presiden Soeharto pada
Peringatan Nuzulul Qur’an tanggal 19 Desember 1967 di Jakarta).
Selanjutnya
berbicara masalah toleransi yang dalam bahasa Inggrisnya adalah tolerance,
bahasa Arabnya Tasamuh, artinya membiarkan sesuatu untuk dapat saling
mengidzinkan, saling memudahkan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia mengartikan
toleransi itu sebagai sikap atau sikap menenggang dalam makna menghargai, membiarkan,
membolehkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kelakuan yang lain dari yang
dimiliki oleh seseorang atau bertentangan dengan pendirian seseorang.
Sikap
itu harus ditegakkan dalam pergaulan sosial, terutama dengan anggota-anggota
masyarakat yang berlainan pendirian, pendapat dan keyakinan. Dengan kata lain
toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain dengan tidak
mengorbankan prinsip / keyakinan sendiri (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, 2006
: 432-433).
Di
dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip. Prinsip itu terdapat di dalam Al
Qur’an, antara lain :
a.
Surah Al-Baqarah ayat 256
Artinya
: “Tidak ada paksaan dalam (memeluk sesuatu) agama, karena telah jelas mana
yang benar dan mana yang salah“.
b.
Surah Al-Kahfi ayat 29
Artinya
: “Katakanlah hai Muhammad, bahwa telah datang kebenaran dari Tuhanmu. Oleh
karena itu barang siapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin
kafir, kafirlah“.
c.
Surah Yunus ayat 99
Artinya
: “Dan apabila Tuhanmu menghendaki, orang yang berada di muka bumi ini
beriman seluruhnya. Apakah engkau akan memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman ?“
d.
Surah Al-Mumtahanah ayat 8
Artinya
: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Dari
beberapa ayat diatas dapat ditarik garis hukum, beberapa prinsip mengenai
toleransi dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip itu antara lain :
- Tidak boleh ada paksaan
dalam beragama, baik paksaan itu bersifat halus atau kasar.
- Manusia berhak menentukan
pilihan agama yang dianutnya dan beribadat menurut keyakinannya.
- Tidak ada gunanya memaksa
seseorang agar ia menjadi seorang muslim.
- Allah tidak melarang hidup
bermasyarakat dengan mereka yang tidak sepaham atau tidak seagama, asal
mereka itu tidak memusuhi umat Islam.
Dari
uraian diatas sangat jelas bahwa Islam tidak memaksakan kehendak dalam hal
keyakinan, artinya Islam dan ummatnya sangat toleran dengan penganut agama
lain. Disamping ayat-ayat Al Qur’an diatas ada lagi satu surah yang menjadi
pegangan / panduan ummat Islam tentang perbedaan agama ini. Toleransi agama
adalah toleransi yang menyangkut masalah akidah. Dalam ajaran Islam kemurnian
akidah harus dijaga. Oleh karenanya ada pendapat mengatakan, tidak ada
toleransi dalam akidah. Akidah tidak bisa dicampur adukkan atau dibaurkan. Al
Qur’an yang berbicara masalah ini adalah tersebut dalam surah Al-Kafirun ayat
1-6 :
Artinya
: “Katakanlah, hai kaum kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu
sembah. Dan tidak (pula) kamu menyembah apa yang aku sembah. Aku bukan
penyembah sebagaimana (cara) kamu menyembah. Dan kamu (juga) bukan penyembah
sebagaimana (cara) aku menyembah. Untuk kamulah agama kamu dan untukkulah
agamaku” (QS. Al-Kafirun ayat 1 – 6).
Jadi
toleransi agama menurut ajaran Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan
bagi pemeluk agama lain dalam menjalankan menurut ketentuan agama yang
diyakininya.
Jika
maksud toleransi ini dijalankan dengan benar akan terwujudlah kerukunan antar
ummat beragama. Adapun kerukunan intern ummat beragama, khususnya ummat Islam
misalnya. Karena ummat Islam ini secara organisatoris, banyak sekali
organisasinya, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, Al-Irsyad,
Mathlaul Anwar, Jami’atul Washliyah, Hidayatullah, Hizbut Tahrir, Perti dan
lain-lainnya. Maka kerukunan ini harus dibina melalui forum / kegiatan ukhuwah
Islamiyah dan ditingkatkan dengan ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah
basyariah.
Disamping
itu secara individu, maupun secara organisatoris janganlah mengungkap masalah
khilafiah, karena masalah ini cukup peka / sensitif. Hal-hal lain yang tak
kalah pentingnya melaksanakan rukun ukhuwah, yaitu :
- Saling kenal mengenal satu
sama lain (ta’aruf)
- Saling menghargai dan
menenggang (tasamuh)
- Saling tolong menolong
(ta’awun)
- Saling mendukung (tadlamun)
- Saling sayang menyayangi
(tarahum)
Hal-hal
yang seyogiayanya harus dihindari adalah :
- Saling menghina dan saling
mencela (assakhriyah dan allamzu)
- Berburuk sangka (su’udzzdon)
- Suka mencemarkan nama baik
(ghibah)
- Sikap curiga yang berlebihan
(tajassus)
- Sikap congkak (takabur)
Demikianlah
masalah kerukunan dan kedamaian hidup dalam berbangsa dan bernegara, damai itu
indah. Kita lelah sudah bertikai, akar permasalahannya pun harus kita kunci,
salah satu kuncinya ialah adanya program pemerintah yang disebut dengan Tri
Kerukunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar